Tafsir Al-Kahfi 23-24: Teologi "In Sya' Allah"

Tafsir Al-Kahfi 23-24: Teologi "In Sya

Oleh: Dr. KH. A Musta'in Syafi'ie M.Ag*

23. Walaa taquulanna lisyay-in innii faa’ilun dzaalika ghadaan

Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Panduan dari Nabi Daud dan Nabi Sulaiman untuk Memutus Kasus Perdata

Dan jangan sekali-kali engkau mengatakan terhadap sesuatu, “Aku pasti melakukan itu besok pagi,”

24. illaa an yasyaa-a allaahu waudzkur rabbaka idzaa nasiita waqul ‘asaa an yahdiyani rabbii li-aqraba min haadzaa rasyadaan

kecuali (dengan mengatakan), “Insya Allah.” Dan ingatlah kepada Tuhanmu apabila engkau lupa dan katakanlah, “Mudah-mudahan Tuhanku akan memberiku petunjuk kepadaku agar aku yang lebih dekat (kebenarannya) daripada ini.”

Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Cara Hakim Ambil Keputusan Bijak, Berkaca Saja pada Nabi Daud dan Sulaiman

TAFSIR AKTUAL

Ayat kaji ini disinyalir sebagai teguran Tuhan kepada Rasulullah SAW yang menyanggupi akan menjawab pertanyaan yang diajukan oleh orang-orang kafir Makkah. Mereka itu bawel banget dan semaunya mengerjai Rasulullah SAW. Dalam suatu kerumunan, para kafir itu menohok: "Hai Muhammad, jika kamu nabi beneran, beri kami penjelasan tentang Ruh".

Sejatinya Nabi tidak punya ilmu soal ruh, tapi pede sekali, bahwa Allah SWT pasti akan segera memberi tahu melalui wahyu. "Oke, besok akan saya jelaskan," jawab Nabi tegas sekali. Nah, pada jawaban itu, Nabi tidak menyertakan kalimah teologis "insya Allah" (jika Allah menghendaki). Itu artinya, nabi mengandalkan dirinya sendiri dan menafikan peran Tuhan. Jadinya?

Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Memetik Hikmah dari Kepemimpinan Nabi Daud dan Nabi Sulaiman

Tuhan "tersinggung" dan sejak hari itu hingga lima belas hari ke depan, malaikat Jibril A.S. diistirahatkan dan wahyu tidak turun. Waw, Rasulllah SAW gelisah bukan main karena cemooh orang-orang kafir makin menjadi-jadi. "Muhammad bohong, Tuhan Muhammd tidak menggubris lagi dan lain-lain".

Lalu ayat ini turun sebagai teguran sekaligus pelajaran bagi umat beriman. Juga penjelasan soal wahyu diturunkan, dan akhirnya, tuntaslah masalah. Untuk itu, jika membuat pernyataan hendak mengerjakan sesatu esok hari atau nanti, maka ucapkanlah "in sya' Allah". Boleh ditaruh setelah pernyataan atau sebelumnya. Saya besok mau ke Surabaya, in sya' Allah. Atau, in sya' Allah saya besok mau ke surabaya.

Berucap "in sya'Allah" memang ibadah berpahala. Selain merupakan kiprah kepasrahan kepada kehendak Yang Maha Kuasa, juga sebagai pengakuan mendalam atas kelemahan diri sebagai seorang hamba.

Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Keputusan Bijak untuk Sengketa Peternak Kambing Vs Petani

Tapi harus diingat, bahwa 'Istitsna'" (in sya' Allah) tersebut harus diposisikan pada persoalan yang tepat. Ini penjelasannya:

Pertama, Istitsna' hanya untuk perkara yang belum terjadi, yang akan dilakukan. Karena kata "IN.." (jika) itu untuk waktu mendatang. Sedangkan perkara yang sudah terjadi atau sudah lewat, maka tidak pas dibubuhi kata istitsna'.

Contoh: In sya' Allah setelah maghrib nanti saya mau belanja ke Mall. Pulang malam, langsung mengurung diri di rumah saja, dan tidak ke mana-mana hingga beberapa hari, bahkan ke masjid pun tidak. Lalu demam dan diperiksakan, ternyata positif terpapar Covid-19 dan ditetapkan sebagai status PDP.

Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Dua Nabi, Bapak dan Anak

Setelah shalat tarawih di masjid, ibunya nyambangi dengan APD lengkap. Kepada dokter jaga, si ibu bertanya, "gimana anak saya, pak dokter?". Pak dokter menjawab: "in sya Allah kena Corona". Nah ini tidak bener, karena sudah terkena.

Kedua, Istitsna' tidak untuk hal-hal eksak, pasti. Contoh, anda ditanya itung-itungan: dua kali dua berapa? Maka kurang tepat jika dijawab "in sya' Allah empat". Ya, jawab saja "Empat" tanpa in sya' Allah.

Jika terpaksa harus menjawab atau mengomentari peristiwa yang sudah lalu dan kita hanya ingat sedikit-sedikit atau tidak yakin atau ragu, maka tetap tidak boleh pakai kalimah: "in sya'Allah", pakailah kata yang lain. Misalnya antum ditanya: "kamu dulu khitan tahun berapa?". Jawab saja dengan kata, misalnya: "seingat saya, kalau tidak salah tahun sekian... dst.".

Baca Juga: Usia Nabi Nuh 1.000 Tahun, Tapi "Gagal" Dakwahi Umatnya, Ini Perbedaan-Persamaan dengan Nabi Luth

Dan faidah kalimah "in sya' Allah" diucap mengiringi program ke depan adalah agar tidak lupa saat waktunya tiba, dan lebih sukses saat pelaksanaan. Hal itu karena lebih berpotensi mendapat pertolongan Tuhan.

Jika kita lupa berucap in sya' Allah dan terlanjur berucap sanggup melakukan sesuatu, maka beristigfar-lah, memohon ampunan kepada Tuhan. Istingfar itu bagaikan kaffarah (konpensasi) atas kelalaian kita.

In sya' Allah juga bisa dipakai sebagai dasar keyakinan dugaan. Dugaan mana menurut keyakinan kita adalah positif karena beberapa pengalaman. Insya' Allah itu selanjutnya sebagai penjaminan atas sesuatu yang tidak menjadi hak kita, melainkan hak orang lain yang kita kenal.

Baca Juga: Fikih Kentut: Ulah Syetan Meniup Dubur agar Kita Ragu Wudlu Batal apa Tidak

Misalnya, ada teman datang mau meminjam sepeda motor untuk ke toko swalayan terdekat. Sepeda motor yang ada itu bukan milik anda, melainkan milik adik anda yang sedang tidak di rumah. Kuncinya ada dan anda yakin bahwa dia mengizinkan. Lalu anda meminjamkan. Si teman menolak karena bukan milik anda. Kemudian anda mengatakan: "Sudahlah, paka saja. In sya' Allah adik saya rela".

Terkait keseriusan melaksanakan program, kalangan santri membagi "in sya' Allah" menjadi dua pembagian. Pertama, Li al-jazm. Serius, pasti melaksanakan apa yang dicanangkan. Misalnya diundang hadir walimah pernikahan, lalu menjawab "... in sya' Allah" dengan hati serius menghadiri.

Kedua, dengan hati yang tidak serius atau kecil kemungkinannya untuk datang karena berbagai hal, tapi tetap berucap: "in sya' Allah". Maka itu disebut Li al-syakk. In sya' Allah dalam keraguan dan besar kemungkinan tidak hadir. Sementara tetap diucap untuk memenuhi etika undangan, agar tidak mencolok mengecewakan.

Baca Juga: Tafsir Al Quran Aktual: Kebanggaan Kentut dan Seks Brutal Kaum Nabi Luth

Meski demikian, yang terbaik adalah terus terang memberi tahu bahwa dirinya kemungkinan besar tidak bisa hadir, karena bla bla bla, dan memohon maaf sembari mendoakan sukses.

*Dr. KH. A Musta'in Syafi'ie M.Ag adalah Mufassir, Pengasuh Rubrik Tafsir Alquran Aktual HARIAN BANGSA, dan Pengasuh Pondok Pesantren Madrasatul Qur’an (MQ), Tebuireng, Jombang.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Berita Terkait

BANGSAONLINE VIDEO