Sumamburat: Merindu Sang Guru | BANGSAONLINE.com - Berita Terkini - Cepat, Lugas dan Akurat

Sumamburat: Merindu Sang Guru

Editor: Redaksi
Wartawan: --
Rabu, 19 Desember 2018 16:11 WIB

Suparto Wijoyo.

Oleh: Suparto Wijoyo*

DALAM deret waktu ini, Pondok Pesantren Tebuireng Jombang ramai oleh khalayak yang berziarah ke makam . Umat dari seantero nusantara berikhtiar hadir dalam rangkaian agenda Haul ke-9 kewafatannya. Sebuah saat yang meneguhkan Desember adalah Bulan Haul . Ini memang sosok yang sangat fenomenal dalam ruang hati saya. Tanggal 19-20 Oktober 1999 saat pemilihan dan pelantikan Presiden Republik Indonesia yang dipanggulnya, saya ikuti sambil menyimak siaran langsung TV dengan ketertegunan. KH Abdurahman Wahid bertakhta di singgasana paling diperebutkan para politikus untuk menggapainya, Presiden RI. Nama dan kiprahnya merasuk dalam gelombang pikiran bangsa, dan saya baru menyinambungkan indra ketertarikan sejak bersekolah di Madrasah Aliyah, waktu didaulat menjadi Ketua Umum PBNU 1984 hasil Muktamar di Situbondo. Jargon yang mengekspresikan semangat pergerakan NU di bawah nahkodanya adalah Kembali Ke Khittah. Alun-alun Lamongan menjadi saksi bersama 15.000 jamaah yang menghadiri tausiyahnya. Saya merekam dengan menggunakan tape recorder sebagai anak Madrasah Aliyah kelas satu.

Pidato di Alun-alun Lamongan itu membekas dengan tema yang membincang politik nasional dalam genggam kuasa Presiden Soeharto. FORDEM muncul menjadi “institusi sosial” yang digawanginya, dan sangat menarik minat “diintai” para mahasiswa, termasuk saya. Forum Demokrasi gencar terberitakan dan mahasiswa asyik “menari bersama” gendangannya. Diskusi-diskusi demokrasi dan HAM marak di kampus dan mampu menggelorakan semangat juang dalam “rahim pembuaian jabang bayi” reformasi. Hentakan reformasi menggelembung di tahun 1998 pada saat saya memasuki babak menjadi PNS, menempuh jalan perdosenan di Universitas Airlangga.

Kiprah sebagai orang nomor satu di Indonesia saya persaksikan dengan melihat TV dan mendengarkan radio-radio dengan degub yang menghentak dan menumpahkan keterharuan. Situasi batin saya nyaris serupa dengan gerakan pemakzulan yang diusung MPR. Antara tanggal 1-23 Juli 2001 itu teramat dramatik kisahnya untuk dilintasi bangsa ini dengan hasil akhirnya: benar-benar dilengserkan, 23 Juli 2001. Kejatuhan dari kursi presiden pastilah tidak dirasakan oleh , karena tidak kemaruk jabatan, tetapi rasa tersayat menggerus dada menghadirkan guncangan batin yang menumpahkan air mata kaum kecil di pedesaan. Saya menyaksikan peristiwa itu saat melakukan penelitian disertasi di Eropa. Perjalanan dari Belanda melintas Jerman, Perancis sampai ke Austria dengan mengistirahatkan badan di Swiss.

Berbagai kolega menatap dan saya ceritakan bahwa di Indonesia sedang terjadi pemberhentian Presiden . Presiden yang sewaktu hadir di Perancis memukau banyak tokoh Paris kala itu, kini lengser. Belum lekang ingatan itu, saya sungguh menarik nafas panjang atas apa yang menimpa sambil menyaksikan dirisang pemakzul, tokoh penggedok pelengseran, yang juga bertandang ke Belanda. Pemakzulan yang kontroversial sampai hari ini dengan bukti-bukti yang sumir. Buloggate dan Bruneigate lambat laun ternarasikan hanyalah imaji tanpa bukti yuridis yang memenuhi syarat bagi kepentingan pemberhentian Presiden.

1 2

Sumber: Suparto Wijoyo*

 

sumber : Suparto Wijoyo*

Berita Terkait

Bangsaonline Video