Tanggapan Syuriah PBNU soal Usul Penulis Buku Ahok agar MUI Beri Fatwa Boleh Tak Puasa saat Corona

Tanggapan Syuriah PBNU soal Usul Penulis Buku Ahok agar MUI Beri Fatwa Boleh Tak Puasa saat Corona KH Afifuddin Muhajir. foto: ist/bangsaonline.com

SURABAYA, BANGSAONLINE.com - Rudi Valinka, penulis buku Man Called mengusulkan Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan Kementerian Agama RI (Kemenag)  mengeluarkan fatwa orang boleh tidak puasa pada bulan Ramadan karena kondisi .

“Mumpung lagi libur, gue punya usul seandainya bulan puasa yang akan tiba 17 hari lagi, kemenag dan MUI buat fatwa utk memperbolehkan orang tidak puasa,” tulis Rudi Valinka di akun pribadinya, @kurawa.

Baca Juga: Politikus PDI Perjuangan Ungkap Alasan Ahok Layak Maju di Pilgub Sumut 2024

Menurut dia, puasa bisa digantikan dengan membayar denda dan memberi makan untuk orang miskin. “Ini cara paling ideal untuk kondisi sekarang,” tulis pendukung berat itu.

Bagaimana tanggapan Wakil Rais Syuriah PBNU KH Afifudddin Muhajir? Kiai alim fiqh itu menegaskan bahwa puasa beda dengan salat Jumat. “Menurut pemahaman saya sampai saat ini, bahwa puasa tidak sama dengan salat jumat dan jamaah. Tidak ada hubungan antara penyebaran virus Corona dengan pelaksanaan puasa Ramadan,” kata KH Afifuddin Muhajir kepada BANGSAONLINE.COM, Jumat (17/4/2020).

Baca Juga: Bagikan Tafsir Al-Jailani, Khofifah Ajak GenZi Jadi Generasi yang Cinta dan Mengamalkan Quran

“Saya sepakat dengan fatwa para ulama bahwa potensi penyebaran virus Corona itu menjadi udzur atau menjadi alasan bagi kaum muslimin untuk meninggalkan salat jumat dan para jemaah dengan jumlah yang besar, terutama daerah rawan, tempat yang sudah dinyatakan sebagai zona merah,” kata Kiai Afifuddin Muhajir.

Tapi untuk puasa Ramadan beda. Karena, tegas Kiai Afifuddin, puasa adalah mas’alatul a’yan (persoalan individu). “Setiap muslim bisa melaksanakan puasa di tempat masing-masing tanpa harus berkumpul di tempat tertentu bersama orang lain,” kata penulis kitab Fathu Al-Mujib Al-Qorib itu.

Justru, kata Kiai Afifuddin, yang menjadi acuan wajib dan tidak wajib puasa adalah al-qudratu wal masyaqqah. Yaitu kemampuan melaksanakan puasa dan perasaan berat untuk melaksanakan puasa.

Baca Juga: Lebaran Tinggal Hitungan Hari, Ini Tips Berhijab Bagi yang Punya Pipi Tembem

“Jadi orang yang punya kemampuan berpuasa, (maka) wajib melaksanakan puasa,” katanya. Sedangkan orang yang tak memiliki kemampuan atau merasa sangat berat melaksanakan puasa, maka dibolehkan tidak berpuasa.

(Rudi Valinka. foto: kalteng pos.co)

Baca Juga: Lucu! Polisi Bagikan Takjil, Pengendara Putar Balik, Jalan Raya Sepi, Mengira Tilang

Menurut kiai santun ini, dalam kitab-kitab syariat ada beberapa hal yang dikategorikan sebagai alasan (udzur) boleh tidak puasa. “Karena hal itu merupakan indikasi masyaqqah, meskipun belum benar-benar riil sebagai masyaqqah,” tegas Wakil pengasuh Pondok Pesantren Salafiyah Syafiiyah Sukorejo Situbondo Jawa Timur itu.

Ia mencontohkan sakit. Para ulama berbeda pendapat tentang ukuran sakit yang memperbolehkan seseorang tidak puasa. Ia juga mencontohkan tentang safar atau bepergian. Menurut dia, ada sebagian orang tidak merasa berat puasa saat bepergian. Tapi ada nash khusus - baik dalam al-Quran maupun haidts - bahwa safar itu bisa menjadi alasan bagi muslim untuk tidak puasa.

Begitu juga dengan pekerja berat. Apakah pekerja berat boleh menigggalkan puasa. Menurut dia, tidak bisa dijawab boleh puasa atau boleh tidak berpuasa. “Tidak bisa dijawab wajib puasa atau boleh tidak puasa,” katanya. Tapi tergantung kepada individu-individu. Meski ada orang pekerjaannya berat, jika ia mampu berpuasa, maka wajib berpuasa.

Baca Juga: Al-Quran tentang Makna Digital

Yang sering dipermasalahkan, kata Kiai Afifuddin,  adalah puasa kaum muslimin yang hidup di daerah yang waktu siangnya cukup panjang sampai 20 jam. Apakah mereka boleh tidak puasa? Tergantung individu-individu. Bagi mereka yang mampu puasa, maka wajib puasa. Tapi bagi mereka yang tak sanggup puasa, tidak wajib puasa. 

"Artinya, pada waktu malam hari semua orang wajib berniat pusa. Tapi pada saat siang tergantung masing-masing orang. Bagi yang mampu berpuasa maka diwajibkan melanjutkan puasa. Tapi bagi yang tak sanggup berpuasa boleh berbuka," katanya.

Kiai Afifuddin Muhajir mengutip Surat Al-Baqarah ayat 184: wa’alalladzina yuthiqunahu fidyatun tho’amu miskinin (Dan wajib bagi orang yang berat melaksanakan puasa membayar fidyah memberi makan orang miskin).

Baca Juga: Selama Ramadhan, Polres Jember Gelar Patroli Kamtibmas

Kiai Afifuddin menjelaskan bahwa sebagian ulama mengatakan bahwa ayat ini mengandung pengertian bahwa orang-orang yang mampu melaksanakan puasa boleh memilih: puasa atau mengganti dengan bayar fidyah. “Tapi ‘pilihan’ yang tertuang dalam ayat ini kemudian dimanshuh, sudah dianulir dengan firman Allah Ta'ala yang lain yaitu: faman syahida minkumus-syahra fal-ayasumhu. Ayat ini mengandung pengertian, tidak ada pilihan lain bagi orang yang hadir dalam bulan Ramadan kecuali harus puasa. Tentu bagi mereka yang mampu,”katanya.

Sebagian ulama lain, kata Kiai Afifuddin Muhajir, berpendapat bahwa dalam ayat waalalladzina yuthiqunahu fidyatun tho’amu miskinin itu ada huruf laa yang dibuang. “Aslinya waalalladzina laa-yuthiqunahu fidyatun tho’amu miskinin. Artinya: Dan wajib bagi orang yang tidak bisa melaksanakan puasa untuk membayar fidyah, memberi makan orang miskin,” kata Kiai Afifuddin Muhajir.

Lalu bagaimana dengan usulan boleh tak puasa tapi bayar fidyah agar bisa terkumpul dana banyak untuk menangani covid-19? “Silakan pengumpulan dana dilakukan, tapi bukan sebagai fidyah yang menggantikan puasa. Santunan untuk mencukupi kebutuhan kaum papa menjadi tanggungjawab orang-orang kaya. Dan negara harus menjadi fasilitator yang mengayomi,” kata Kiai Afifuddin Muhajir. (MA)

Baca Juga: Jangan Main-Main dengan Kata Kiblat, Ketahui Sejarah Perpindahannya yang Penuh Hikmah

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Lihat juga video 'Detik-Detik Warga Desa Lokki Maluku Nekat Rebut Peti Jenazah Covid-19':


Berita Terkait

BANGSAONLINE VIDEO