Tafsir Al-Kahfi 6: Tidak Boleh Membenci Nonmuslim

Tafsir Al-Kahfi 6: Tidak Boleh Membenci Nonmuslim Ilustrasi kerukunan beragama. foto: PGI

Oleh: Dr. KH. A Musta'in Syafi'ie M.Ag*

6. Fala’allaka baakhi’un nafsaka ‘alaa aatsaarihim in lam yu/minuu bihaadzaa alhadiitsi asafaan

Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Panduan dari Nabi Daud dan Nabi Sulaiman untuk Memutus Kasus Perdata

Maka barangkali engkau (Muhammad) akan mencelakakan dirimu karena bersedih hati setelah mereka berpaling, sekiranya mereka tidak beriman kepada keterangan ini (Al-Qur'an).

TAFSIR AKTUAL

Awal surah hingga ayat ke lima, Tuhan hadir dengan sifat-Nya yang maha terpuji. Dialah yang menurunkan kitab suci sebagai pemandu umat manusia menuju kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat. Lalu mengingatkan, bahwa mereka yang ingkar akan disiksa pedih dan yang beriman dan beramal kebajikan akan mendapatkan pahala surga.

Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Cara Hakim Ambil Keputusan Bijak, Berkaca Saja pada Nabi Daud dan Sulaiman

Tidak hanya itu, Tuhan juga menunjuk pola kemusyrikan yang sangat menyakitkan perasaan-Nya. Bagaimana mereka tega menuduh Tuhan punya anak. Punya anak laki-laki bernama Uzair seperti keyakinan Yahudi dan Isa atau Yesus seperti keyakinan orang-orang Nasrani. Juga punya anak perempuan seperti anggapan kaum musyrik Makkah. Oleh Tuhan, semua itu ditepis mentah-menta dan dinyatakan sebagai kayakinan dusta dan tanpa dasar ilmu sedikit pun. "in yaqulun illa kadziba".

Rupanya pola kekufuran dan aksi kemusyrikan di atas sangat meresahkan hati nabi Muhammad SAW. Adalah normal banget, sebagai seorang Rasul yang diamanati agama Islam dan berkewajiban berdakwah, Rasulllah SAW pingin banget mereka beriman dan mengikuti apa yang beliau dakwahkan. Tapi hidayah didapat tidak semudah membalik telapak tangan.

Abu Lahab yang nama kecilnya Abd al-Uzza adalah paman Nabi yang terkaya dan sangat mencintai nabi sejak kecil. Dia mengerti betul bahwa Muhammad ibn Abdillah sejak kecil tidak pernah bohong, apalagi berbuat salah, meski hanya sekali. Dia juga menyaksikan cahaya kenabian memancar dari wajah keponakannya itu, mengerti pula ada wahyu yang turun, tapi dia ingkar dan kufur. Termasuk Kakeknya, Abd al-Muttalib yang merawat nabi sejak kecil. Memang melindungi, memang menyayangi, tapi tidak mau beriman hingga ajal tiba.

Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Memetik Hikmah dari Kepemimpinan Nabi Daud dan Nabi Sulaiman

Gelisah dan gundah, itulah sindir Tuhan "fa la'allak bakhi' nafsak...". Disuruh jadi nabi, disuruh berdakwah, sudah dilakukan sebaik-baiknya, tapi hidayah-Nya tidak diberikan. Iki piye? Kira-kira begitu perasaan Nabi ini.

Tuhan langsung memberi jawaban, bahwa hidayah adalah otorita-Nya secara mutlak. Sedangkan tugas nabi hanyalah menyampaikan saja, titik. Tak lebih dari itu. Jangan sampai kecewa atas kemusyrikan mereka, dan jangan pula marah terhadap kekufuran mereka. Membenci nonmuslim karena kemusyrikannya, karena kekufurannya itu tidak diperbolehkan. Itu urusan mereka dengan Tuhan, bukan dengan kita. "..in lam yu'minu bi hadza al-hadis asafa". Tapi menjaga keimanan dari ulah mereka sungguh diwajibkan.

*Dr. KH. A Musta'in Syafi'ie M.Ag adalah Mufassir, Pengasuh Rubrik Tafsir Alquran Aktual HARIAN BANGSA, dan Pengasuh Pondok Pesantren Madrasatul Qur’an (MQ), Tebuireng, Jombang.

Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Keputusan Bijak untuk Sengketa Peternak Kambing Vs Petani

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Berita Terkait

BANGSAONLINE VIDEO