Tafsir Al-Nahl 90: Shalat Tanpa Tumakninah Tidak Sah | BANGSAONLINE.com - Berita Terkini - Cepat, Lugas dan Akurat

Tafsir Al-Nahl 90: Shalat Tanpa Tumakninah Tidak Sah

Kamis, 23 Juni 2016 13:53 WIB

ilustrasi

Kedua, Nabi tetap bersikukuh pada pendiriannya dan menyuruh lelaki itu mengulang lagi shalatnya meskipun sudah tiga kali dilakukan. Bagi Nabi, dalam merumus shah dan tidaknya shalat sungguh harus definitif dan pasti. Artinya, tidak shah, ya tidak shah dan tidak ada toleran. Hal ini sangat prinsip karena menyangkut ibadah shalat, ibadah paling menentukan, paling depan dihisab di hari akhir nanti.

Keempat, Hadis tersebut lebih pada praktik dan amali. Sunnah fi'liyah ini berimplikasikan keputusan hukum langsung oleh Nabi sendiri dan sifatnya mengikat dan mutlak. Bukan lagi berupa qauliah atau diorasikan yang mengandung makna bersayap dan multi syarah. Sesuatu yang sudah diputuskan Nabi adalah syari'ah final yang tidak bisa diaganggu gugat dan segala yang bersifat debatebel harus berakhir dan selesai.

Kelima, ketika lelaki itu menyerah dan meminta bimbingan demi menggapai shalat yang sesuai dengan harapan Rasulullah, terbacalah dalam matan al-Hadis tersebut menggunakan kata "TSUMMA" (kemudian, selanjutnya) pada setiap kali gerakan shalat: ruku', berdiri, sujud, duduk dan seterusnya. Dalam tradisi bahasa arab disiplin ilmu ma'any, kata "Tsumma" adalah huruf 'athaf (kata sambung) yang berimplikasikan jeda waktu. Antara al-ma'thuf dan al-ma'thuf 'alaih terdapat senggang waktu (ta'qib tarakhy/berurutan dan berjarak waktu). Tidak sama dengan huruf athaf "Fa'", yang berfungsi ta'qib fawry/berurutan dan langsung.

Jadi, jika dikatakan: "Zarany Muhammad tsumma Ali", maka artinya, Muhammad kunjung ke rumahku duluan, lalu beberapa saat, kemudian datanglah Ali menyusul. Tidak sama dengan terma: "Zarany Muhhamad fa Aly", maka jarak antara kunjungan Muhammad dan Ali berurutan dan hampir bersamaan.

Nah, dari falsafah makna "Tsumma" inilah ulama' memandang tumakninah itu harus ada pada setiap kali gerakan shalat. Ulama fikih memasukkan tumakninah sebagai rukun. Shalat tanpa tumakninah dihukumi tidak shah. Maka keheranan mengganggu Penulis, kok ada kawan yang berkomentar "shah" ketika menghukumi tarawih super cepat model "Blitaran". Apa mereka tidak mengerti ada Hadis ini atau punya pemahaman lain atau tidak menganggap tumakninah sebagai bukan rukun atau model super cepat itu dianggap sudah tumakninah, atau asal ngomong saja dan gaya-gayaan?. Semoga Allah selalu memberi hidayah kepada kita.

Keenam, ada beberapa ayat al-qur'an yang menunjuk "wajibnya" shalat berkualitas, khusyu' dan berefek kebajikan. Allah SWT mengawasi orang yang shalat, sejak mulai datang ke masjid, mengambil posisi dalam shaff, saat dia berdiri, sujud dan mengontrol pula kondisi hatinya. Seterusnya dan seterusnya. Namanya ibadah diawasi Allah, lalu kita lakukan ibadah model mana?. Hanya pekerja amoral yang tega bekerja acak-acakan dan amburadul meskipun ditunggui majikan di depannya.

Ketujuh, Nabi menemukan ketenangan jiwa saat shalat. Shalat itu dinikmati begitu mendalam dan meresap, lama dan lama sekali seperti orang bercumbu dengan kekasih dan tidak mau berpisah. Kaki bengkakpun tak terasa. Apakah ini bukan tuntunan?. Kita sadar, tidak bisa seperti Nabi. Tapi setidaknya ada sedikit usaha untuk bisa bermirip-mirip. Usaha menuju ke lebih baik sungguh mulia dalam pandangan Tuhan. Mokong dan bersikukuh pada keburukan adalah gaya jahiliah yang disukai Syetan.

Kedelapan, mungkin Nabi terlalu tinggi untuk dicontoh. Kita turunkan ke level kalangan sahabat, ke level Tabi'in, ke level Tabi'it Tabi'in, ke level ulama salaf, ulama khalaf, ke level kiai-kiai ternama negeri ini. Tidak ada yang mengimami shalat tarawih model itu. Hadratus Syaikh Hasyim Asy'ari yang ahli Hadis, punya sanad ke imam al-Bukhary dan imam Muslim, pendiri Nahdlatul Ulama shalat tarawih secara khusyu' dan lama. Memang beliau tidak hafal al-Qur'an, tapi shalat tarawih pakai mengkhatamkan al-qur'an dengan cara membaca mushaf. Mushaf dibuka, dibaca saat berdiri dan diletakkan saat ruku'.

Kesembilan, soal tarawih super cepat warisan dari kiai terdahulu dan berlangsung lama. Apakah kiai itu bodoh dan tidak mengerti praktik tumakninah? Mosok si mbah Yai salah? dan haruskah dilestarikan?. Komentar penulis, antar lain :

Pertama, tidak baik mengungkap keburukan orang yang sudah mati. Seharusnya kita mendoakan beliau semoga kesalahannya dimaaf oleh Allah SWT dan ditempatkan di surga. Beliau sudah berbuat dan kini tinggal di sono, semoga Tuhan memaklumi.

Kedua, selain Nabi, punya potensi melakukan kesalahan. Semua manusia punya keterbatasan, termasuk keterbatasan memahami Nash. Tidak ada yang punya ilmu sempurna. Punya ilmu, tapi terbatas dalam mengamalkan secara optimal. Untuk itu, dalam agama, ukuran kebenaran bukanlah merujuk perorangan dan warisan masa lalu, tetapi berdasar wahyu dan pandangan para ahli dan terpercaya. Di samping itu, pola pikir orang beriman harus memproduk nilai terbaik dan terus memburu yang terbaik dan tak boleh merasa kenyang, bukan mandeg pada tradisi dan warisan yang buruk.

Warisan kiai memang perlu dilestarikan asal baik. Tapi jika ada yang lebih baik, maka sebisa-bisanya harus diubah menjadi lebih baik, maka Tuhan rela, Nabi suka dan kiai yang sudah wafat bergembira karena mendapatkan yang terbaik dari apa yang dulu dilakukan. Janganlah melestarikan warisan buruk, itu haram hukumnya. Melestarikan warisan buruk sama saja dengan memeperpanjang keburukan bagi si mayit. Jika keburukan itu dosa dan berefek siksa, maka anda adalah orang tega, anak durhaka yang tega memepanjang siksaan atas pendahulu. Sewajibnya anda menghentikan. Itu baru anda pewaris yang cerdas sekaligus anak shalih yang berakhlaq mulia.

Ketiga, dalam al-qur'an, kalimat yang menunjuk warisan nenek moyang terdahulu lazim dibahasakan dengan "Ma wajadna 'alaih aba'ana". Semua kalimat ini berkonotasikan negatif, primordialistik dan buruk. Itu alasan klise yang dipakai orang-orang jahiliah zaman Nabi dulu. Mereka menolak kabaikan yang disampaikan Nabi dengan alasan memegangi tradisi nenek moyang.

Tuhan membisiki Nabi, bahwa teruslah berdakwah dan mengajak mereka ke jalan kebaikan dan jangan ragu, jangan gentar dengan cemooh pengecut. Sejatinya, mereka tidak menolak ajaran islam bukan karena konsep islam buruk, tapi lebih karena gengsinya. Mulutnya mengecam, sikapnya menolak, tangannya menjahati, langkahnya memusuhi, tapi sejatinya hatinya menerima dan mengakui kebaikan itu. "wajahadu biha wa istaiqanatha anfusuhum dhulma wa 'uluwwa".      

 

Berita Terkait

Bangsaonline Video