Kiai Achmad Siddiq, Tokoh Pemadu Islam dan Pancasila (2)

Kiai Achmad Siddiq, Tokoh Pemadu Islam dan Pancasila (2)

Oleh: Salahuddin Wahid

BANGSAONLINE.com - Dalam proses persiapan membentuk negara Indonesia, ormas Islam termasuk NU memperjuangkan negara RI dengan Islam sebagai dasar negara. Gagasan mendirikan negara berdasar Islam pada saat ini memang sudah ditolak oleh kebanyakan tokoh Islam, cendekiawan Islam dan ulama, tetapi kondisinya amat berbeda pada 1945.

Pada saat itu perjuangan mendirikan negara berdasar Islam adalah suatu kewajaran dan tidak perlu membuat generasi masa kini menjadi heran. Semua konstruksi pemikiran tokoh Islam dan para ulama bersumber dari khazanah keilmuan Islam, belum ada pengaruh pemikiran Barat.

Kita semua sudah memahami bagaimana alotnya proses terwujudnya Piagam Jakarta dan bagaimana kebesaran hati para tokoh Islam sehingga mereka bersedia membatalkan Piagam Jakarta dengan mencoret tujuh kata "dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya". Lalu perjuangan itu dilanjutkan pada Majelis Konstituante pada 1956-1959 oleh Partai Masyumi, Partai NU, PSII, Perti, dll.

Pada pertengahan 1959 dari 190-an pasal Rancangan UUD sudah selesai, tinggal dua masalah yang belum tuntas yaitu bentuk negara (kesatuan atau federal) dan dasar negara (Islam atau Pancasila) yang belum disepakati. Penentuannya dilakukan dengan pemungutan suara. Bentuk negara republik didukung oleh sekitar 80%. Dasar negara Pancasila didukung oleh 56, sekian % dan dasar negara Islam didukung oleh 43, sekian %. Maka Konstituante menemui jalan buntu.

Ditengah situasi yang tidak menentu, Bung Karno mengeluarkan Dekrit Presiden 5/7/1959 yang memberlakukan kembali UUD 1945 menggantikan UUDS 1950. Perlu kita sadari bahwa pada saat itu partai-partai Islam masih tetap memperjuangkan negara berdasar Islam. Perjuangan mewujudkan Piagam Jakarta masih terus bergelora sampai tahun 1984.

Pasca-kepemimpinan Bung Karno, kekuatan umat Islam dalam politik bertumpu pada Partai NU dibantu oleh Parmusi, PSII dan Perti. Mereka masih memperjuangkan negara berdasar Islam. Yang paling kuat dan gigih serta paling kuat adalah Partai NU.

Pada 1967 Menteri Agama KHM Dahlan (NU) mengeluarkan Ketetapan Menteri Agama mengenai pengelolaan Departemen Agama yang mencantumkan bahwa salah satu tugasnya adalah melaksanakan Piagam Jakarta dalam hubungannya dengan UUD. Majalah Katolik Peraba menulis: "Jika sebuah UUD sudah diselewengkan dengan mata terbuka lebar dan otak sadar, maka pemecahannya harus ditempuh jalan prinsipiil. Yaitu hentikan kegiatan menteri agama. Jika tidak ada menteri yang baru, selekasnya membubarkan Departemen Agama". Pernyataan senada dengan Menteri Agama itu cukup banyak yang dikeluarkan oleh banyak tokoh Islam.

Dalam Pemilu 1971, pemerintah Orde Baru dengan dukungan TNI mencoba menekan para pemilih Partai NU dengan berbagai cara. Hal ini dilakukan karena TNI dan Golkar menghendaki negara berdasar Pancasila dan tidak ingin partai Islam yang menginginkan negara berdasar Islam berhasil dalam pemilu.

Pada awal Januari 1973 NU, Parmusi, PSII dan Perti ditekan untuk bergabung dan melebur dalam PPP. Partai-partai kebangsaan non-Islam bergabung dalam PDI. Didalam PPP, NU diberi posisi terhormat tetapi tidak ikut dalam mengendalikan partai.

Pada 1973 muncul RUU Perkawinan yang oleh para ulama dianggap bertentangan dengan syariat Islam. Para ulama berhasil meyakinkan Pak Harto untuk bersedia mengubah ayat-ayat yang bertentangan dengan syariat Islam sehingga sejalan dan sesuai. Apa yang terjadi itu membuat para ulama sadar bahwa tanpa negara berdasar Islam ternyata syariat Islam bisa diserap kedalam UU.

Pemerintah Orde Baru meyakini bahwa dasar negara Pancasila harus diakui oleh seluruh partai dan ormas dan bahkan ormas pun harus memakai Pancasila sebagai asasnya. Itu harus dilakukan dengan tujuan menjaga keberlangsungan negara Indonesia sampai kahir masa.

Bisa kita pahami bahwa kemudian pemerintah ingin mengeluarkan ketentuan yang mengharuskan semua parpol dan ormas mengambil Pancasila sebagai dasarnya. Para tokoh NU meminta KH Achmad Siddiq untuk mengkaji apakah penerimaan terhadap Pancasila itu dapet dibenarkan menurut fiqh. Kajian itu akan menjadi acuan dalam menentukan sikap terhadap rencana pemerintah itu.

Kiai Achmad mengemukakan Pancasila dan Islam Sebagai dua kesatuan yang terpisah namun tidak saling bertentangan. Pancasila adalah ideologi sedangkan Islam adalah agama. Beliau mengatakan bahwa Islam dan Pancasila adalah dua hal yang dapat sejalan dan saling menunjang. Keduanya tidak bertentangan dan tidak boleh dipertentangkan. Keduanya tidak harus dipilih salah satu dengan sekaligus membuang yang lain.

Penerimaan Pancasila an sich mestinya tidak menimbulkan persoalan karena NU telah ikut menyusun UUD 1945 pada tahun 1945 dan dengan demikian berarti telah menerima Pancasila bukan sebagai taktik, melainkan karena NU benar-benar percaya terhadap universalitas prinsip-prinsip ideologi ini. Kiai Ahmad menepis semua tuduhan yang mengatakan bahwa Pancasila adalah alat sekulerisme yang anti Islam.

Dalam menyusun kajian itu Kiai Achmad mempelajari kembali al Qur'an, kitab Hadits dan kitab-kitab lain. Beliau juga bertukar pendapat secara mendalam yang memakan waktu lama dengan empat kyai yang merupakan guru beliau, yaitu KH As'ad, KH Machrus Ali, KH Ali Ma'sum dan KH Masykur. Sembilan hal dasar dikonsultasikan dengan keempat kiai sepuh itu dan tidak dipungkiri oleh beliau bahwa nama keempat kiai itu ikut memuluskan jalannya musyawarah ulama. (bersambung) 

Berita Terkait

BANGSAONLINE VIDEO