Tafsir Al-Isra 98-99: Memang Sulit, Mengimani Hari Kebangkitan

Tafsir Al-Isra 98-99: Memang Sulit, Mengimani Hari Kebangkitan Ilustrasi

Oleh: Dr. KH. A Musta'in Syafi'ie M.Ag*

98. Dzaalika jazaauhum bi-annahum kafaruu bi-aayaatinaa waqaaluu a-idzaa kunnaa ‘izhaaman warufaatan a-innaa lamab’uutsuuna khalqan jadiidaan

Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Panduan dari Nabi Daud dan Nabi Sulaiman untuk Memutus Kasus Perdata

Itulah balasan bagi mereka, karena sesungguhnya mereka kafir kepada ayat-ayat Kami dan (karena mereka) berkata, “Apabila kami telah menjadi tulang belulang dan benda-benda yang hancur, apakah kami benar-benar akan dibangkitkan kembali sebagai makhluk baru?”

99. Awa lam yaraw anna allaaha alladzii khalaqa alssamaawaati waal-ardha qaadirun ‘alaa an yakhluqa mitslahum waja’ala lahum ajalan laa rayba fiihi fa-abaa alzhzhaalimuuna illaa kufuuraan

Dan apakah mereka tidak memperhatikan bahwa Allah yang menciptakan langit dan bumi adalah Mahakuasa (pula) menciptakan yang serupa dengan mereka, dan Dia telah menetapkan waktu tertentu (mati atau dibangkitkan) bagi mereka, yang tidak diragukan lagi? Maka orang zalim itu tidak menolaknya kecuali dengan kekafiran.

Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Cara Hakim Ambil Keputusan Bijak, Berkaca Saja pada Nabi Daud dan Sulaiman

TAFSIR AKTUAL

Ayat sebelumnya bertutur tentang orang-rang kafir yang congkak dan menertawakan ajaran agama, lalu al-qur'an memberitahukan bahwa kelak di hari kiamat nanti akan dihidupkan kembali dan digiring ke neraka dengan berjalan terbalik. Kepala jadi kaki, dan kaki jadi kepala.

Kemudian, dalam ayat ini mereka menertawakan lagi, yang katanya: " .., mana mungkin kita bisa dihidupkan kembali, sementara kita sudah lama mati dan tulang-belulang kita sudah larut dengan tanah. Asyik dong, kita jadi manusia baru, dan segar kembali". "a'idza kunna 'idhama wa rufata a'inna lamab'utsun khalqa jadida".

Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Memetik Hikmah dari Kepemimpinan Nabi Daud dan Nabi Sulaiman

Disoal begitu, al-qur'an menjawab dengan mengajak mereka berpikir jujur dan logis. Cobalah dipikir, Dialah Allah, Tuhan yang mahakuasa mencipta langit dan bumi. Sekuasa itu, apa tidak bisa hanya sekadar menghidupkan orang mati. Dari yang tidak ada menjadi ada saja bisa, apalagi dari yang sudah pernah ada, lalu diteruskan menjadi ada.

Di ayat ini terbaca, bahwa memang sulit mengimani hari kebangkitan nanti bagi orang yang hanya mengandalkan akal pendek. Mereka tidak bisa membayangkan, bagaimana tulang yang sudah rapuh dan bercampur dengan tanah menjadi pulih kembali, menjadi manusia baru yang hidup seperti sedia kala. Pasti dianggap mustahil dan tidak terjadi.

Bagi mereka, mati ya mati, titik, dan itulah akhir kehidupan. Makanya, mereka bebas-bebas saja berbuat, mau maksiat, durhaka, ngumbar nafsu dan lain-lain tak ada masalah. Kebahagiaan, ya di dunia ini saja. Tentu berbeda dengan orang beriman, bahwa dunia ini adalah media berbuat sesuatu, tempat beramal, sementara di akhirat nanti kita ngunduh balasannya.

Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Keputusan Bijak untuk Sengketa Peternak Kambing Vs Petani

Dunia ini tempat beramal dan tidak bukan tempat menerima pembalasan, sementara di akhirat adalah tempat pembalasan dan tidak ada lagi kesempatan beramal. "al-yaum yaum 'amal wa la jaza', wa ghada yaum jaza' wa la 'amal". Sesekali ada perbuatan baik di dunia yang dibayar kontan oleh Allah, seperti sedekah, lalu rezeki bertambah banyak, itu hanya bonus, untuk memacu perbuatan baik selanjutnya. Pahala di akhirat tetap utuh.

Atau juga ada orang yang kualat setelah berbuat zalim, maka itu juga sekadar peringatan awal saja. Siksa di akhirat tetap ada. Seperti Abu Lahab dan Umm Jamil, istrinya. Keduanya kejam banget dan tidak henti-hentinya menjahati nabi ketika di dunia. Abu Lahab sakit menjijikkan dan mati membusuk, sementara istrinya menyiksa diri tanpa sadar, lalu mati mengenaskan.

Dari kisah Abu Lahab dan istrinya ini bisa diambil pelajaran, "Barang siapa yang banget manzalimi orang alim, merendahkan orang shalih, hobi menyakiti kiai waro', zuhud, merintangi dakwah agama Allah dengan cara zalim, biasanya akhir hanyatnya, kualat dan menderita".

Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Dua Nabi, Bapak dan Anak

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Berita Terkait

BANGSAONLINE VIDEO