Indonesia Darurat Intoleransi
Editor: choirul
Wartawan: rakisa ibnu rahman
Selasa, 09 Februari 2016 09:41 WIB
JAKARTA, BANGSAONLINE.com - Masih banyak terjadi aksi-aksi intoleransi saat ini menunjukkan lemahnya upaya pemerintah dalam meredam dan mengatasi bibit-bibit intoleransi. Mulai dari ancaman, pengusiran hingga penyerangan dengan mudah dilancarkan sekelompok orang.
"Ini sudah darurat intoleransi," kata kader muda Nahdlatul Ulama Zuhairi Misrawi dalam konferensi persnya di Jakarta, Senin (8/02).
BACA JUGA:
Siswa MTsN Kota Pasuruan Juara 1 MYRES Nasional, Mas Adi: Anak Muda yang Harumkan Daerah
Dicurigai Sebagai Pengedar Narkoba, Warga asal Medan Digelandang Warga ke Polsek Porong
Gara-gara Perkelahian Anak, Warga Tanggulangin Sidoarjo Dibacok Tetangganya Hingga Nyaris Putus
Pria asal Jombang Meninggal Dunia Usai Terlindas Truk di Driyorejo Gresik
Zuhairi mamaparkan kasus-kasus intoleransi utamanya menyasar kaum-kaum minoritas seperti Ahmadiyah, Syiah, dan umat kristiani. Hak-hak warga negara untuk memeluk keyakinan dan mendapat perlindungan hukum terabaikan. Dalam kasus di Bangka, Bupati Bangka Tarmizi H bisa leluasa mengusir.
Hal senada juga diungkapkan Direktur The Indonesia Human Rights Monitor (Imparsial) Al Araf, membeberkan bahwa ancaman-ancaman oleh kelompok tertentu terhadap kelompok minoritas mesti ditindak tindak.
"Aneh saja kalau kemudian negara takut dari tekanan-tekanan sebagian masyarakat," ucap Al Araf. Di kesempatan yang sama, Sekretaris Pers dan Juru Bicara Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) Yendra Budiana menuturkan terabaikannya hak-hak warga Ahmadiyah sebagai warga negara bukan hanya terkait dengan jaminan keamanan.
"Sampai saat ini anggota Jemaat Ahmadiyah di Desa Manislor, Kuningan, Jawa Barat, misalnya, masih kesulitan mengakses kartu tanda penduduk (KTP) dan mengurus perkawinan secara resmi yang diakui negara, di Kabupaten Majalengka juga sama", ucapnya.
Terpisah, komisioner Komnas HAM Imdadun Rahmat menilai sikap pemerintah pusat yang lembek membuat pemda seakan membiarkan mengurus sendiri permasalahan tertindasnya kaum minoritas. "Pemda tidak mau menanggung risiko politik dan keamanan sendirian. Mereka berharap otoritas di tingkat nasional juga ikut bagian menangani, (pemerintah pusat) jangan cuma cuci tangan," tegasnya.