Wajah Baru Afghanistan? As’ad Ali: Rabbani Pernah Minta NU Memoderasi Rakyat Afghanistan

Wajah Baru Afghanistan? As’ad Ali: Rabbani Pernah Minta NU Memoderasi Rakyat Afghanistan KH As'ad Said Ali (kanan) bersama (alm) KH Salahuddin Wahid (Gus Sholah) dalam acara di Institut Pesantren KH Abdul Chalim Pondok Pesantren Amanatul Ummah Pacet Mojokerto, Kamis (24/7/2019). Foto: BANGSAONLINE.com

Oleh: KH As'ad Said Ali (Wakil Ketua BIN (1999-2007) dan Wakil Ketua Umum PBNU (2010-2015)---

Pemerintah Afghanistan baru belum terbentuk. Salah seorang jubir Taliban Suhail Shaheen menyatakan akan dibentuk pemerintahan yang “inklusif”. Maksudnya bukan pemerintahan eksklusif yang hanya terdiri dari tokoh tokoh Taliban.

Baca Juga: Kesemek Glowing asal Kota Batu, Mulai Diminati Masyarakat Indonesia Hingga Mancanegara

Tokoh Taliban Amir Khan Muttaqi mengungkapkan adanya serangkaian pembicaraan yang sedang berlangsung antara Taliban dengan mantan Presiden Karzai dan Ketua Dewan Tinggi Perdamaian, Abdullah Abdullah.

Wajah Afghanistan baru di bawah Taliban mulai ditampilkan ke publik. Mulai dari larangan memakai burqa (penutup muka) bagi wanita, perintah dokter dan perawat wanita untuk terus bekerja, izin pemudi Afgan untuk belajar.

Taliban juga memberi jaminan keselamatan warga negara asing dan ingin menjalin hubungan baik dengan semua negara termasuk Amerika Serikat.

Baca Juga: Ratusan Wisudawan Universitas Harvard Walk Out, Protes 13 Mahasiswa Tak Lulus karena Bela Palestina

Imarah Islam Afganistan tampaknya akan menampilkan wajah baru guna menyatukan Afghanistan yang porak poranda setelah konflik lebih kurang selama 41 tahun. Ada beberapa faktor strategis yang mempengaruhi hal itu :

Pertama, faktor geo - politik regional. Mullah Omar yang pada waktu itu belum menjadi tokoh nasional menyikapi situasi kacau di daerahnya setelah melihat para warlord yang menindas rakyat dengan memeras, memperkosa, dan pelanggaran hukum lainnya.

Sebabnya, Mujahidin disibukkan perseteruan berebut kekuasan. Keberanian Mullah Omar tersebut menarik dukungan masyarakat luas. Momen tersebut oleh Saudi dan Pakistan dimanfaatkan untuk mendukung gerakaan Mullah Omar dengan memperluas perlawanan rakyat dan hal itu dilatarbelakangi oleh sikap pemerintahan Mujahidin yang lebih mengakomodir Iran dan India, sehingga dianggap mengganggu keseimbangan geopolitik regional.

Baca Juga: Amerika Bentuk Mujahidin, Putin pun Tunjuk Si Rambut Putih Komandan Perang

Mullah Omar muncul sebagai tokoh nasional dan kemudian didapuk sebagai pemimpin Taliban.

Kedua, faktor Geo - Strategis. Mullah Omar mengumumkan berdirinya “Imarah Islam Afghanistan” atau keemiran Islam Afghanistan, suatu sistem teokrasi yang yang dipimpin para mullah. Syariat Islam ditetapkan sebagai hukum negara yang dipraktikkan dengan ketat.

Pada satu sisi berhasil memulihkan keamanan dan ketertiban, tetapi pada sisi lain membatasi kebebasan termasuk memberangus hak-hak wanita. Sementara situasi ekonomi tidak berubah, timbul diskriminasi dan memberi angin terjadinya radikalisasi dan terorisme. Dampaknya, Taliban Pakistan melakukan perlawan terhadap pemerintah Pakistan, sehingga Taliban dianggap menjadi faktor instabilitas global . Dengan alasan Taliban melindungi Usama bin Ladin dan mendukung terorisme, AS-NATO menyerbu Afghan untuk mengakhiri kekuasaan Taliban dan mengembalikan kekuasaan ke tangan Mujahidin.

Baca Juga: China Kecam Aksi AS Tembak Balon Udara yang Dituduh Alat Mata-mata

Ketiga, Kepentingan Ekonomi Barat. Kembalinya Mujahidin ke tampuk pemerintahan dan kehadiran pasukan AS-NATO menimbulkan persoalan baru. Pemerintahan Mujahidin mendapat tekanan dari barat untuk memberikan konsesi pangkalan militer asing kepada AS, Inggris, dan Prancis.

Afghanistan menolak permintaan tersebut sesuai prinsip Non - Blok. AS-NATO bereaksi dengan tidak berupaya untuk menghidupkan ekonomi Afghanistan sehingga keadaan ekonomi rakyat tetap merana dan membuka peluang kembalinya Taliban.

Keempat, Perubahan Sikap Barat Terhadap Taliban. AS-NATO menyadari bahwa tanpa melibatkan Taliban dalam proses perdamaian, sulit tercapai stabilitas di Afghanistan. Indikasinya cukup jelas, Fraksi Akhundzada yang merupakan fraksi Taliban paling besar membuka biro politik Taliban di Doha Qatar, pada Juni 2013. Melalui kantor Perwakilan Taliban itulah pendekatan keduanya berlangsung. Tidak mungkin, Qatar mengizinkan pendirian biro politik tersebut tanpa sepengetahuan Amerika Serikat.

Baca Juga: Fakta Unik Negara Qatar: Tuan Rumah Piala Dunia 2022

Kelima, Kesadaran Baru Membangun Sikap Moderat. Para pemimpin Afghanistan menyadari untuk mengembalikan sikap moderat rakyatnya. Mantan Pres Burhanuddin Rabbani (pendiri Ikhwanul Muslimin Afghanistan) misalnya ketika berkunjung ke Indonesia, menunjukkan keinginan untuk belajar pengalaman Indonesia.

Ia meminta agar NU memoderasi pandangan rakyat Afghanistan yang cenderung radikal dengan memperkenalkan “Tawasuth, Tasamuh, Tawayun” kepada masyarakat Afghanistan yang secara manhaj keagamaan sama dengan muslimin Indonesia.

Ketika saya bersama Dr Nazarudin Umar berkunjung ke Afghanistan beberapa tokoh Mujahidin, antara lain menantu Abdul Rasul Sayaf, Sabawon menegaskan, dakwah Islam di Indonesia lebih cocok bagi rakyat Afghanistan. Ia mengatakan, mertuanya yang juga pemimpin nomer satu Ittihadul Mujahidin dan sekutu Arab Saudi, telah mengubah sikap dengan simbolisme memegang “Quran dan pedang” di tangan kanan dan kirinya, suatu sinyal perlunya moderasi dalam perjuangan.

Baca Juga: Ikuti Keseruan Indonesia International Book Fair 2022 di Jakarta Convention Center

Namun masih ada kendala yang harus diatasi oleh rezim baru Afghanistan. Pertama: dua fraksi Taliban yaitu Fraksi Haqqani dan fraksi Mullah Rasul yang masih dianggap radikal. Keduanya tidak terlibat dalam Biro Politik Taliban di Doha dan juga tidak terlibat operasi militer melawan pemerintah Afghanistan. Di samping itu kehadiran ISIS dan Al Qaeda di wilayah Afganistan berpotensi menjadi faktor yang mengganggu.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Berita Terkait

BANGSAONLINE VIDEO