Tafsir Al-Isra' 76-77: NU, Pernah Ditipu PKI-PNI?

Tafsir Al-Isra Ilustrasi. foto: NU Online

Oleh: Dr. KH. A Musta'in Syafi'ie M.Ag*

76. Wa-in kaaduu layastafizzuunaka mina al-ardhi liyukhrijuuka minhaa wa-idzan laa yalbatsuuna khilaafaka illaa qaliilaan.

Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Panduan dari Nabi Daud dan Nabi Sulaiman untuk Memutus Kasus Perdata

Dan sungguh, mereka hampir membuatmu (Muhammad) gelisah di negeri (Mekah) karena engkau harus keluar dari negeri itu, dan kalau terjadi demikian, niscaya sepeninggalmu mereka tidak akan tinggal (di sana), melainkan sebentar saja.

77. Sunnata man qad arsalnaa qablaka min rusulinaa walaa tajidu lisunnatinaa tahwiilaan.

(Yang demikian itu) merupakan ketetapan bagi para rasul Kami yang Kami utus sebelum engkau, dan tidak akan engkau dapati perubahan atas ketetapan Kami.

Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Cara Hakim Ambil Keputusan Bijak, Berkaca Saja pada Nabi Daud dan Sulaiman

TAFSIR AKTUAL

Biar tidak dituduh sebagai tafsir mengada-ada, mohon dibaca ulang pesan ayat-ayat sebelumnya. Globalnya, jangan terlalu menuruti ajakan mereka, jangan terlalu loyal bertoleransi, jangan gampang-gampang beralasan berjuang dari dalam, karena semua itu ada perhitungannya dan juga ada risikonya.

Kita sering mendengar kiai, ustadz, atau ahli agama yang memasuki dunia politik praktis melalui partai yang notabene banyak nonmuslimnya. Termasuk partai yang terang-terangan tidak membela agama islam. Partai yang paling cocok sebagai kendaraan politik nonmuslim. Mereka beralasan berdakwah dari dalam. Lalu mendalil dan berargumen.

Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Memetik Hikmah dari Kepemimpinan Nabi Daud dan Nabi Sulaiman

Kita hormati pilihan mereka, kita bisa memahami dalil mereka dan semoga Allah SWT memberkati. Tapi, mungkinkah itu? Dari sisi alasan memang terdengar bagus. Tapi sisi kenyataan perlu kita menalar secara wajar dan menggunakan akal sehat sebagai dasar. Caranya, jawab sendiri pertanyaan berikut ini.

Jika anda sebagai muslim kelompok mayoritas, partai anda berafiliasi islam, tokoh-tokoh partai anda, para pendiri, semuanya adalah muslimin militan, anda sendiri seorang muslim yang shalih dan pejuang mukhlis. Kemudian, lewat karier politik, ada seorang nonmuslim yang masuk menjadi anggota partai anda. Menjadi anggota DPR misalnya.

Pertanyaannya, akankah anda sebagai penguasa partai memberi peluang kepada nonmuslim tersebut untuk dakwah kekufuran di dalam? Apa anda rela dia mengembangkan agama nonislam di dalam partai anda?

Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Keputusan Bijak untuk Sengketa Peternak Kambing Vs Petani

Seperti itulah gambaran kiai yang sangat minoritas mau berdakwah di tengah-tengah nonmuslim raksasa dan mayoritas. Ketahuilah, dalam partai politik, kebijakan mutlak itu di tangan pimpinan. Anggota DPR tidak sejalan dengan kebijakan partai, pasti di-recall.

Tentang Nahdlatul 'Ulama yang pernah "ditipu" PKI? Hal demikian tergambar saat pemerintahan Soekarno dulu. Presiden Soekarno mengeluarkan kebijakan penggabungan antara kelompok nasionalis, kelompok agama, dan kelompok komunis menjadi berada dalam satu wadah, yakni Nasakom (Nasional, Agama, Komunis).

Kelompok nasional, dalam politik terwadahi pada Partai Nasional Indonesia (PNI) yang kemudian menjadi PDI, lalu PDI-Perjuangan. Kelompok komunis adalah Partai Komunis Indonesia (PKI). Dan kelompok Agama, semua kelompok islam, seperti Masyumi, Muhammadiyah, Al-Wasliyah, Perti, PSII, dan lain-lain, semuanya tidak ada yang mau bergabung, kecuali Nahdlatul Ulama atau NU.

Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Dua Nabi, Bapak dan Anak

Mereka menolak karena membaca arah politik dua partai tersebut yang satu jelas-jelas anti agama islam dan yang satu beraroma serupa. Ijtihad politik dari kelompok penolak waktu itu adalah, bahwa kaum nasionalis lebih "mesra" ke PKI ketimbang ke Islam. Mereka sama-sama "merah" dan kurang familier terhadap syari'ah islam. Lalu, agama akan dihimpit di sana dan dijadikan tambal-butuh.

Sementara kaum Nahdliyyin (NU) bergabung dengan mereka dengan alasan bisa berjuang dari dalam, bisa mengontrol kebijakan pemerintah, mampu memandu cita-cita luhur kemerdekaan negeri ini sesuai agama islam dan lain-lain. Semua alasan itu bisa diterima, tinggal bagaimana nanti jadinya.

Ternyata, setelah PKI dan kroninya menguat, nonmuslim dan para kafir itu melakukan kudeta yang terkenal dengan Gerakan 30 September atau G30S PKI. Beberapa jenderal diculik dan dibantai. Tidak ketinggalan para kiai, ustadz, dan para santri, termasuk pemuda Ansor dibunuh. Diperkirakan 5.000 lebih para kiai, ustadz, dan santri yang notabene kaum nahdliyin telah menjadi korban keganasan PKI.

Baca Juga: Usia Nabi Nuh 1.000 Tahun, Tapi "Gagal" Dakwahi Umatnya, Ini Perbedaan-Persamaan dengan Nabi Luth

Di daerah-daerah, sasaran utama pembantaian yang dilakukan oleh PKI justru kaum Nahdliyin (NU), partai yang telah rela bertasamuh dan ikhlas menjadi koloninya era Nasakom dulu. Di mana semua partai Islam tidak ada yang mau bergabung. NU harus membayar mahal dari kebijakan tasamuhnya sendiri yang ceroboh dan kurang hati-hati.

Dalam sebuah diskusi, muncul soal, "Bahwa, kebijakan bergabung dalam Nasakom itu kan merupakan ijma' para kiai terdahulu waktu itu. Ada kiai ini, ada kiai itu, dan lain-lain. Kami kira mereka sudah melalui kalkulasi politik yang matang dan istikharah yang panjang. Apakah beliau-beliau itu salah?

Penulis menjawab: "Saya bersaksi, bahwa mereka adalah para ulama yang shalih. Mereka sungguh para pejuang negeri ini yang mukhlis. Tapi mereka manusia dan bukan nabi. Allahumm ighfir lahum".

Baca Juga: Fikih Kentut: Ulah Syetan Meniup Dubur agar Kita Ragu Wudlu Batal apa Tidak

*Dr. KH. A Musta'in Syafi'ie M.Ag adalah Mufassir, Pengasuh Rubrik Tafsir Alquran Aktual HARIAN BANGSA, dan Pengasuh Pondok Pesantren Madrasatul Qur’an (MQ), Tebuireng, Jombang.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Berita Terkait

BANGSAONLINE VIDEO