Kiai Achmad Siddiq, Tokoh Pemadu Islam dan Pancasila (2)

Kiai Achmad Siddiq, Tokoh Pemadu Islam dan Pancasila (2)

Dalam Pemilu 1971, pemerintah Orde Baru dengan dukungan TNI mencoba menekan para pemilih Partai NU dengan berbagai cara. Hal ini dilakukan karena TNI dan Golkar menghendaki negara berdasar Pancasila dan tidak ingin partai Islam yang menginginkan negara berdasar Islam berhasil dalam pemilu.

Pada awal Januari 1973 NU, Parmusi, PSII dan Perti ditekan untuk bergabung dan melebur dalam PPP. Partai-partai kebangsaan non-Islam bergabung dalam PDI. Didalam PPP, NU diberi posisi terhormat tetapi tidak ikut dalam mengendalikan partai.

Pada 1973 muncul RUU Perkawinan yang oleh para ulama dianggap bertentangan dengan syariat Islam. Para ulama berhasil meyakinkan Pak Harto untuk bersedia mengubah ayat-ayat yang bertentangan dengan syariat Islam sehingga sejalan dan sesuai. Apa yang terjadi itu membuat para ulama sadar bahwa tanpa negara berdasar Islam ternyata syariat Islam bisa diserap kedalam UU.

Pemerintah Orde Baru meyakini bahwa dasar negara Pancasila harus diakui oleh seluruh partai dan ormas dan bahkan ormas pun harus memakai Pancasila sebagai asasnya. Itu harus dilakukan dengan tujuan menjaga keberlangsungan negara Indonesia sampai kahir masa.

Bisa kita pahami bahwa kemudian pemerintah ingin mengeluarkan ketentuan yang mengharuskan semua parpol dan ormas mengambil Pancasila sebagai dasarnya. Para tokoh NU meminta KH Achmad Siddiq untuk mengkaji apakah penerimaan terhadap Pancasila itu dapet dibenarkan menurut fiqh. Kajian itu akan menjadi acuan dalam menentukan sikap terhadap rencana pemerintah itu.

Kiai Achmad mengemukakan Pancasila dan Islam Sebagai dua kesatuan yang terpisah namun tidak saling bertentangan. Pancasila adalah ideologi sedangkan Islam adalah agama. Beliau mengatakan bahwa Islam dan Pancasila adalah dua hal yang dapat sejalan dan saling menunjang. Keduanya tidak bertentangan dan tidak boleh dipertentangkan. Keduanya tidak harus dipilih salah satu dengan sekaligus membuang yang lain.

Penerimaan Pancasila an sich mestinya tidak menimbulkan persoalan karena NU telah ikut menyusun UUD 1945 pada tahun 1945 dan dengan demikian berarti telah menerima Pancasila bukan sebagai taktik, melainkan karena NU benar-benar percaya terhadap universalitas prinsip-prinsip ideologi ini. Kiai Ahmad menepis semua tuduhan yang mengatakan bahwa Pancasila adalah alat sekulerisme yang anti Islam.

Dalam menyusun kajian itu Kiai Achmad mempelajari kembali al Qur'an, kitab Hadits dan kitab-kitab lain. Beliau juga bertukar pendapat secara mendalam yang memakan waktu lama dengan empat kyai yang merupakan guru beliau, yaitu KH As'ad, KH Machrus Ali, KH Ali Ma'sum dan KH Masykur. Sembilan hal dasar dikonsultasikan dengan keempat kiai sepuh itu dan tidak dipungkiri oleh beliau bahwa nama keempat kiai itu ikut memuluskan jalannya musyawarah ulama. (bersambung) 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Berita Terkait

BANGSAONLINE VIDEO