Tafsir Al-Isra' 79: Shalat Tahajjud, Kunci Kemuliaan

Tafsir Al-Isra Ilustrasi

Oleh: Dr. KH. A Musta'in Syafi'ie M.Ag*

79. Wamina allayli fatahajjad bihi naafilatan laka ‘asaa an yab’atsaka rabbuka maqaaman mahmuudaan

Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Panduan dari Nabi Daud dan Nabi Sulaiman untuk Memutus Kasus Perdata

Dan pada sebagian malam, lakukanlah salat tahajud (sebagai suatu ibadah) tambahan bagimu: mudah-mudahan Tuhanmu mengangkatmu ke tempat yang terpuji.


TAFSIR AKTUAL

Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Cara Hakim Ambil Keputusan Bijak, Berkaca Saja pada Nabi Daud dan Sulaiman

Setelah Tuhan membicarakan keutamaan shalat shubuh yang berhukum fardlu, kini Tuhan mengangkat keutamaan shalat tahajjud yang berhukum sunnah. Shalat shubuh memang tidak bisa dikategorikan sebagai shalat malam, tapi juga tidak bisa dimasukkan kelompok shalat siang. Shalat shubuh adalah shalat in between, ada di antara siang dan malam.

Shalat yang posisinya ada di titik pertemuan ini disaksikan oleh segenap malaikat malam yang hendak undur diri dan menyerahkan rekap amal manusia kepada malaikat siang yang hendak mengganti bertugas. Makanya, ulama sangat perhatian terhadap shalat ini.

Al-Imam al-Syafi'iy menekankan agar shalat ini dikerjakan saat masih taghlis, pagi buta, awal waktu. Sedangkan Abu Hanifah karena merpertimbangkan titik temu kedua grup malaikat tadi, cenderung pada waktu isfar, akhir waktu, menjelang matahari terbit. Hal itu karena titik temu waktu siang dan malam ada pada terbitnya matahari. Namun pendapat Abu Hanifah ini banyak ditentang ulama karena menyalahi muwadhabah, keistiqamahan Nabi Muhammad SAW yang selalu shalat shubuh pada awal waktu atau saat taghlis.

Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Memetik Hikmah dari Kepemimpinan Nabi Daud dan Nabi Sulaiman

Ayat studi ini membicarakan keistimewaan shalat tahajjud, shalat sunnah yang dikerjakan tengah malam setelah sebelumnya tidur lebih dahulu. Jika setelah shalat isya' tidak tidur dan begadangan, ngobrol, internetan, nonton bola, atau wiridan, lalu shalat sunnah, maka bukan disebut shalat tahajjud, melainkan menjadi shalat sunnah biasa. Tentu pahalanya berbeda.

Jika di tengah-tengah wiridan kok ngantuk dan tertidur sebentar, 20 menit saja - misalnya - lalu mengambil air wudhu dan shalat sunnah, maka masuk ketegori shalat tahajjud, walau hanya satu rakaat shalat witir. Shalat tahajjud berpahala lebih karena berat. Enak-enaknya tidur lelap, lalu bangun dan shalat.

Al-hujud, tahajjud memang artinya bangun. Tapi, sekadar ngelilir, terbangun dari tidur malam karena pasang alarm dan mau nonton bola siarang langsung, tapi tidak shalat, maka bukan tahajjud seperti yang dikehendaki oleh ayat ini. Atau terbangun karena kebelet buang air ke kamar kecil, juga sudah berwudhu, tapi tidak shalat, maka bukan tahajjud.

Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Keputusan Bijak untuk Sengketa Peternak Kambing Vs Petani

Versi ibu As'isyah R.A., pada awal islam, di mana shalat fardlu belum diwajibkan, maka shalat malam dua rakaat ini menjadi amalan wajib. Kemudian, setelah shalat fardlu lima waktu diundangkan, maka shalat ini direvisi menjadi shalat sunnah yang sangat dianjurkan. Akan tetapi hukum kesunnahan itu hanya untuk umum, untuk para umat Muhammad SAW saja, sementara bagi pribadi nabi, shalat tahajjud ini tetap menjadi kewajiban.

Diriwayatkan, bahwa beliau pernah bersabda: "ada tiga kewajiban yag melekat bagi diriku pribadi, tapi tidak pada diri kalian. Bagi kalian hanya sunnah belaka, yaitu: qiyamul lail (tahajjud), shalat witir (shalat sunnah rakaat ganjil setelah shalat isya'), dan siwak (gosok gigi menjelang ibadah)".

Soal keutamaan shalat tahajjud ini dijelaskan sendiri oleh Tuhan, bahwa pelaku tahajud akan mendapatkan maqam mahmud, "‘asaa an yab’atsaka rabbuka maqaaman mahmuudaan". Maqam mahmud atau derajat terpuji di hadapan Allah SWT itu apa?

Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Dua Nabi, Bapak dan Anak

Pertama, adalah al-syafaat al-udhma, hak memberi pertolongan, bantuan terbesar yang dianugerahkan oleh Allah SWT khusus Rasulullah SAW. Di akhirat nanti, semua manusia butuh syafaat, butuh ditolong, butuh diampuni, butuh lepas dari siksa neraka, butuh singgah di surga. Tapi semua rasul terdahulu tidak ada yang bisa memberi syafaat, kecuali nabi kita, Muhammad SAW.

Maka syafaat tersebut merupakan mutlak otorita Rasulullah SAW dan terserah beliau, mau diberikan kepada siapa. Tentu saja lebih diutamakan untuk umatnya sendiri yang dipandang terdekat atau dekat atau yang layak diberi. Begitu makna maqam mahmud versi Abu Hurairah R.A. Al-Imam al-Turmudzy sebagai perawi memberi label hadis ini sebagai Hasan Shahih.

Di sini, semua beriman punya peluang mendapat syafaat tersebut. Cuma kansnya berbeda, porsi keterkabulannya dan besarannya berbeda. Tentu saja, mereka yang sangat dekat dengan Nabi, ibadah dan amal sosialnya bagus, punya keistiqamahan membaca shalawat cukup banyak, tentu lebih berpeluang mendapat banyak.

Baca Juga: Usia Nabi Nuh 1.000 Tahun, Tapi "Gagal" Dakwahi Umatnya, Ini Perbedaan-Persamaan dengan Nabi Luth

Sama dengan proposal yang diajukan kepada presiden. Lembaga pendidikan yang dekat dengan beliau biasanya lebih berpeluang dibantu dan besar lagi angkanya. Apalagi lembaga yang mendukung arah politiknya. Tidak sama dengan lembaga yang berlawanan politik, tentu kurang ditanggapi.

Makanya, banyak-banyaklah membaca shalawat kehadirat Rasulullah SAW secara khusyu' dan istiqamah. Bukan cengengesan dan show. Makanya, jangan membenci bershalawat, anda akan menyesal di padang makhsyar nanti. Anda sangat butuh bantuan, tetapi Rasulullah SAW tidak sudi melirik anda.

Kemudian ulama berbeda pandangan soal bentuk syafaat tersebut. Diambil pendapat paling sederhana, bahwa syafaat yang ada di tangan nabi itu ada yang umum dan ada yang khusus. Syafaat umum yaitu syafaat yang ditebar untuk semua umat manusia yang beriman berupa pengampunan. Besarannya terserah Tuhan.

Baca Juga: Fikih Kentut: Ulah Syetan Meniup Dubur agar Kita Ragu Wudlu Batal apa Tidak

Sedangkan syafaat khusus diberikan kepada orang tertentu sesuai kondisi masing-masing. Ada orang yang diputus bersalah dan harus disiksa di neraka, maka syafaat diberikan sebagai potongan hukuman bahkan pembebasan total. Ya kayak grasi atau amnesti. Lalu dimasukkan ke surga.

Ada umat nabi yang sudah diputus sebagai masuk surga, cuma kelasnya rendah. Syafaat diberikan kepadanya dengan dinaikkan ke kelas surga yang lebih tinggi. Ada juga umat Rasulullah SAW yang diberi syafaat berupa bebas dari hisab, bebas dari pengadilan akhirat, lalu terbang langsung ke surga. Mudah-mudah Allah SWT menganugerahi kita syafaat tersebut.

Kedua, maqam mahmud adalah tempat khusus di sisi Allah SWT yang diperuntukkan bagi Nabi Muhammad SAW saja, di mana tidak ada yang pantas bertempat di situ. Hal itu sebagai penghormatan spesial bagi nabi seperti tertera pada al-hadis terkait doa setelah adzan dikumandangkan. "Allahumm rabb hadzih al-da'wah al-tammah wa al-shalah al-qa'imah, ati muhammad al-wasilah wa al-fadlilah wa ib'atshu MAQAMA MAHMUDA al-ladzi wa'adtah..".

Baca Juga: Tafsir Al Quran Aktual: Kebanggaan Kentut dan Seks Brutal Kaum Nabi Luth

Dari sini bisa dikembangkan, bahwa reward yang diberikan Tuhan terhadap pelaku tahajjud berbeda. Untuk sekelas nabi Muhammad SAW adalah al-maqam al-mahmud yang spesial tadi. Sedangkan bagi umatnya tentu lebih rendah dari itu. Tapi tetap di dalam kawasan surga. Maka, mereka yang aktif shalat tahajjud sudah bisa dipastikan sebagai pemegang tiket surga.

Ketiga, tafsir aktual menyodorkan aktualisasi ayat tahajud ini, bahwa tahajjud adalah kunci kemuliaan seseorang. Maqam mahmud tidak saja ada di akhirat nanti, melainkan bisa pula diakses di dunia kini, berupa kedudukan mulia di sisi Tuhan. Barang siapa yang ingin mulia, ingin mendapat kehormatan di sisi Allah SWT dan juga terhormat di sisi para malaikat, juga terhormat di sisi manusia, silakan aktif shalat tahajud.

Mengapa shalat tahajjud bisa menyebabkan seseorang menjadi mulia, punya maqam mahmud?

Membicarakan persoalan "mengapa" terkait hukum sebab - akibat, ada dua pendapat. Pertama, para ulama' yang berdasar pemikiran tafwidl, menitik beratkan persoalan kepada kemutlakan kehendak Allah SWT. Jadi, ya begitu itu kehendak-Nya. Tuhan dengan mau-Nya sendiri memilih tahajjud sebagai media kemuliaan, titik. Maka tidak perlu dicari apa sebabnya, karena belum tentu benar. Di sini, Tuhan tidak terikat oleh hukum sebab dan akibat. Tidak semua sesuatu berjalan di atas hukum sebab dan akibat.

Kedua, ulama yang mengidolakan hukum sebab dan akibat. Maka, bagi mereka, mencari penyebab dari sebuah kebijakanTuhan itu tidak salah, bahkan penting. Tidak salah, karena beberapa hukum yang digariskan Tuhan sendiri mencerminkan adanya sebab-akibat. Api berakibat panas, makan berefek kenyang, olah raga menyebabkan sehat dan sebagainya.

Dikatakan sebagai penting, karena perintah-Nya sendiri menyuruh manusia berpikir terhadap ciptaan atau firman-Nya. Dengan menemukan faktor yang diyakini sebagai penyebab sebuah kebijakan Tuhan akan memacu manusia beriman lebih semangat dan menekuni, sekaligus lebih merunduk di hadapan Tuhan. Sebab-sebab itulah yang kemudian diistilahkan sebagai wajh al-hikmah.

Shalat tahajjud sungguh wujud nyata keseriusan seorang hamba untuk hadir ke pangkuan Tuhan, meski kondisi badan sedang di tengah-tengah tidur lelap. Hamba itu mampu mengalahkan nafsunya sendiri demi bermunajah dengan Tuhan di malam hari.

Pada pertemuan ini, sang hamba bisa sowan sendirian dan berbisik sendirian dengan Tuhan. Dalam keheningan malam, suasana sangat kondusif bagi siapa saja yang hendak menunaikan hajatnya. Tahajjud bagaikan mengetuk pintu Tuhan dan dipersilakan masuk ruangan hanya berduaan. Di situ, lobi, permohonan, dan tangisan lebih berpotensi mengunduh rahmat Tuhan.

Anda membagi uang kepada anak-anak anda secara serentak dengan besaran yang sama. Jika di majelis itu ada seorang anak yang meminta tambahan karena ada kebutuhan lain, maka kecil kemungkinannya anda kabulkan, karena pertimbangan tertentu, keadilan, membuat iri yang lain dan lain-lain.

Beda ceritanya, jika si anak tadi datang sendirian dan mengetuk pintu kamar anda pada malam hari. Lalu merayu anda meminta uang tambahan. Bisa dipastikan, anda akan belas kasihan dan memberi. Maka jangan heran jika ada orang yang derajatnya beda dengan yang lain, meski ilmunya sama atau bahkan lebih rendah. Bisa jadi karena power tahajjudnya.

*Dr. KH. A Musta'in Syafi'ie M.Ag adalah Mufassir, Pengasuh Rubrik Tafsir Alquran Aktual HARIAN BANGSA, dan Pengasuh Pondok Pesantren Madrasatul Qur’an (MQ), Tebuireng, Jombang.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Berita Terkait

BANGSAONLINE VIDEO