Ahok, Lee Kuan Yew, dan Masa Depan Indonesia

Ahok, Lee Kuan Yew, dan Masa Depan Indonesia

HEBOH tentang 5 warga Cina berseragam militer Cina yang ditangkap saat beraktivitas di proyek jalur kereta api cepat di Pangkalan TNI Angkatan Udara Halim Perdana Kusuma, Jakarta Timur menjadi diskusi krusial di mana-mana. Para tokoh nasional, terutama yang peduli terhadap nasionalisme dan kedaulatan bangsa, secara serius memperbincangkan peristiwa ini baik di grup WA maupun diskusi publik.

Apalagi Menaker Hanif Dhakiri mengakui bahwa 5 warga Cina yang ditangkap TNI AU itu tenaga kerja illegal. Padahal sebelumnya, pihak pemerintah cenderung menutup-nutupi. Menteri BUMN Rini Soemarno, misalnya, mengatakan bahwa 5 warga Cina itu ditangkap karena salah paham. Menurut menteri yang ”punya gawe” proyek kereta cepat itu, 5 WNA keturunan Cina tersebut adalah pegawai PT Kereta Cepat Indonesia Cina (KCIC). Mereka, kata orang kepercayaan Presiden Jokowi itu,salah paham mengenai lokasi uji tanah untuk proyek kereta cepat. Menurut dia, pegawai PT KCIC yang melakukan soil test tidak mengetahui bahwa dibutuhkan izin dari AU untuk melakukan uji tersebut.

Ini tentu ironis. Proyek sebesar itu para pekerjanya dialibi “salah paham”. Bukankah setiap tenaga kerja proyek punya “mandor”. Apalagi mereka WNA (Cina). Pasti ada yang mengkordinasi.

Anggota Komisi I DPR, Effendi Simbolon menduga 5 warga Cina itu mata-mata pemerintah Cina. Ia melihat wilayah Lanud Halim Perdanakusuma adalah objek vital negara bersifat strategis. Sehingga tidak menutup kemungkinan 5 warga Cina itu bagian dari operasi intelijen.

Ketua Komisi Luar Negeri Dewan Perwakilan Rakyat Mahfudz Siddiq mengaku tak heran karena kini semua sektor investasi Indonesia melibatkan Cina.

Kini warga Cina masuk Indonesia memang kian merajalela. Apalagi pihak pemerintah memberi angin dengan cara memudahkan persyaratan warga asing menjadi tenaga kerja Indonesia. Jika kebijakan pemerintahan sebelumnya mewajibkan tenaga asing paham bahasa Indonesia, kini sudah dihapus.

Bahkan bangsaonline.com dan HARIAN BANGSA memberitakan di Jatim banyak ditemukan tenaga kerja Cina ilegal dan tanpa paspor.

Ironisnya, pihak transmigrasi di tingkat kabupaten ngaku tak tahu karena itu urusan pusat.

Peristiwa demi peristiwa ini, tak pelak, menimbulkan spekulasi politik beragam sekaligus keresahan sosial-politik di kalangan masyarakat. Muncul banyak pertanyaan, misalnya, apa benar ini bagian dari tanda-tanda Cina mau menguasai Indonesia seperti kasus Negara .

Apalagi kini PKI di Indonesia ditengarai bangkit lagi. Indikasinya selain konsolidasi juga kini menuntut pemerintah minta maaf. Bahkan beberapa kasus penistaan simbol-simbol agama dikaitkan dengan fenomena neo-PKI.

Misalnya kasus sandal bertulis lafadz Allah dan sebagainya. Peristiwa ini mirip dengan situasi menjelang meletusnya pemberontakan PKI pada tahun 1965. Saat itu masyarakat selalu digegerkan oleh berbagai lakon pementasan kesenian PKI yang menista agama Islam. Misalnya aktivis kesenian PKI bikin lakon Gusti Allah Mantu, Matinya Gusti Allah dan sebagainya.

Kenapa serbuan Cina dikaitkan dengan PKI? Karena pusat komunis adalah RRC, di samping Rusia.

Ditambah lagi kasus (Basuki Tjahaja Purnama, gubernur DKI Jakarta) yang komunikasinya kurang baik, tidak simpatik, cenderung menantang dan menyulut emosi publik, sehingga potensial menumbuhkan sikap sentimen rasis.

Cina Kuasai 80 Persen Ekonomi

Sejatinya, sejak Orde Baru para pemimpin Islam sudah kalah secara politik dan ekonomi. Saat Soeharto berkuasa elit yang dominan dalam politik adalah para politisi dan pejabat tinggi beragama Kristen. Bahkan Soeharto diremote oleh kelompok-kelompok strategis Kristen. Soeharto justru jatuh (dijatuhkan) ketika ia mendukung kelompok muslim termasuk mendirikan ICMI, meski ini hanya sebagai salah satu faktor mengingat penguasa Orde Baru itu dikenal korup dan otoriter.

Begitu juga secara ekonomi. Sejak Soeharto berkuasa hingga sekarang (Jokowi) yang menguasai Indonesia adalah konglomerat etnis Cina. Populasi etnis Cina sekitar 12 juta orang tapi menguasai 80 persen perekonomian Indonesia. Kini bahkan para etnis Cina tidak hanya menguasai ekonomi tapi mulai muncul di panggung politik.

Yang menarik, tampilnya politisi etnis Cina itu juga didukung sebagian kelompok Islam. KH Said Aqil Sirodj bahkan sampai memberi fatwa untuk mendukung politisi atau pemimpin non Islam etnis Cina: “Mending pemimpin non muslim tapi adil ketimbang muslim tapi dzalim.”

Kang Said – panggilan Said Aqil Sirodj – membantah mendukung . Tapi realitasnya hampir semua kroni Kang Said di PBNU mendukung dengan berbagai dalil agama. Bahkan di grup-grup WA NU mereka secara terbuka mendukung dan memuji-muji . Jika ada yang mengkritisi langsung diserang dan dianggap ketinggalan situasi kekinian. Artinya, secara akal sehat sudah bisa ditebak. Bahwa komunitas Kang Said memang cenderung dukung .

Namun itu lumrah. Semua bangsa selalu mengalami perebutan kekuasaan. Dan agama selalu dijadikan alat legitimasi untuk mengukuhkan kekuasaan atau tokoh tertentu dengan dalil-dalil yang sesuai dengan kepentingan.

Meski demikian para tokoh Indonesia perlu mempelajari kasus negara . Dulu presiden pertama adalah Yusof Ishak, seorang muslim ras Melayu. Ia kelahiran Minangkabau Indonesia.

Tapi Lee Kuan Yew yang menjadi perdana menteri pertama kemudian berhasil merebut hati orang Melayu. Caranya mendatangi kampung-kampung Melayu. Ia beradaptasi dengan adat Melayu misalnya berkopiah.

Strategi politik Lee Kuan Yew ini persis dan Hary Tanoesodibyo di Indonesia. dan HT – panggilan Hary Tanoesoedibyo – meski pemeluk taat Kristen tapi selalu beradaptasi dengan budaya pakaian umat Islam. HT yang bos MNC dan Koran Sindo ini bahkan tidak hanya memakai kopyah tapi juga pernah pakai sorban ketika datang ke pondok pesantren.

Nah, dengan penampilan yang simpatik, berkopyah, banyak orang Melayu tertarik terhadap Lee Kuan Yew sehingga ia berkuasa sampai 31 tahun (1959-1990).

Prestasi politik Lee Kuan Yew terus melesat. Ditopang kecerdasan politik yang luar biasa Lee Kuan Yew mampu membangun menjadi Negara modern. Bahkan menjadi pusat keuangan terdepan keempat di dunia.

Namun kemudian identik dengan Cina karena semua para pemimpin ras Melayu disapu bersih. Sebagai penguasa Lee Kuan Yew punya kebijakan politik pro etnis Cina. Dalam kebijakan tata ruang Lee Kuan Yew melarang daerah-daerah strategis ditempati ras Melayu. Hanya saja caranya cerdik, seolah tak rasis. Lee Kuan Yew melarang bangunan kumuh berada di wilayah strategis sehingga warga Melayu yang umumnya ekonomi lemah meninggalkan kawasan tersebut dengan menjual tanahnya kepada warga etnis Cina.

Jadi untuk menggusur etnis Melayu dari wilayah-wilayah strategis di Lee Kuan Yew cukup membuat aturan dilematis bagi warga Melayu karena secara ekonomi mereka tak mampu.

Sejatinya kebijakan Lee Kuan Yew sama dengan kebijakan yang menggusur para warga miskin Jakarta untuk membangun apartemen dan gedung-gedung mewah yang jelas milik etnis Cina. Bedanya Lee Kuan Yew lebih halus, sementara dengan cara kasar yaitu membuldozer bangunan-bangunan kumuh dengan bantuan aparat keamanan.

Sekitar tahun 1985 KH Yusuf Hasyim, pengasuh Pondok Pesantren Tebuireng Jombang Jawa Timur, memperdengarkan rekaman radio BBC kepada beberapa santri yang suka menulis di media massa, termasuk saya. BBC yang berkantor pusat di London Inggris itu menyiarkan pernyataan seorang pejabat tinggi Republik Rakyat Cina (RRC). Intinya ia bertekad akan men-singapura-kan Indonesia.

Saya tak tahu, apakah fenomena tokoh etnis Cina yang kini makin bersemangat membangun kekuatan politik di Indonesia itu bagian dari grand design global atau internasional seperti disiarkan BBC itu. Apalagi kini muncul isu politik cukup tajam bahwa sedang diproyeksikan jadi presiden Indonesia setelah sukses terpilih sebagai gubernur DKI kelak.

Saya kira ini sah-sah saja sejauh dilakukan dengan cara-cara bermoral. Umat Islam Indonesia pun saya kira harus dewasa dan percaya diri. Tak boleh bersikap rasis, apalagi melakukan tindakan destruktif. Kekalahan demi kekalahan, baik secara politik maupun ekonomi, yang dialami umat Islam sejak Orde Baru, harus menjadi pelajaran berharga untuk menata diri sekaligus mencambuk diri kita sendiri dalam membangun kekuatan untuk membangun bangsa. Yang jelas, masa depan Indonesia berada di tangan kita semua, terutama umat Islam yang mayoritas. Wallahua’lam bisshawab.

Berita Terkait

BANGSAONLINE VIDEO