Tafsir Al-Isra 85: Refleksi Hari Tasyriq, Hari Freezer

Tafsir Al-Isra 85: Refleksi Hari Tasyriq, Hari Freezer Ilustrasi: Warga menguliti kambing saat Hari Raya Idul Adha. foto: Warta Kota

Oleh: Dr. KH. A Musta'in Syafi'ie M.Ag*

85. Wayas-aluunaka ‘ani alrruuhi quli alrruuhu min amri rabbii wamaa uutiitum mina al’ilmi illaa qaliilaan.

Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Panduan dari Nabi Daud dan Nabi Sulaiman untuk Memutus Kasus Perdata

Dan mereka bertanya kepadamu (Muhammad) tentang ruh. Katakanlah, “Ruh itu termasuk urusan Tuhanku, sedangkan kamu diberi pengetahuan hanya sedikit.”

TAFSIR AKTUAL

Ayat kaji kita (Al-Isra: 85) membicarakan soal al-Ruh, di antaranya bermakna al-qur'an. Jadinya, Al-Qur'an Al-Karim itu benar-benar power yang amat dahsyat yang bisa menggerakkan orang beriman lebih kuat beribadah. Juga sebagai spirit yang mengobarkan jiwa mereka untuk berbuat kebajikan. Selanjutnya Al-Qur'an menuntun manusia menjadi mengerti. "ma kunta tadri ma al-kitab wa la al-iman wa lakin ja'alnah nura nahdi bih..".

Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Cara Hakim Ambil Keputusan Bijak, Berkaca Saja pada Nabi Daud dan Sulaiman

Lalu, power (Ruh), nur (cahaya) itu kita pancarkan ke dua hari 'Id yang kita miliki, yakni, 'id al-fitr dan 'id al-adha. 'id al-fitr (bukan 'id al-fitrah), adalah hari pesta sarapan pagi, pesta makan-makan. Sebuah hari merangkul dan meramah-tamahi kaum du'afa' untuk makan bersama dengan orang berduit, dilambangkan dengan mengeluarkan zakat fitrah (subsidi untuk mensucikan diri) atau zakat fitr (subsidi untuk makan pagi). Makanya, penerima subsidi ini hanyalah orang-orang tertentu.

Kedua, id al-adha, hari pesta makan besar yang titik tekannya pada besaran lauk-lauk, daging segar melezatkan. Beda dengan 'id al-fitr yang orientasinya menanggulangi kelaparan, 'id al-adha lebih pada peningkatan gizi, berpesta makan besar yang nikmat.

Untuk itu, tidak ada kriteria khusus bagi penerima daging qurban. Siapa pun boleh dan disunnahkan, tidak pandang pejabat atau konglomerat, termasuk yang berqurban. Ya, karena orientasinya adalah "keberkahan", bukan penutup kelaparan.

Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Memetik Hikmah dari Kepemimpinan Nabi Daud dan Nabi Sulaiman

Pesata ini diperpanjang hingga total menjadi empat hari: tanggal 10, 11, 12 dan 13 Dzil hijjah, agar setiap lapisan manusia, binatang, bahkan kawanan Jin bisa sama-sama menikmati. Untuk itu, hewan qurban di tanah haram, Makkah yang sangat melimpah tidak boleh distribusikan keluar negeri walau di sana ada kelaparan.

Hal itu karena daging-daging tersebut adalah hak mutlak semua makhluq Tuhan yang ada di sekitar situ, baik yang berakal maupun yang tidak berakal, baik yang terlihat maupun yang tidak terlihat. Yang butuh dan doyan daging bukan hanya manusia saja, di sana ada binatang buas, anjing, serigala padang pasir, dll, ada burung-burung, dari gagak, elang sampai pemakan bangkai. Bahkan kawanan Jin yang bersuka ria berpesta.

Pada 'id al-adha, Tuhan benar-benar mengadakan pesta besar yang spektakuler, bebas dan universal bagi semua makhluq-Nya, tidak ketinggalan para serangga, kutu, dan ulat tanah. Maka tidak boleh ada yang mencegah dan menghalangi pesta tahunan yang diselenggarakan Tuhan ini. Begitu pendapat ulama' sufistik. Silakan you berpendapan lain.

Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Keputusan Bijak untuk Sengketa Peternak Kambing Vs Petani

Pesta empat hari itu, taggal 10 disebut hari udhiyah (peneyembelihan), sedangkan 11, 12 dan 13 disebut hari tasyriq (penjemuran daging yang tidak habis dimakan). Kiranya ayyam al-tasyriq bisa diaktualkan menjadi begini:

Pertama, dinamakan hari penjemuran daging (tasyriq), karena zaman dulu belum ada tehnologi pengawetan daging. Lalu pengawetannya menggunakan jasa alam, sinar matahari. Daging yang dijemur di bawah terik matahari, di daerah super tropis seperti Arab sungguh sangat efektif mematikan bakteri, mengeringkan, dan mengawetkan.

Karena sekarang sudah ada teknologi pengawetan daging, maka hari tasyriq diaplikasikan menjadi Hari Freezer, daging dimasukkan ke dalam lemari pendingin, tanpa perlu mengubah nama tasyriq. Itulah pemahaman Nash berpijakan makna esensial, bisa diaktualkan sesuai keadaan dan bukan pada makna formalistik. Andai seseorang tetap pada makna verbaliknya, dengan tetap menjemur daging, maka boleh-boleh saja.

Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Dua Nabi, Bapak dan Anak

*Dr. KH. A Musta'in Syafi'ie M.Ag adalah Mufassir, Pengasuh Rubrik Tafsir Alquran Aktual HARIAN BANGSA, dan Pengasuh Pondok Pesantren Madrasatul Qur’an (MQ), Tebuireng, Jombang.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Berita Terkait

BANGSAONLINE VIDEO