Sumamburat: Penunggang Demokrasi

Sumamburat: Penunggang Demokrasi Dr. H. Suparto Wijoyo

Oleh: Suparto Wijoyo*

DEMOKRASI sejak mulanya adalah kerumunan yang meneguhkan kekuatan tanda kuasa sedang digumpalkan. Rakyat terlibat langsung untuk mengatur penyelenggaraan negara kota (polis) yang skala kepentingan maupun wilayahnya tidak selebar abad ke-21 ini. Alun-alun sangat ideal bagi setiap “gembala rakyat” untuk mementaskan peran yang berujung pada singgasana atau selokan perkotaan.

Pemerintahan ditata dari kesanggupan untuk mengumpulkan suara yang abtsrak menjadi materi yang selaksa “biji-bijian bilangan”. Kemenangan separuh ditambah satu sudah cukup mengantar siapa saja yang memiliki angka-angka dianggap menang. Maka pemilu merupakan alat untuk menentukan siapa yang dikehendaki secara demokrasi sebagai pemegang otoritas.

Monarkhi, tirani, aristokrasi, demokrasi, mobokrasi yang kerap kembali kepada gerombolan adalah siklus biasa. Kini rakyat tahu bahwa demokrasi itu soal “sumber kekuasaan yang bermula darinya”. Pemilu diciptakan guna menjadi “kanal-kanal suara” yang disekat melalui bilik-bilik coblosan karena suara diunggah dalam selembar kertas.

Untuk itulah demokrasi dan pemilu berkorelasi tematik antara isi dan wadah demi kekuasaan. Oleh karena kekuasaan itu teramat lezat bagi yang “tergoda untuk menjilatinya” sehingga setiap orang dianggap sebagai butiran kepala yang secara statistikal dapat ditabelkan.

Munculah lembaga-lembaga survei yang akan menghitung “butiran kepala rakyat”. Pileg dan pilpres juga sebagai ajang yang dengan itu mandat rakyat diyakini paling sah untuk diserahkan. Mekanisme kekuasaan selain pemilu dianggap tidak sah dan itu merupakan cermin pemikiran purba yang tidak beranjak matang. Begitu dianggitkan.

Banyak orang memiliki mimpi-impi memegang kekuasan dan atas itulah demokrasi dipilih agar “gerbong politik” dapat dicipta melalui kehendak bersama yang dipertontonkan yang lazim disebut kampanye. Calon-calon dipanggungkan untuk memperkenalkan solusi-solusi yang ditawarkan bagi kesejahteraan rakyat. Itulah cita dasar yang paling ideal untuk direalisasi melalui pemilu. Kini dalam pileg, setiap orang musti tampil bersih karena hendak dipilih untuk menjadi legislator yang memiliki fungsi membentuk hukum (legislasi), mempersiapkan anggaran (budgetting) dan melakukan pengawasan (controlling) kepada pemerintah agar tidak zalim terhadap rakyatnya.

Sedemikian pentingnya peran legislator itu hingga untuk menjadi calon harus dari geneologis demokrasi yang sesuai dengan bobot-bibit dan bebet. Dicari caleg yang apik kinyis-kinyis dengan syarat terunggul sebagai wakil rakyat.

Wakil rakyat itu membawa mandat rakyat selaku pemilik kedaulatan sehingga tidak boleh ada yang tidak bersih. Rakyat tentu ada saja yang “berprofesi” pencoleng, pembohong atau egois karena hidupnya sudah disibukkan dengan urusannya sendiri. Tetapi wakil rakyat yang setiap gerakannya akan dipandang dengan penuh bangga, maka wakil yang diutusnya harus yang paling sempurna. Tampilan wakil itu menentukan tingkat kehormatan yang diwakili. Apabila delegasi rakyat itu berpenampilan tidak kinclong akan mempermalukan rakyat seantero negeri.

Dengan pemahaman sederhana itulah sejatinya betapa perlunya memiliki caleg yang bersih, bermartabat dan berwibawa. Tidak boleh caleg itu berbuat nista, apalagi pernah menggarong uang rakyat yang berarti korupsi. Korupsi diharamkan agama apapun termasuk oleh hukum negara. Dengan demikian seperti para pencari kerja yang suka-suka membawa surat lamaran sambil riwa-riwi mendatangi kepolisian setempat untuk mengurus jatidirinya yang terbebas dari perbuatan kriminal. Sampai di sini adalah logis apabila caleg diminta terhindar bari catatan kriminal termasuk eks koruptor.

Sungguh merupakan sebuah kewajiban apabila KPU membuat regulasi yang melarang mantan napi korupsi menjadi caleg. PKPU No. 20 Tahun 2018 sejenis norma penyaring untuk menyeleksi caleg-caleg yang tidak tersangkut kasus hukum. Tetapi MA melakukan pengujian sebagai proses hukum atas gugatan yang diajukan oleh mereka yang selama ini pernah menikmati “prahara hukum korupsi”. Kalaulah kemudian mantan koruptor diperkenankan karena tidak ada perundang-undangan yang melarangnnya, jelas pikiran ini amatlah disesalkan mengingat ini adalah negara hukum, bukan negara regulasi yang hanya mengandalkan pasal-pasal, bukan kebenaran etika dan moralitas.

Membaca berita tentang Putusan MA yang memperkenankan mantan koruptor nyaleg, saya langsung teringat buku The Life of A Useless Man (2001) yang dialihbahasakan Pecundang (2015), karya Maxim Gorky sebuah nama samaran yang berarti “pahit” dari Aleksey Maximovick Peshkov. Sebuah novel yang bermuatan kekuasaan, pribadi yang risau, dan kejujuran yang langka. Begitulah ditulis Washington Post Book World.

Adakah demokrasi memang sedang tidak menemukan kejujuran yang kian langka itu? Biarlah hati ini terus melaju dalam pencarian. Akhirnya say membuka kembali lembar-lembar novel One Hundred Years of Solitude (1967/2018) dari Gabriel Garcia Marquez, penulis hebat dari Kolumbia yang menerima Hadiah Nobel Sastra Tahun 1982: imaji sedang berkelana di relung Seratus Tahun Kesunyian lagi. Akankah?

*Dr H Suparto Wijoyo: Pengajar Hukum Lingkungan Fakultas Hukum, Koordinator Magister Sains Hukum dan Pembangunan Sekolah Pascasarjana Universitas Airlangga, Sekretaris Badan Pertimbangan Fakultas Hukum Universitas Airlangga serta Ketua Pusat Kajian Mitra Otonomi Daerah Fakultas Hukum Universitas Airlangga.

Berita Terkait

BANGSAONLINE VIDEO