Tafsir Al-Nahl 89: Zaman Fatrah, Adakah? | BANGSAONLINE.com - Berita Terkini - Cepat, Lugas dan Akurat

Tafsir Al-Nahl 89: Zaman Fatrah, Adakah?

Minggu, 12 Juni 2016 14:11 WIB

ilustrasi

Untuk masalah pertama, bahwa masa fatrah itu ada, mengingat setelah nabi Isa A.S. dievakuasi ke langit, maka hanya dua belas muridnya saja (al-hawatiyun) yang meneruskan dakwahnya dan setelah itu habis. Sejarah tidak mencatat kiprah murid lanjutan dari dua belas al-Hawatiyun tersebut dalam bidang dakwah islamiah. Hal itu karena kondisi negeri yang tidak memungkinkan, ditambah tirani raja-raja jahat pada masanya. Pendeta (ahli kitab) yang shalih dan berpegang teguh pada ajaran tauhid asli kitab al-Injil dibunuhi oleh raja konstantinopel.

Raja bengis inilah yang memaksa para pendeta bayaran agar mengangkat Yesus sebagai Tuhan dalam Konsisli Nikia tahun 325 M. Waktu itu, keimanan rakyat masih utuh dan memandang Yesus adalah seorang Rasul, sama dengan rasul-rasul lain sebelumnya, semisal David, Solomon, Moses, Jacob, Joseph, Abraham A.S. dan lain-lain. Ratusan pendeta yang tidak setuju dengan keputusan konsili dibunuhi tanpa ampun. Nah, saat kritis seperti itu hingga nabi Muhammad SAW diutus adalah masa fatrah, kosong tanpa rasul, tanpa juru dakwah.

Lalu, bagaiaman amal perbuatan manusia saat fatrah?. Bagi ulama yang pro pendapat ini, semua amal perbuatan mereka tidak dijurnal dan tidak ada pembalasan apa-apa, melainkan free dan bebas. Mereka tidak bisa disiksa karena tidak tahu bahwa apa yang diperbuat adalah larangan agama. Di akhirat nanti, orang-orang masa fatrah ini akan ditempatkan di area netral antara Surga dan neraka yang oleh al-Qur'an disebut "al-A'raf". Bisa jadi masa sekarang ada zaman fatrah, yaitu bila seseorang hidup di daerah sangat terpencil dan sepanjang hidupnya sama sekali tidak pernah ada komunikasi atau mendengar dakwah islamiah.

Manusia masa fatrah yang ditempatkan di al-A'raf itu, apa termasuk kedua orang tua Nabi?. Menurut rumus "Ya". Tapi menurut anugerah dan pertimbangan keagungan Nabi Muhammad SAW, kedua orang tua beliau bisa saja menikmati surga. Fatrah dan bebas jurnal tersbut adalah pendapat umumnya ulama' sunny merujuk al-Isra:15. Allah a'lam.

Pendapat kedua, bahwa masa fatrah itu tidak pernah terjadi dan tidak pernah ada. Sebab Tuhan sudah menyatakan sendiri, bahwa akan mengutus "syahid" pada setiap kaum, setiap kerumunan umat. Dasar pendapat ini adalah ayat studi di atas (89). Soal bentuk syahid tidak harus nabi atau rasul yang secara resmi diutus Tuhan dengan wahyu atau kitab suci. Orang shalih yang menyampaikan kebenaran adalah syahid. Syahid inilah yang akan diminta pertanggungjawaban kepak di hari kiamat nanti. Itu artinya, syahid tersebut wajib melakukan kerja risalah, kerja kenabian, kerja dakwah sesuai keadaan, sesuai kemampuan.

Pendapat ini merujuk kepada orang-orang shalih pranubuwwah, sebelum nabi Muhammad SAW diutus, seperti Qus ibn Saidah, Zaid ibn Amr ibn Nufail yang oleh nabi dikomentari sebagai orang yang diutus kepada umat manusia sendirian "Yub'ats ummah wahidah".

Selain itu ada juga seorang dukun ternama yang menjadi shalih dan berseru kebajikan. Namanya Rabi' ibn Rabi'ah yang selanjutnya berjuluk Sathih. Lalu paman dari ibu Khadijah R.A., istri nabi, yakni Waraqah ibn Naufal, pakar kitab samawi. Beliau sudah lama wafat dan nabi berkomentar sembari memberi kesaksian: "ra'aituhu yanghamis di anhar al-jannah". Aku melihat paman Naufal berenang-renang di kolam surga. Mereka adalah syahid yang menjadi tokoh pada zamannya.

Dengan demikian, dunia ini tidak pernah telat juru dakwah, pasti ada saja entah seperti apa kemampuan dan kadarnya. Dengan demikian, maka setiap amal perbuatan manusia tidak bisa lepas dari penilaian. Yang berbauat baik dibalas dengan pahala dan yang berbuat buruk akan dibalas dengan siksa.

Kaum Mu'tazilah menambahkan, bahwa jurnal amal tersebut cukup atas dasar akal sehat saja. Artinya, akal sehat yang diberikan Tuhan adalah dasar, rujukan bagi manusia untuk bisa melihat mana yang baik dan mana yang buruk. Meskipun tanpa ada juru dakwah yang memberi penjelasan, akal kita secara alamiah bisa mengetahui perbuatan baik dan perbuatan buruk. Jadi, manusia yang hidup era fatrah tetap dijurnal dan setiap perbuatannya pasti mendapat imbalan, kecuali mereka yang otaknya tidak waras.    

 

Berita Terkait

Bangsaonline Video