Tafsir Al-Isra' 44: Jilbab, Antara Miftahul Jannah dan Najwa Shihab | BANGSAONLINE.com - Berita Terkini - Cepat, Lugas dan Akurat

Tafsir Al-Isra' 44: Jilbab, Antara Miftahul Jannah dan Najwa Shihab

Editor: Redaksi
Minggu, 02 Juni 2019 16:17 WIB

Miftahul Jannah, Atlet Judo Indonesia yang rela didiskualifikasi dari Asian Para Games gara-gara menolak melepas jilbab.

Oleh: Dr. KH A Musta'in Syafi'ie M.Ag

44. tusabbihu lahus-samaawaatussab'u wal-arḍu wa man fiihinna, wa in min syai'in illaa yusabbihu bihamdihii wa laakin laa tafqahuuna tasbiihahum, innahuu kaana haliiman gafuuraa

Langit yang tujuh, bumi dan semua yang ada di dalamnya bertasbih kepada Allah. Dan tidak ada sesuatu pun melainkan bertasbih dengan memuji-Nya, tetapi kamu tidak mengerti tasbih mereka. Sungguh, Dia Maha Penyantun, Maha Pengampun.


TAFSIR AKTUAL:

Ayat studi yang sedang kita kaji ini (44) adalah tentang semua ciptaan selalu bertasbih kepada Allah SWT. Dijelaskan dari benda paling raksasa, langit, dan bumi hingga yang tak terlihat. Lalu ditohok, bahwa manusia tidak paham tasbih mereka. Sebagian mufassirin memandang, bahwa makna tidak paham tesebut ditujukan kepada mereka yang tidak bisa mengambil hidayah, sehingga tetap kafir. Mereka benar-benar kalah soal "kepatuhan" terhadap Tuhan.

Beberapa hari lalu, dunia tiba-tiba dikejutkan dengan sikap sorang judoka Indonesia, Miftahul Jannah yang rela didiskualifikasi, tidak boleh tampil di gelanggang Asian Para Games 2018 yang diselenggarakan di negeri sendiri karena tidak bersedia melepas jilbab saat pertandingan. Dia lebih memegangi prinsip syariah yang dia yakini, bahwa menutup kepala (berjilbab) bagi wanita muslimah adalah perintah agama yang wajib dipatuhi.

Sikap Komite pertandingan mengusir Miftahul Jannah dari arena itu tidak salah, karena aturannya begitu. Tapi Miftahul Jannah juga benar, karena melepas jilbab di tempat terbuka, di depan para laki-laki bukan mahram adalah dilarang agama. Baginya, prestasi itu penting, tapi prestasi taqwa lebih penting. Apa artinya medali berhasil diraih, tapi Tuhan membenci. Dia lebih memilih pujian di Akhirat ketimbang pujian di dunia. Itulah hidayah namanya.

Miftahul Jannah hanyalah seorang atlet yang notabenenya "tidak membaca ayat suci", tidak mengerti tafsir dan tidak memahami al-Hadis, juga tidak dari keluarga mufassir, tidak juga dari keluarga berilmu tinggi bidang agama. Tapi dia terdidik agama dan berkomitmen terhadap syari'ah agama. Itulah keberhasilan orang tua menanamkam agama pada anaknya.

Di sini jelaslah, bahwa keimanan, hidayah, ketaqwaan tidak mesti tumbuh kokoh karena ilmu. Hidayah itu lebih bisa diraih dengan kemauan, kesungguhan mendapatkan, meskipun bisa juga diraih dengan kajian, meski ada juga karena pemberian.

Apa yang dilakukan Miftahul Jannah sungguh dakwah islamiah yang sangat efektif dan viral, mesti tanpa kata-kata. Allah SWT membuka mata dunia lewat gelanggang Asian Para Games dan seorang Judoka ditunjuk sebagai "juru bicara-Nya" mempromosikan syariah berjilbab.

Berjilbab, bertutup kepala, seperti berkali-kali disebut dalam al-qur'an dan disabdakan Nabi, juga dipraktikkan sehari-hari oleh para wanita muslimah sejak jaman nabi, diatur sedemikian detail dan diaplikasikan oleh banyak wanita muslimah di dunia. Bagi Miftahul Jannah, adalah agama yang wajib dipatuhi dan bukan budaya yang kreasi manusia dan suka-suka.

Tidak sama dengan Najwa Shihab yang berpendidikan tinggi, lahir dan tumbuh dewasa dari keluarga pakar tafsir ternama negeri ini. Pendapat sang pakar - seperti yang maklum di kalangan ilmuwan - tentang jilbab cenderung lebih pada budaya ketimbang agama. Sehingga pokoknya pantas menurut budaya setempat, maka itu sudah cukup sebagai menutup aurat bagi wanita muslimah. Dalil dan argumen beliau sangat akademik, hebat, dan bisa diterima akal.

Maka jangan heran, pemandu acara Mata Najwa itu selalu tampil tanpa jilbab dan tidak risih di hadapan laki-laki. Ya karena paham tadi, bahwa jilbab lebih sebagai budaya, bukan murni agama. Dalam artian, jilbab atau tutup aurat total bagi wanita muslimah adalah pengaruh budaya arab, sementara orang Indonesia punya budaya sendiri.

Sebagai pendapat, itu adalah buah nalar akademik yang harus kita hormati. Tetapi tidak berarti tidak boleh dikritisi. Arah tafsir aktual ini, selain menambah khazanah keilmuan juga meningkatkan ketaqwaan. Dari sisi keilmuan, silakan pembaca berkomentar. Tapi dari sisi ketaqwaan, dua sikap di atas sangat beda.

Apa yang diamalkan Miftahul Jannah lebih mengarah kepada peningkatan ketaqwaan ketimbang yang dilakukan Najwa Shihab. Najwa masih menikmati, masih menuruti nafsunya tampil modis di hadapan publik. Sedangkan Miftahul Jannah mampu menyembelih nafsu prestasinya yang beraroma maksiat demi meraih ketaqwaan yang dia yakini. Miftah artinya kunci, Jannah artinya surga. Semoga sikap tersebut menjadi kunci pembuka pintu surga baginya.

Ternyata, dengan ketaqwaan yang dia pilih, Allah SWT menggantinya dengan hadiah yang lebih besar. Banyak berdatangan tiket umroh gratis yang bisa dipakai berangkat bersama keluarga. Keluarga yang mendidik agama mendapat keberkahan dari komitmen keagamaan sang anak.

Kini, syariah jilbab secara tak terduga dipromosikan lewat gelanggang judo. Selanjutnya lewat apalagi? Kita menanti kejutan-kejutan Tuhan dalam memprosikan syariah-Nya. 

 

Berita Terkait

Bangsaonline Video