Perda Syariah dan Posisi Agama dalam Panggung Politik | BANGSAONLINE.com - Berita Terkini - Cepat, Lugas dan Akurat

Perda Syariah dan Posisi Agama dalam Panggung Politik

Minggu, 19 Juni 2016 19:19 WIB

HM. Misbahus Salam

Oleh : HM. Misbahus Salam                                                                                                                                                                                                                                                                                 Pencabutan Perda Syariah oleh Menteri Dalam Negeri menjadi perbincangan hangat di kalangan tokoh-tokoh Islam dan pakar-pakar hukum. Kritik pedas kepada Presiden Jokowi pun muncul, dianggap anti Islam, tidak berpihak pada umat Islam. Padahal Mendagri dalam pernyataannya tidak pernah mencabut perda yang bernuansa syariah.

Akibat polemik itu muncul gerakan wacana pemikiran antara formalisme agama dan substansisme agama. Para penganut formalisme agama selalu berpikir agama untuk dijadikan sumber hukum resmi, sementara para penganut substansisme agama berpikir memadukan nilai-nilai ajaran agama dengan nilai-nilai local wisdom (kearifan local) dalam membuat peraturan atau undang-undang di pemerintahan tanpa membawa simbolisasi agama tertentu.

Untuk memperjelas polemik kontrovesi perda syariah itu, saya akan menuturkan posisi agama dalam pandangan politik menurut Islam. Bahwa hingga kini, masih diperdebatkan di kalangan fuqaha bidang kajian siyasah.

Apakah Islam itu agama saja ataukah Islam itu agama sekaligus negara (din wa daulah)? Apakah peran Nabi Muhammad SAW dalam memimpin umat ini sebagai Rasul semata ataukah sebagai Rasul dan juga kepala negara (Rasulan wa Hakiman)?

Di kalangan pakar politik Islam, terdapat tiga arus besar pendapat.

Pertama, bahwa Islam secara empirik telah mendirikan negara-negara Islam, tetapi Islam tidak membakukan bentuk dan sistem negara Islam. Islam telah memberikan etos politik yang bersifat universal dan prinsip-prinsip nilai yang dapat diterapkan dalam sistem pemerintahan dan bentuk negara yang mungkin berbeda-beda, sesuai dengan tuntutan zaman dan kebutuhan masyarakat (al-Syuro wa atsaruha fi al-demokratiyah : Dr. Abd. Hamid al-Anshari, 1980).

Kedua, Islam merupakan agama dan negara (al-Islam din wa daulah). Alasannya kekuasaan pemerintahan negara merupakan instrumen strategis dalam mewujudkan kemaslahatan manusia. Oleh karena itu, tidak ada pemisahan antara agama dan negara.

Karena masalah negara dan sistem pemerintahan itu merupakan bagian yang tak terpisahkan dari Islam. Maka tidak ada reka-reka politik yang dapat membuat sistem-sistem baru yang tidak sesuai dengan apa yang dilakukan oleh Nabi SAW dan para khalifahnya. (Abu A'la Maudud: Nadlariyat al-Islam al-Siyasah).

Dan ketiga, Islam itu hanya mengurus agama (din fahasbu). Argumentasinya bahwa dakwah yang diemban oleh Nabi Muhammad SAW hanya dakwah diniyah semata, tidak dicampuri oleh urusan politik dan tidak pula bertujuan membentuk negara. Apabila risalah yang diemban oleh Nabi Muhammad menuntut kepemimpinan di tengah-tengah kaumnya, dan kekuatan juang (sulthan) di tengah-tengah pengikutnya, maka hal itu sama sekali bukan berarti kepemimpinan politik atau kekuasaan pemerintahan, tetapi kepemimpinan agama yang jauh dari kepentingan kekuasaan. Tokoh pendapat ini yang populer adalah Dr. Ali Abdurraziq, salah seorang qadli mahkamah syari'ah dan menteri wakaf Mesir dalam karya tulisnya "al-Islam wa Ushul al-Hukm".

Munawir Sadzali, dalam bukunya Islam and Govermental System, menyimpulkan bahwa di dalam Islam tidak terdapat pembakuan sistem pemerintahan, tetapi Islam telah memberikan prinsip-prinsip atau etika dasar dalam melaksanakan pemerintahan. Dus prinsip-prinsip tersebut dapat diterapkan dalam berbagai macam sistem pemerintahan yang ada.

Pendapat senada dikemukakakn oleh pemikir Islam lain seperti Afif A Thobarah yang mengatakan bahwa al-Qur'an tidak menetapkan bentuk atau sistem baku yang harus dipakai sebagai sistem pemerintahan Islam.

Islam juga tidak menentukan cara penataan kekuasaan, namun Islam menetapkan beberapa prinsip yang menjadi acuan bagi umat Islam dalam melaksanakan pemerintahan kapan saja dan untuk sistem pemerintahan yang bagaimanapun. Apakah itu republik, kerajaan, negara federasi atau kesatuan. Hal demikian hikmahnya adalah untuk kemaslahatan umat, sebab parameter al-mashalih itu berbeda-beda dan mengalami dinamika (thathawwurat) sejalan dengan perubahan waktu dan perbedaan tempat.

Apabila sistem pemerintahan itu dibakukan dengan satu macam sistem, maka akan memberikan kesulitan (al-haraj) bagi umat Islam sepanjang perjalanan peradabannya.

Adapun prinsip-prinsip atau etika dasar yang digariskan Islam untuk dijadikan pedoman bagi para pemegang kekuasaan, termasuk raja, sulthan, presiden, gubernur, bupati dan juga dijadikan standard penilaian rakyatnya untuk mengukur kredibilitas para pemimpinnya adalah: kejujuran dan tanggung jawab (as-shidqu wa al-amanah), keadilan (al-'adalah), permusyawaratan (as-syura), kesetaraan (al-musawah), kemalashatan rakyat (al-masalhalih li ar-raiyyah), kebebasan (al-hurriyah), persaudaraan atau kesatuan (al-ukhuwah).

Tujuh prinsip ini agar diaplikasikan oleh para pemimpin untuk menciptakan kemaslahatan dan kesejahteraan rakyat.

Selama kita masih hidup dalam sebuah negara, tidak mungkin menghindar dari proses dan dinamika politik.

Apalagi kalau merujuk kepada pendapat al-Ghazali dalam al-Iqtishad fi al-I'tiqad tentang hubungan antara agama dan kekuasaan politik. Menurut dia, eksistensi sulthan (berarti kekuasaan politik) adalah wajib untuk ketertiban dunia. Ketertiban dunia wajib bagi ketertiban agama. Ketertiban agama wajib bagi keberhasilan akhirat.

Dengan argumen ini, al-Ghazali telah menarik wilayah politik ke dalam dimensi yang "spritual dan esoterik". Penegasan ini dikemukakan dengan kalimat "wajibnya Imam merupakan kewajiban agama. Agama adalah dasar dan sulthan adalah penjaganya.”

Berdasarkan qaul (pendapat) tersebut bahwa wacana pemikiran dan tindakan politik tidak bisa dilepaskan begitu saja dari agama. Agama dalam pengertian ini semestinya menjadi nilai (value) dan etika politik.

Ada juga pendapat yang dikemukakan oleh KH. Afifuddin Muhajir, dosen Ma’had Aly Sukorejo Situbondo. Tokoh yang dikenal sebagai ahli Ushul Fiqh ini mengemukakan, “Pemimpin pada hakikatnya adalah pelanjut (khilafah), tugas kenabian dalam dua hal : Menjaga Agama dan Mengatur Dunia.

Al Mawardi berkata, “Al-Imamah Maudhu’atun li-khilafi al-nubuwah fi hirasadi al-ddin wa siyasati al-ddunya”.

Nampaknya Al-Mawardi hendak mengatakan bahwa negara “khilafah” syarat utamanya ;

1. Negara itu menjadi tempat yang kondusif, nyaman dan aman untuk mengamalkan agama bagi para pemeluknya.

2. Para pemimpinnya serius berpikir dan berbuat untuk kemaslahatan rakyat, sehingga terwujud keadilan, kemakmuran dan kesejahteraan lahir batin. Maka sesungguhnya megara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dengan Pancasila sebagai dasarnya sangat potensial untuk menjadi Negara khilafah yang dimaksud khilafah nubuwwah, bukan khilafah yang dimaksud Hizbut Tahrir Indonesia (HTI).

Dari beberapa pendapat ulama itu, titik tekannya adalah kemaslahan rakyat. Dan perda-perda yang telah diputuskan oleh pemerintah daerah walaupun bernuansa syariah atau bernuansa ajaran agama seperti hari Nyepi di Bali, selama memberikan rasa aman, terjaganya toleransi, dan diputuskan secara institusional tentu tidak perlu kita persoalkan apalagi dicabut.

Justru revolusi mental yang dicanangkan oleh pemerintah Indonesia harus melalui intensifikasi spritual melalui pendalaman agama masing-masing sepanjang tidak mengurangi hak dan tidak mengganggu kepentingan agama lainnya.

Dalam situasi dan kondisi Indonesia saat ini pemerintah harus tegak berdiri membendung ekstrimitas kiri dan kanan secara seimbang berdasarkan patokan pancasila. Karena ketidakseimbangan dalam hal ini dapat mengakibatkan instabilitas. Semoga Indonesia menjadi negara yang aman, makmur dan sejahtera lahir bathin.

Jember, 19 Juni 2016

HM. Misbahus Salam adalah pengasuh Yayasan RDS (Raudlah Darus Salam) Sukorejo Jawa Timur

 

 Tag:   Opini

Berita Terkait

Bangsaonline Video