Para Pelaku Poligami Gelar Silatkernas, Mau Revisi UU Perkawinan | BANGSAONLINE.com - Berita Terkini - Cepat, Lugas dan Akurat

Para Pelaku Poligami Gelar Silatkernas, Mau Revisi UU Perkawinan

Minggu, 03 Januari 2016 21:39 WIB

Demo Anti Poligami. foto: TEMPO

BANDUNG, BANGSAONLINE.com - Para pelaku poligami yang tergabung dalam Forum Keluarga Sakinah (FKPS) menggelar silaturahim dan rapat kerja nasional (silatkernas) yang digelar di Pondok Pesantren Asy-Syifa Wal Mahmuudiyyah, di Tanjung Sari, Kabupaten Sumedang, pada Sabtu, 2 Januari 2016. Kegiatan itu bertujuan mengumpulkan seluruh anggota FKPS dan membahas masalah permasalahan yang kerap kali mendera para pelaku poligami di Indonesia.

Sekretaris Jendral (Sekjen) FKPS, Fakhruddin Rusyibani, mengatakan saat ini para pelaku poligami kerap kali cenderung sembunyi-sembunyi dan tidak mau diketahui oleh khalayak masyarakat lantaran stigma masyarakat terhadap orang yang melakukan poligami cenderung diskriminatif.

"Kami mencoba mulai terbuka dan memberikan pemahaman yang benar terkait poligami kepada masyarakat, bahwa ketika mendengar poligami itu, ya mereka nggak usah mengerutkan kening," ujar Fakhruddin, di sela kesibukannya memandu acara itu, seperti dikutip tempo.co.

Menurut dia, stigma itu yang harus mulai diluruskan. Pasalnya, kata dia, masalah poligami itu ada ketentuannya dan dibolehkan oleh agama. "Dalam Islam itu ada landasan syariatnya, di surat An-Nisa ayat 3, bahkan di ayat itu disebutkan nikahilah dua, tiga, atau perempuan perempuan, tidak disebutkan satu perempuan," kata dia.

Fakhruddin menjelaskan poligami menjadi polemik ketika ada sejumlah orang yang tidak setuju dengan poligami. Hal ini, kata dia, kebanyakan disuarakan oleh kaum feminis yang melarang pria untuk menikahi perempuan lebih dari satu.

"Biasanya mereka (feminis) landasannya pada masalah adil. Memang benar tidak akan ada yang bisa adil, tapi ketidakadilan itu tidak serta-merta menggugurkan perintah sebelumnya," ucapnya.

Bahkan, kata Fakhruddin yang kini memiliki dua orang istri, adil itu sifatnya subjektif sekali kalau dalam masalah poligami. Artinya, yang berhak menilai adil itu yakni perempuan yang tengah dipoligami dan suami hanya berusaha untuk melakukan adil terhadap istri-istrinya.

"Adil itu sifatnya subjektif dan tidak bisa diukur parameternya, nggak bisa di generalisasi dong, tapi adil itu bisa kita upayakan secara wujudnya dan yang berhak menjustifikasi adil itu istri-istri yang dipoligami dan landasannya keridaan," ujarnya.

Sebetulnya, kata dia, masalah yang paling berat bagi dia beserta keluarganya yakni masalah persepsi sosial. Padahal, kalau dari segi kehidupan berkeluarga secara personal dia mengaku tidak mengalami masalah yang berat.

"Kebanyakan masalah terberat yang kami alami itu dari persepsi sosial ya. Kalau masalah personal antara suami dengan istri-istrinya nggak jadi masalah sih adem ayem aja, tapi kadang masyarakat yang justru memberikan stereotip jelek," ucap dia.

Dari hasil pembahasan silatkernas itu, ucap dia, nantinya akan menghasilkan rekomendasi yang isinya untuk merevisi Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974. "Itu sebetulnya perlu direvisi karena sangat tidak mendukung dan merugikan kami," ujarnya. Lalu bagaimana tanggapan para aktivis feminis? Benarkah mereka menentang? Apa alasan agamanya

Pandangan Fakhruddin ditentang oleh aktivis Women Studies Centre (WSC) Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati, Bandung, Neng Hannah. Dia mengatakan masalah poligami memang disinggung dalam agama, khusunya Islam. Namun, kata dia, Islam pun lebih menitikberatkan pada masalah monogami.

"Nabi Muhammad memang melakukan poligami, tapi dia pun melakukan monogami, bahkan periode monogami itu lebih lama daripada poligami. hanya 10 tahun sedangkan monogami 28 tahun," ujarnya.

Menurut Hannah, landasan ayat Al-Quran yang kerap menjadi rujukan untuk berpoligami sebetulnya tidak serta-merta menyuruh untuk menikahi lebih dari satu perempuan, tapi justru menyampaikan pesan agar bermonogami

"Di akhir ayat ada kalimat, 'Kalau kamu tidak bisa berlaku adil, nikahilah satu orang perempuan saja.' Menurut saya itu isyarat untuk monogami," katanya.

Selain itu, kata dia, orang-orang harus paham sebab-sebab turunnya ayat tentang poligami itu. Ayat tersebut, dia melanjutkan, sebenanrya sedang membahas masalah melindungi harta-harta anak yatim. Dengan kata lain, konteks ayat itu membicarakan masalah anak yatim dengan dibubuhi poligami.

"Jadi sebetulnya perintah poligami itu tercantum di tengah-tengah ayat, karena awal ayat surat An-Nisa itu konteksnya tentang berbuat adil terhadap anak yatim perempuan," kata dia.

Hannah melanjutkan, bagi mereka yang ingin melakukan poligami harus sesuai dengan yang dicontohkan Nabi Muhammad. Artinya, tidak melulu menikahi gadis, tapi harus berani pula menikahi dan menafkahi janda yang usianya jauh lebih tua. Bukan didorong oleh hasrat seksual, melainkan untuk menolong kehidupan perempuan yang usianya sudah tak produktif.

"Saya tidak mengatakan melarang untuk berpoligami, mangga silakan berpoligami, asalkan sesuai dengan yang dicontohkan Rasulullah. Apalagi di Indonesia berdasarkan statistik tahun 2010, jumlah antara laki-laki dan perempuan itu kurang lebih sama dan harapan hidup perempuan jauh lebih besar, artinya banyak janda-janda yang sudah tidak produktif ditinggal meninggal suaminya. Kalau mau poligami, nikahi janda-janda itu," ujar Hannah, yang juga dosen filsafat sosial di UIN Bandung itu.

Sumber: Tempo.co

 

sumber : Tempo.co

 Tag:   Poligami

Berita Terkait

Bangsaonline Video