Sumamburat: Merindu Sang Guru | BANGSAONLINE.com - Berita Terkini - Cepat, Lugas dan Akurat

Sumamburat: Merindu Sang Guru

Editor: Redaksi
Wartawan: --
Rabu, 19 Desember 2018 16:11 WIB

Suparto Wijoyo.

Sejatinya, gonjang-ganjing kenegaraan yang terhelat di Jakarta sewaktu mengganti menteri ataupun mengatasi “pembangkangan” mereka yang silih berganti, tidaklah menimbulkan keganjilan di masyarakat desa. Masyarakat di kampung-kampung, apalagi Lamongan, kepemimpinan dianggap mbarokahi. Orang tua, sanak saudara dan handai taulan pada tahun 1999-2001 itu sangat mensyukuri geliat ekonomi yang terus membubung tinggi. Ini bukan soal angka statistik versi negara, melainkan ekonomi roso yang menghampiri petani dan petambak. Sawah dan tambak udang saya sendiri membuncahkan kenikmatan yang tidak terperi. Tahun-tahun yang membahagiakan dengan udang windu seharga 125 ribu rupiah per kilogram. Suatu harga yang sangat fantastis yang kemudian turun melorot sampai ke tingkatan 17.000-19.000 rupiah per kilogram di seiring momen “dipelorot” dengan mekanisme politik pelengseran. Nilai harga udang windu itu sampai saat ini belum mampu merangkak naik setinggi “barokahe” kebijakan ekonomi .

Panen raya tambak diikuti dengan meningkatnya jumlah orang naik haji. Naik haji adalah “cita-cita tertinggi” yang ada di benak para petambak udang dan petani pada umumnya. Haji adalah simbol kemakmuran dan di zaman dengan udang yang berharga tinggi menjadikan lembaran yang sesuatu banget di hati emak, kakak, dan kerabat. Keterpentalan Gus Dur dari Istana Negara dengan sambutan gempita di lapangan untuk terbang ke USA, adalah wujud pengaliran hati agar memiliki kelembutan. Kini orang bisa memahami pilihan “celana kolor” di panggung Istana yang sangat “mengena di pelupuk jiwa”. Kepasrahan itu melintas dengan kelapangan ruhani dalam menampung gelombang massa.

Usai lengser, bertandang pulang kampung ke Jombang dan mengumpulkan teman-teman kecilnya di Cukir Gang III saat itu, dan saya turut menghantar orang tua, kakak, dan adik-adik dalam bincangan yang sangat sederhana. Saya menepi menyaksi orang-orang kampung di Cukir bercengkerama bersama “kekasihnya”. “ndeprok” duduk di lantai beralas tikar pandan, sambil menikmati rebusan singkong, kacang, dan ubi jalar. Kematangan batin terpancar dan kehendak Tuhan menuntun langkah selanjutnya, hadir ke rumah orang tua saya di Lamongan sewaktu hajatan ponakan menikah. Di acara inilah meresmikan bangunan kecil yang diniatkan menjadi Pesantren kelas dusun yang dipangku oleh kakak saya KH Abdul Halim Affandie. Sebuah peristiwa yang diterima sebagai berkah. Saya hanya tertegun dan bersimpuh dengan tetap berada pada pusaran luar untuk menangkap bayang “kerinduan” agar tetap pada posisi tanpa kepentingan apapun. Alfatiha untuk , sang guru peradaban yang dirindu semua.

Sumber: Suparto Wijoyo*

 

sumber : Suparto Wijoyo*

Berita Terkait

Bangsaonline Video