Tafsir Al-Nahl 90: Tidak Siap Berdialog, Sebaiknya Jangan Menjadi Penceramah | BANGSAONLINE.com - Berita Terkini - Cepat, Lugas dan Akurat

Tafsir Al-Nahl 90: Tidak Siap Berdialog, Sebaiknya Jangan Menjadi Penceramah

Senin, 20 Juni 2016 00:29 WIB

ilustrasi

Pertama, sindiran kepada Jibril, bahwa sejatinya Jibril, si penanya masalah kapan hari kiamat sudah tahu bahwa persoalan ini adalah rahasia Tuhan. Artinya kedua narasumber tersebut sejatinya sudah sama-sama mengerti soal itu. Perkara dimunculkan sebagai pertanyaan di depan publik, hal itu untuk memberi pelajaran bahwa soal waktu kiamat harusnya tidak menjadi bahasan, tidak boleh ada yang menerka-nerka, meramalkan kepastian tanggal dan tahunnya dan lain-lain.

Kedua, tidak semua pertanyan harus dijawab. Sebagai manusia, Nabi sangat arif dan membatasi diri, mana wilayah manusia dan mana yang menjadi otorita Tuhan. Sebagai guru, kiai, penceramah semestinya membatasi diri pada keahliannya dan tidak merasa bisa segalanya sehingga menjelasakan segalanya.

Ketiga, sesungguhnya Nabi ingin menegur Jibril agar jangan terlalu membani dengan pertanyaan yang di luar kemampuan. Jangan keterlaluan dalam mengetes kemampuan sesorang, apalagi di hadapan publik. Selain menyangkut masalah reputasi, dialog itu sebagai pengajaran dan pembelajaran belaka, bukan ujian skripsi dan bukan munaqasyah.

Ketiga, dari dialog Jibril-Nabi di atas memberi pelajaran bagi para penceramah, bahwa seorang juru dakwah harus siap berdialog, siap menerima pertanyaan dari audien, siap dievaluasi dan siap menerima pendalaman materi yang diceramahkan. Tidak sekedar berpidato monolog, berceramah seenaknya, lalu ditutup dan pergi.

Dengan demikian, seorang penceramah dituntut punya bekal ilmu yang cukup sehingga tuntas dalam menyampaikan pesan agama, karena dia memnag benar-benar ahlinya. Keahlian ilmu (ahl al-dzikr) itulah yang sekarang diabaikan oleh kebanyakan penceramah sekarang, utamanya ustadz entertainment. Nabi telah mencontohkan itu, sehingga islam menjadi elegan dan benar.

Apa yang dilakukan Jibril tersebut adalah sah, sekaligus pancingan, sekaligus teguran kepada para audien agar tidak menjadi pendengar pasif dan menerima begitu saja terhadap apa yang diceramahkan sang ustadz. Jibril telah mengajari kita agar menjadi umat yang cerdas dan kreatif, memanfaatkan kesempatan demi lebih mendapat ilmu yang wawasan bermanfaat.

Tidak ada keterangan soal materi apa yang sedang diceramahkan Nabi waktu Jibril datang tersebut. Apakah materi yang disampaikan Nabi relevan dengan pertanyaan yang diajukan Jibril atau tidak. Yang jelas, semua pertanyaan Jibril adalah masalah agama. Jadi, sebaiknya pertanyaan yang diajukan audien sesuai dengan topik pembicaran, sehingga persoalan menjadi lebih khusus dan mendalam.

Tapi tidak semua materi yang disampaikan penceramah sesuai dengan apa yang diharapkan mustamiin atau audiens. Untuk itu, pada setiap kali ada dialog, ada saja orang yang bertanya di luar topik, tapi tetap dalam koridor agama. Untuk ini, sebaiknya penceramah menjawab jika memang memungkinkan. Oleh karenya, penceramah dituntut berbekal ilmu memadahi sebelum tampil di mimbar. Mimbar bukan ajang pamor, melainkan ajang transformasi ilmu dan sebaran agama. Jadi, bagi penceramah yang tidak siap dievaluasi, tidak siap ditanya soal agama, sebaiknya membekali ilmu dulu secukupnya atau tidak usah ceramah di depan umat.

 

Berita Terkait

Bangsaonline Video