Tafsir Al-Isra 86-87: Refleksi Hijrah dan Impor Rektor

Tafsir Al-Isra 86-87: Refleksi Hijrah dan Impor Rektor Ilustrasi. foto: Ubaya

Oleh: Dr. KH. A Musta'in Syafi'ie M.Ag*

86. Wala-in syi‘naa lanadzhabanna bialladzii awhaynaa ilayka tsumma laa tajidu laka bihi ‘alaynaa wakiilaan.

Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Panduan dari Nabi Daud dan Nabi Sulaiman untuk Memutus Kasus Perdata

Dan sesungguhnya jika Kami menghendaki, niscaya Kami lenyapkan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu (Muhammad), dan engkau tidak akan mendapatkan seorang pembela pun terhadap Kami,

87. Illaa rahmatan min rabbika inna fadhlahu kaana ‘alayka kabiiraan.

Kecuali karena rahmat dari Tuhanmu. Sungguh, karunia-Nya atasmu (Muhammad) sangat besar.

Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Cara Hakim Ambil Keputusan Bijak, Berkaca Saja pada Nabi Daud dan Sulaiman


TAFSIR AKTUAL

Perhatikan, betapa sedikit ilmu yang kita miliki. Begitu sindir ayat kaji kemarin (85). Artinya: pertama, kita dituntut terbuka dan punya kesadaran mendalam terhadap keterbatasan kita sendiri. Kedua, arahan yang sangat visioner agar lebih maju. Ketiga, manusia tidak ada yang sempurna, dan keempat, tidak merasa paling bisa.

Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Memetik Hikmah dari Kepemimpinan Nabi Daud dan Nabi Sulaiman

Meskipun terkritik oleh disiplin ilmu Hadis sebagai bukan al-Hadis, tapi terma "Tuntutlah ilmu meski ke negeri Cina", dari sisi "matan" sungguh nasehat yang sangat inovatif. Negeri ini sudah lama dan terbiasa mengimpor barang-barang dan teknologi dari negara asing. Hukumnya sah dan lezat dinikmati.

Daripada hanya bisa menikmati produknya, hanya jadi bangsa konsumen, tentu akan lebih baik memiliki ilmunya dan menjadi bangsa produsen. Namanya: "alih teknologi" dan itu sudah kita amalkan.

Lihat di dunia akademik, para ilmuwan selalu bangga mengutip, merujuk pendapat ilmuwan asing dan itu umum. Malahan merasa kurang "elite" merujuk pendapat ilmuwan lokal. Dalam ilmu agama, semua imam mujtahid maupun ashab al-mujtahid adalah orang asing. Dalam dunia pendidikan, ekonomi, filsafat, dan lain-lain nambah nemen. Guru besar impor sudah tidak asing bagi kita.

Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Keputusan Bijak untuk Sengketa Peternak Kambing Vs Petani

Perkara impor-imporan ini, Gus Dur dulu pernah mengusulkan ada hakim impor. Ya demi lebih mempercepat tegaknya keadilan dan supremasi hukum di negeri ini. Tapi diprotes habis-habisan, dan Gus Dur mengalah. Lalu, hakim yang terkena OTT makin banyak. Padahal, negara-negara lain melakukan itu dan nyatanya bagus. Singapura sudah maklum, ya impor Hakim, ya impor Rektor. Bahkan Australia pernah menyewa Hakim impor hingga dua belas tahun.

Mohon dimengerti, bahwa ranking perguruan tinggi di negeri ini, baik negeri maupun swasta jauh dan sangat jauh terpental dari prestasi dunia. Semisal dalam QS World University Ranking, sekelas Universitas Indonesia (UI) Jakarta yang kita banggakan hanya masuk pada ranking ke-296, UGM Yogyakarta urutan ke-320, ITB Bandung ke-331, dan seterusnya (Kompas.com. 24 Juni 2019). Jangan tanya ranking perguruan tinggi agama Islam di negeri ini.

Sebagai orang beriman, kita mesti berpegang pada nasehat agama. Perlu sekali kita mencerna nasehat Nabi Muhammad SAW, bahwa: "orang beriman itu tidak boleh merasa kenyang dalam kebajikan...". Maka langkah inovasi dan ke depan harus lebih baik.

Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Dua Nabi, Bapak dan Anak

Orang yang sewot dan kegerahan terhadap gagasan Rektor Impor, pasti bukan atas dasar agama dan kemajuan umat. Rasanya lebih pada gengsi dan kepongahan. Dalihnya macam-macam: tidak percaya anak bangsa, menganggap anak bangsa tidak ada yang mampu, dan lain-lain. Lha kalau nyatanya tidak mampu dan nyatanya juga tidak maju, kenapa tidak? Terpengaruh pikiran asing? Lha kalau lebih baik, kenapa tidak?

Tidak ada yang salah dalam hal ini. Kita sudah terbiasa mengimpor dan tidak malu. Merekrut Rektor Asing demi mendongkrak perguruan tinggi kita masuk ranking 100 besar dan itu diyakini sebagai jalan terbaik, maka sungguh keniscayaan yang mesti dilakukan dan itu perintah agama. Pribadi beriman mesti berhijrah dari ketertinggalan menuju kemajuan. Niatilah upaya itu sebagai ibadah Li Allah Ta'ala, Tuhan pasti membantu.

*Dr. KH. A Musta'in Syafi'ie M.Ag adalah Mufassir, Pengasuh Rubrik Tafsir Alquran Aktual HARIAN BANGSA, dan Pengasuh Pondok Pesantren Madrasatul Qur’an (MQ), Tebuireng, Jombang.

Baca Juga: Usia Nabi Nuh 1.000 Tahun, Tapi "Gagal" Dakwahi Umatnya, Ini Perbedaan-Persamaan dengan Nabi Luth

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Berita Terkait

BANGSAONLINE VIDEO