Tafsir Al-Isra' 37-38: Menari Hukumnya Haram (?) | BANGSAONLINE.com - Berita Terkini - Cepat, Lugas dan Akurat

Tafsir Al-Isra' 37-38: Menari Hukumnya Haram (?)

Editor: Redaksi
Sabtu, 04 Mei 2019 02:43 WIB

Ilustrasi. foto: Sydney Dance Company

Jika gaya berjalan “maraha” itu dengan tujuan yang dibenarkan agama, seperti militer, pasukan perang untuk membuat nyali musuh Allah mengkeret, maka dibolehkan, bahkan dianjurkan. Jika hanya berlagak dan mengesankan kesombongan, maka dilarang.

“Walaa tamsyi fii al-ardhi marahan..”. Tidak diperkenankan melakukan gerakan yang melambangkan “maraha”, kesombongan, kecongkakan. Dari ayat ini, beberapa ulama seperti al-imam Abu al-Wafa’ ibn Aqil, hujjah al-islam Muhammad al-Ghazali tidak membolehkan menari.

Menari menunjukkan gerak kecongkakan, membanggakan diri, berlagak yang membuat pelakunya terbawa dalam kecongkakan yang sedang dia perankan. Jiwa penari pasti larut dalam kebohongan dan kepura-puraan yang negatif dan terpental dari Sang Khaliq. Etika tasawwuf melarang seseorang berbangga-bangga diri, meski itu hanya sekadar peran, karena ketakabburan hanyalah milik Allah SWT.

Pandangan Abu al-Wafa ini lebih lanjut dikutip al-Qurtuby dengan memperluas bahasan, seperti menari bersama antara laki-laki dan perempuan dalam satu kolaborasi, satu koreografi dan padu, satu panggung. Apa lagi tarian yang sampai bersentuhan badan, seperti tarian yang dilakukan oleh orang-orang fasiq, ahli maksiat, ayat ini memvonis keharaman (al-Qurtuby:XI/p.263).

Tetapi tarian zaman sekarang telah banyak modifikasi dan misi, tidak hanya disajikan sebagai hiburan dan media kemaksiatan, melainkan juga sebagai media dakwah dengan menyisipkan pesan keagamaan yang tersiap dalam gerak tari tersebut.

Seperti sebuah tarian dengan tema tentang respons para petani, pekerja di sawah, di ladang terhadap suara adzan yang dikumandangkan. Mereka menghentikan pekerjaannya, lalu ambil air wudlu, bergegas ke masjid dan shalat. Tentu saja pekerja dakwah via seni tari demikian mencak-mencak tidak terima diharamkan dan menghukumi boleh.

Ya, tapi harus diingat, bahwa sulit menghindari pergumulan maksiat antar penari pria dan wanita dalam satu wadah. Sisi ini sering diabaikan oleh pekerja seni yang berdalih religious, karena di sinilah justru indahnya. Tanpa gadis cantik yang lembut bergoyang, tanpa liukan tubuh yang seksi, tanpa lambai jemari cantik dan sedikit membuka aurat di hadapan umum, rasanya tarian hambar dan kaku.

Silakan dipertimbangkan, besar mana antara manfaatnya bagi agama dan mafsadahnya (?). Biasanya pekerja seni lemah berpikir soal komparasi ini, lalu berjalan mengikuti nafsu atas nama dakwah islamiah. Untuk menyikapi ini, kebanyakan umat islam ya iya iya saja menikmati seni kolaboratif tersebut, kecuali mereka yang ketaqwaannya mapan.

 

Berita Terkait

Bangsaonline Video