Sumamburat: Nobar Bola Lanjut Nyobar Pilkada

Sumamburat: Nobar Bola Lanjut Nyobar Pilkada Suparto Wijoyo.

Oleh: Suparto Wijoyo*

RABU, 27 Juni 2018 ini ada babak penentuan “laga demokrasi” memilih pemimpin daerah. Kondisinya semakin riuh dengan gempita sorakan penonton sepak bola yang nobar. Perhelatan Piala Dunia “bal-balan” di Rusia telah menggelontorkan energi sebagian besar rakyat Indonesia untuk mengikuti parade “nobar” bersama kolega.

Tengah malam selalu semarak dengan nobar di setiap wilayah Bumi yang terdapat pegandrung bola. Sepak bola menyajikan peradaban “nobar” yang menggeliatkan dinamika perekonomian dan sosial budaya. Warung-warung berjajar menyuguhkan “nobar bola” sambing mengobrolkan semua hal.

Guyub-rukun terbangun dari kerumunan yang melahirkan “komunitas bola” yang serba “menggelinding” dalam segala aktivitasnya. Bola bundar dan “gulung-gulung” menuju cita kolektifnya untuk digolkan ke gawang. Tat kala bola masuk gawang lawan setarikan tendangan merupakan puncak supremasi kegembiraan bahwa kemenangan memang diraih melalui cucuran keringat.

Tawa-tangis, sorakan dengan ujaran menggelegak menyerta ke mana arah bola menuntunkan nasib kesebalasannya. Gol hendak dicapai dan atas nama gol itulah pertandingan itu dipergelarkan dengan menyedot begitu besar kapital. Demikianlah pula pilkada yang menjadikan bilik suara sebagai misteri daulat rakyat.

Bilik suara merupakan ruang biasa tetapi sangat bermakna dalam menentukan arah kebijakan pemerintahan (public policy). Nasib rakyat dipertaruhkan untuk lima tahun mendatang. Rakyat sebagai “penandang demokrasi” atau “juragan yang kehilangan kendaraan” sehingga “sopir demokrasi” menjadi sangat berkuasa.

Perhatikan dengan sungguh-sungguh bahwa meja coblosan adalah “sajadah demokrasi” yang kedaulatan dimandatkan. Untuk itulah nobar ini sedang bergerak menuju tatanan “nyobar” alias “nyoblos bareng”. Memang epistimologi “nobar” dan tidak luput dari seruan inspiratif bahwa “shalat berjamaah lebih berderajat tinggi daripada “nyoblos dewe-dewe).

Hanya saja, artian nyoblos bareng bukan berarti semua gambar paslon dicoblos. Mencoblos semua tanda gambar adalah tidak sah tetapi boleh jadi tetap berpahala sebab “diniatkan bersedekah”. Dan sedekah terbaik adalah menyenangkan hati paslon. 171 calon kepala daerah dipilih oleh rakyat dan setiap pemilih berkesempatan yang sama dalam menentukan “pemimpin daerah”.

Demokrasi pada pilkada sangat menafikan martabat kemanusiaan, karena yang dilihat bukan kapasitas keilmuannya melainkan kondisi keberadaan yang eksistensialitas semata. Keberadaan ragawi sudah diangap cukup merepresentasikan arti penting demokrasi dibandingkan dengan “mutu pribadi” pemilihnya. Bobot suara “maling terminal” dinilai sama dengan “cendekia” yang tergolong kaum brahmana.

Pilkada memang terkadang tidak luput dari kepura-puraan sekaligus tetap membawa-bawa “trah” yang tidak boleh direngkuh orang lain. Lihat saja, kalaulah suami istri itu salah satunya sudah pernah berkuasa dan episodenya tengah habis, ternyata ada yang tetap mengusung “kawan dalam selimut” untuk bertanding.

Pilkada “darah biru” yang diberi kelambu “politik dinasti” terus mewarnai setiap penyelenggaraan pilkada di Indonesia. Demokrasi telah direnggut “keperawanannya” oleh “bandar-bandar kekuasaan” yang selama ini telah merasakan nikmatnya memegang otoritas. Demokrasi dibajak oleh “rezim keluarga”, begitu acapkali dinarasikan sebagai kritik atas pemilihan yang membawa-bawa “darah genetika” maupun “keluhuran keturunan”.

Ajaran demokrasi yang menghajatkan setiap orang memiliki kesederajatan kesempatan menjadi “pemenang” dalam pemilihan raya ternyata mengalami “erosi makna”. Demokrasi tergiring menjadi “dinastikrasi”, paling tidak yang terpotret adalah “familikrasi” yang berkembang dengan argumentasi “parpolkrasi”.

Suara sang demos (rakyat) digiring memasuki gelanggang pilkada yang telah diborong parpol-parpol, dan parpol-parpol ini dikuasai para “penghasrat kekuasaan”, untuk selanjutnya dialah yang memainkan peran. Bahkan “sepasukan timseskrasi” yang ngendon di jantung negara dapat menggunakan parpol-parpol itu seperti “gojek online” yang harus setiap saat sedia merapat ke konsumen yang berhasrat naik tahta maupun mempertahankan mahkota”.

Ya … kita sangat berterima kasih memiliki manusia-manusia yang masih ada di abad kedua puluh satu ini yang menjalankan prilaku keluarga model abad ke-15 sampai ke-6 Sebelum Masehi, seperti masa-masa kekuasaan Hatshepsut (Ratu Mesir abad 15 SM), Nefertiti (Ratu Mesir, abad 14 SM), Puduhepa (Ratu Hittite, abad 13 SM), Ratu Syeba abad 10 SM, Izebel (Ratu Israel, 843 SM), Tomyris (Ratu Massagetae, abad 6 SM), maupun Cleopatra VII Thea Philopator (Ratu Mesir tahun 69-30 SM), serta Wu Hou (Permaisuri China, 625-705 M) dan puluhan lagi sebagaimana diceritakan oleh Claudia Gold dalam bukunya Queen, Empress, Concubine (2008).

Puluhan penghasrat kuasa ini memang ada dalam lingkup tatanan kenegaraan berbentuk kerajaan. Sepertinya pilkada yang mengusung-ngusung “keluarga dalam” sekarang ini sedang berimajinasi dalam kelindan romantika monarkhi yang paling sempurna. Inilah praksis pilkada yang menggambarkan adanya rezim “demokrasi di kaki monarkhi” untuk tidak mengatakan “demokrasi utusan suami”, “demokrasi kursi suami yang lengser keprabon”, apalagi “demokrasi petugas famili”.

Sepertinya pemilih dalam pilkada ini memanglah memenuhi persyaratan untuk disebut seperti satire Nadine Gordimer, dianggap sebagai peziarah yang asing, tepatnya “peziarah pilkada” di gelanggang “demokrasi yang terkafani” meski belum termakamkan. Peziarah yang akrab dengan leluhurnya tetapi “asing terhadap anak bawang yang dipaslonkan”, sehingga pilkada terstempeli berbasis “demokrasi keturunan”.

Bagi orang-orang yang selalu mengunggulkan dinastinya tidaklah perlu direaksi massal, cukup jadi penyadaran semata atas perkiraan mereka bahwa orang diluar keluarganya dianggap tidakalah ada yang pantas untuk memimpin “gerombolan kaum daerah” penyelenggara pemda. Hari ini adalah hari dimana sore nanti kaum awam mengerti siapa yang “menang” guna melengkapi gempita nobar bola usai nyobar.   

*Dr H Suparto Wijoyo: Pengajar Hukum Lingkungan Fakultas Hukum, Koordinator Magister Sains Hukum dan Pembangunan Sekolah Pascasarjana Universitas Airlangga, Sekretaris Badan Pertimbangan Fakultas Hukum Universitas Airlangga, serta Ketua Pusat Kajian Mitra Otonomi Daerah Fakultas Hukum Universitas Airlangga.

Berita Terkait

BANGSAONLINE VIDEO