Saya Ragu, Uang Sewa Lahan Saya, Halal atau Haram Hasilnya?

Saya Ragu, Uang Sewa Lahan Saya, Halal atau Haram Hasilnya? Prof. Dr. KH. Imam Ghazali Said, M.A.

>>> Rubrik ini menjawab pertanyaan soal Islam dalam kehidupan sehari-hari dengan pembimbing Prof. Dr. KH. Imam Ghazali Said, M.A. Kirim WA ke 081357919060, atau email ke bangsa2000@yahoo.com. Jangan lupa sertakan nama dan alamat. <<<

Pertanyaan:

Baca Juga: Saya Dilamar Laki-Laki yang Statusnya Pernah Adik, Keluarga Melarang, Bagaimana Kiai?

السّلام عليكم ورحمة الله وبركاته

Kiai Imam yang saya hormati, saya mengalami keraguan dengan uang hasil sewa lahan milik saya halal atau haram. Ceritanya begini, saya punya lahan (tanah kebon) akan disewa untuk membangunan tower yang digunakan untuk saluran telepon selular.

Seperti diketahui bersama, dalam saluran selular itu ada yang namanya untuk kebaikan atau dakwah dan sebaliknya. Di telepon selular juga bisa melihat dakwah sekaligus gambar atau video yang berbau pornografi yang dilarang dalam agama Islam. Dengan penggunaan tower tersebut ada sisi positif dan sekaligus negatifnya.

Baca Juga: Istri Tak Penuhi Kebutuhan Biologis, Saya Onani, Berdosakah Saya?

Pertanyaan saya, bagaimana hukumnya menurut Agama Islam dalam kondisi seperti itu? Apakah saya mendapat tambahan dosa atau pahala ketika tower digunakan untuk hal yang dilarang Islam sekaligus yang dianjurkan Islam?

Jika memang saya ikut berdosa besar karena ikut andil dalam memfasilitasi penyewaan tower tersebut untuk penyebaran hal-hal yang dilarang agama, saya akan batalkan penyewaan tanah saya untuk bangunan tower.

Mohon Jawabannya terperinci dengan dalil nash yang kuat serta hadis yang shoheh.

Baca Juga: Rencana Nikah Tak Direstui karena Weton Wanita Lebih Besar dan Masih Satu Buyut

Semoga jawaban Kiai membawa keberkahan untu kita semua. Aamiin ya robal aalamiin. (Dianuri - Banyuwangi)

والسّلام عليكم ورحمة الله وبر كاته


Baca Juga: Peletakan Batu Pertama Perpustakaan Khofifah, Prof Kiai Imam Ghazali Berharap seperti Al-Azhar Mesir

Jawaban:

وعليكم السلام ورحمة الله وبركاته

Pertanyaan "sangat problematik" yang bapak sampaikan itu bisa dijawab dengan dua pendekatan ilmu: Fikih dan Tasawuf.

Baca Juga: Hati-Hati! Seorang Ayah Tak Bisa Jadi Wali Nikah jika Anak Gadisnya Hasil Zina, Lahir di Luar Nikah

Secara Fikih yang hanya mengkaji legalitas formalnya, persewaan lahan untuk kepentingan pemancangan tower sebagai alat komunikasi dengan konten yang beragam seperti yang bapak paparkan itu SAH dan BOLEH. Ini dengan catatan niat dan tujuan penyewaan tersebut bertujuan untuk digunakan sebagai sarana menyebarkan kebaikan. Soal nanti --setelah transaksi-- digunakan juga untuk sarana menyebarkan kemungkaran, kemaksiatan dan kejahatan, itu bukan urusan bapak, tapi itu menjadi tanggung jawab penyewa.

Ketentuan demikian, berdasarkan sabda Nabi saw: "Baik tidaknya nilai suatu perbuatan itu tergantung pada niatnya..." (Hr. Bukhari-Muslim). Hadis ini kemudian dirumuskan oleh fuqaha (pakar hukum Islam) menjadi kaidah Fikih: "Segala sesuatu itu tergantung pada tujuannya." Karena tujuan dan niat bapak itu baik, konsekuensinya bapak akan dapat cipratan pahala dari penyebaran konten yang baik tersebut.

Jika pertanyaan bapak dijawab dengan pendekatan tasawuf (akhlak berhubungan dengan Allah dan juga dengan makhlukNya), maka yang lebih dipertimbangkan adalah kecenderungan penggunaan alat komunikasi tersebut lebih dominan kebaikannya (makrufnya) atau kemaksiatannya (munkarnya)? Fifty-fifty saja, tindakan penyewaan tersebut dinilai SYUBHAT (remang-remang hukumnya). Dalam tasawuf, perbuatan SYUBHAT HARUS DIHINDARI. Menurut kaum sufi, berbuat dengan nilai syubhat itu identik dengan haram.

Baca Juga: Bagaimana Hukum Mintakan Ampun Dosa dan Nyekar Makam Orang Tua Non-Muslim?

Argumentasinya adalah sabda Nabi saw: "Halal itu jelas dan haram itu juga jelas. Di antara yang halal dan haram itu ada beberapa tindakan yang tidak jelas (musytabihat) yang mayoritas manusia tidak tahu. Barang siapa jatuh dalam tindakan yang tidak jelas tersebut, maka ia tergelincir dalam dalam tindakan yang haram. Barang siapa yang "menghampiri" suatu larangan, maka ia akan terlibat dalam larangan tersebut" (Hr. Bukhari-Muslim).

Idealnya memang ngikuti pendekatan tasawuf. Tapi, jika ikut pendekatan tasawuf, membuat kebutuhan primer bapak dan keluarga tak terpenuhi, maka pendekatan Fikih bisa jadi favorit. Wallahu a'lam.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Berita Terkait

BANGSAONLINE VIDEO