Sumamburat: Kata Adalah Senjata

Sumamburat: Kata Adalah Senjata Suparto Wijoyo

Termasuk kata radikal tempo hari. Kata yang arti leksikalnya sangat terukur mengenai hal-hal mendasar, prinsipal, berdurasi fundamental, yang menyentuh pada atribut “berfikir jernih dan bertindak mengagumkan”. Namun kata radikal itu berubah menakutkan untuk disematkan kepada siapa saja yang“mencoba beroposisi”. Sulit untuk memahami bahwa pengajaran memanggul kebenaran pastilah radikal sebagaimana makna aslinya. Kebenaran tidak bisa dibiaskan dengan kesalahan yang menyesatkan.

Terdapat kesadaran komunal bahwa setiap kebenaran pasti berbeda secara radikal dengan kesalahan. Pencerahan tidak sama dengan “penggerhanaan”. Warna merah dan putih itu sesungguhnya menyangkut karakter diri pembeda yang sangat radikal. Setiap warna pun sejatinya memiliki dimensi radikal untuk kemudian memuaikan dirinya guna membangun kondisi yang diharapkan. Pemuaian-pemuaian itu haruslah tetap dalam kerangka yang pas agar pemuaian tidak berubah menjadi pembiasan antara yang “hak dan yang batil”.

Oleh karenanya adalah sebuah keanehan apabila yang radikal itu pasti “jahat” (bandingkan dengan radikal bebas dan antioksidan) serta dicampurbaurkan dengan kekerasan politik. Kata jahat dan radiks sangatlah berbeda dan untuk itu silahkan dipelajari dengan cermat asal muasalnya. Batu itu tidak sama dengan air dan itu ketidaksamaan yang radikal. Lelaki (“adam”) dan perempuan (“hawa”) itu berbeda dan perbedaannya sangat radikal. Dalam konteks ini tampak bahwa penciptaan identitas itu amatlah radikal, dan kini orang mencoba untuk menjumbuhkannya antara “lelaki dan perempuan” melalui kosmologi pergerakan global yang dibungkus dengan sebutan LGBT.

Kekerasan, pembunuhan dan pengancaman kepada keamanan siapapun, apalagi kenyamanan rakyat tentulah itu tindakan kriminal yang ada hukumnya. Tuduhan apapun adalah kejahatan apabila tanpa bukti nyata, bukan bukti rekayasa. Lorong sejarah sepertinya tengah bergerak ke arah yang saya belum memahami endingnya. Kata radikal telah disulap menjadi peluru yang dapat diarahkan kepada siapa saja yang tidak sejalan dengan “kehendak pemenang”. Sontoloyo, ndeso, Tampang Boyolali kini menambah frase sosial baru. Adakah memang kondisinya ini seperti yang pernah disindir oleh Farid (1173-1266), sebagai seorang muslim yang telah bermimpi ketemu Rasulullah sebagaimana termuat dalam kumpulan Setanggi Timur dari Amir Hamzah: “kuasa konon menunjukkan mukjizat”. Bukankah kata telah diputarkan haluannya sebagai senjata?

*Dr H Suparto Wijoyo: Esais, Pengajar Hukum Lingkungan Fakultas Hukum, Koordinator Magister Sains Hukum dan Pembangunan Sekolah Pascasarjana Universitas Airlangga, Sekretaris Badan Pertimbangan Fakultas Hukum Universitas Airlangga serta Ketua Pusat Kajian Mitra Otonomi Daerah Fakultas Hukum Universitas Airlangga.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Berita Terkait

BANGSAONLINE VIDEO