Gagas “Doa Resmi Negara”, Gus Thoriq Ingatkan Jokowi Risiko Sumpah yang Kurang
Editor: tim
Rabu, 16 Oktober 2019 17:03 WIB
“Kongres Nasional PDIP di Semarang 2014 memutuskan 1 Muharram sebagai Hari Santri Nasional,” kata Gus Thoriq. Presiden Jokowi mengeluarkan Kepres Nomor 22/2015 yang menetapkan tanggal 22 Oktober sebagai HSN. Gus Thoriq menuturkan, kesepakatan itu merupakan “barter politik” dengan penetapan 1 Juni sebagai Hari Lahir Pancasila.
Karena itu, sekarang Gus Thoriq mengingatkan bahwa realisasi sumpah Jokowi itu masih ada yang kurang. “Seharusnya HSN 1 Muharram, bukan 22 Oktober,” kata Gus Thoriq.
Apa ada risiko jika sumpah yang kurang itu tidak dilaksanakan? Menurut Gus Thoriq ada. “Setiap memasuki bulan Muharram selama kepemimpinan Pak Jokowi pasti ada masalah,” katanya sembari mengingatkan berbagai peristiwa yang menimpa bangsa Indonesia selama ini.
Ia menunjuk contoh kasus Jokowi saat diundang CEO Freeport ke Amerika Serikat. “Presiden hadir secara resmi bersama para staf, padahal hanya diundang CEO. Itu kan merendahkan presiden. Dan itu terjadi pada Muharram,” kata Gus Thoriq.
Begitu juga tragedi Ahok di Pulau Seribu yang dianggap merendahkan Surat Al-Maidah, juga terjadi pada Muharram. Bahkan meletusnya peristiwa Wamena yang banyak menelan korban juga terjadi pada bulan Muharam.
“Wamena itu berlanjut sampai sekarang. Pokoknya, kalau ditelisik setiap Muharam (Indonesia) selalu berguncang,” kata Gus Thoriq.
Menurut Gus Thoriq, banyak sekali yang mengklaim HSN. Selain PKB dan Cak Imin yang jadi penglima santri, kata Gus Thoriq, PKS juga pernah mengklaim bahwa Hari Santri itu adalah inisiasi Hidayat Nur Wahid, mantan Presiden PKS. “Luar biasa,” kata Gus Thoriq sembari tertawa.
Padahal Gus Thoriq berjuang sejak 2011 sampai akhirnya diterima Presiden Jokowi. Gus Thoriq juga menggagas perlunya pemerintahan Indonesia memiliki “doa resmi negara”. Menurut dia, doa resmi negara itu penting. “Kita sudah 70 tahun lebih merdeka, masak tidak punya doa resmi negara,” katanya.
Menurut dia, kalau ada acara kenegaraan, doanya seragam dan dihafal seperti lagu Indonesia Raya. “Jadi doa resmi negara itu seragam, dibaca pada setiap acara kenegaraan, dari pemerintah pusat hingga pemerintah daerah,” katanya.
Contoh doanya seperti apa? “Ya, misalnya Salawat Indonesia,” katanya. (MMA)