Oleh: Em Mas’ud Adnan*
Peristiwa rusuh di Manokwari Papua Barat, akibat insiden rasial dan perusakan bendera merah putih di Asrama Mahasiswa Papua di Surabaya dan Malang Jawa Timur, membuka mata hati kita. Ternyata saudara kita warga asli Papua yang kini mukim di Jawa Timur luar biasa banyak. Bahkan warga asli Papua di Jatim kini tersebar di 38 kota dan kabupaten, baik sebagai mahasiswa, pekerja, maupun rumah tangga.
Maka ketika demo politik rasial pecah di Manokwari, warga Papua yang tinggal di berbagai kota di Jatim langsung “show of force” ke publik. Mereka menyampaikan pesan persaudaraan: wahai saudaraku di kampung halamanku, saudaramu warga Papua bertebaran di seluruh bumi nusantara, terutama di Jawa Timur.
Di Jombang, misalnya, warga Papua ramai-ramai ziarah ke makam Gus Dur. Di Blitar, mahasiswa asal Papua ikut aksi damai di depan patung Bung Karno. Begitu juga di Madura, tepatnya di Pamekasan, warga asli Papua tampil ke publik bersama aparat kepolisian.
Di Ngawi juga begitu. Warga Papua yang tinggal di kabupaten ujung barat Jawa Timur itu secara vulgar menyampaikan salam persaudaraan. Dikemas dalam aksi damai, Marinus Sayori, salah seorang warga Papua di Ngawi menyatakan: Kami Pace dan Mace (bapak dan ibu) Papua jangan mendengar berita hoax yang tidak penting. Karena kita warga Negara Indonesia di bawah bendera merah putih, cinta Indonesia, kami cinta NKRI harga mati.
Bahkan di kabupaten Probolinggo, kabupaten basis NU, lebih konkret lagi. Warga asli Papua jadi camat. Namanya Abdyh Ramim, Camat Gending. Jadi warga Papua sudah hidup guyub dengan warga Jawa Timur. Apalagi di Malang, Surabaya, dan tentu juga di Jakarta dan suluruh Indonesia.
Bagaimana dengan warga Jatim di Papua? Justru warga Jatim yang tinggal di Papua sangat besar. Salah satu warga Jatim yang cukup fenomenal di Papua Barat adalah Ustadz Darto Saifudin. Pengasuh Pondok Pesantren Madrasatul Qur’an al-Qalam di Manokwari Selatan itu menarik kita buat contoh, bukan saja karena ia hidup harmonis dengan para pendeta dan kepala suku, tapi juga punya pengalaman panjang dan menegangkan.
Ketika awal mendirikan pesantren ia dan keluarganya nyaris diserbu warga Papua. Bahkan selama dua bulan kehidupan pesantrennya diselimuti ketegangan, karena ada ancaman penyerbuan. Ia pun mengungsikan keluarganya.
Untung sebelum menyerbu, warga Papua dari salah satu kampung yang terkenal garang itu mengirim utusan lebih dulu ke pesantren Ustadz Darto. Ternyata mereka kaget tatkala melihat foto Gus Dur dan kalender Pesantren Tebuireng terpampang di rumah Ustadz Darto. Darto memang alumnus Pesantren Tebuireng Jombang Jawa Timur.