Tafsir Al-Isra 90-93: Nabi Itu Bukan Tuhan | BANGSAONLINE.com - Berita Terkini - Cepat, Lugas dan Akurat

Tafsir Al-Isra 90-93: Nabi Itu Bukan Tuhan

Editor: Redaksi
Jumat, 24 April 2020 22:57 WIB

Ilustrasi. foto: NU Online

Bahwa tuntutan pertama dan kedua adalah memanfaatkan kondisi tanah Makkah yang kering dan tandus, tiada air dan beriklim sangat tropis. Hujan adalah benar-benar augerah, sehingga nabi pun menyebutnya sebagai rahmah. Mustahil ada air mengalir jernih secara alami di celah-celah kebun kurma dan anggur. Buahnya lebat, air tersedia dan tanpa upaya apa-apa.

Itu benar-benar surga yang ditransfer ke bumi. Tidak mungkin terjadi zaman itu. Beda dengan sekarang, di mana pengairan telah diupayakan dengan teknologi tinggi sedemikian maju dan raksasa, sehinga kini tidak sulit menjumpai kebun macam itu.

Dilihat dari materi tuntutan, terbaca bahwa ide itu lahir dari kaum kafir kebanyakan, karena alam mereka demikian, dan setiap orang pasti merindukan. Mata air dan pepohonan rindang berbuah, lazim dinikmati bersama. Tidak ada yang tidak membutuhkan air macam itu, sehingga orientasi tuntutan ini adalah kepentingan dan kenyamanan hidup.

Yang bisa kita petik sebagai pelajaran adalah, agar pribadi sang pemimpin punya kelengkapan skill. Hendaknya sebisa mungkin bisa mensejahterakan dan menyamankan taraf hidup umat. Pemimpin yang pengusaha dan banyak memberi manfaat kepada umat secara finansial, logikanya lebih punya power dalam manaklukkan hati umat.

Dari materi tuntutan ketiga dan keempat, di mana Nabi dituntut mampu meruntuhkan langit atau di-back up Tuhan dan para malaikat. Hal itu menunjukan, bahwa yang mereka kehendaki dari seorang Rasul adalah punya kesaktian tingkat tinggi, hingga langit pun bisa diruntuhkan berkeping-keping. Atau komunikasinya dengan langit sangat kuat.

Setidaknya sebagai pelengkap agar para juru dakwah, kiai, atau pemimpin punya sedikit kesaktian yang luar biasa, atau keahlian khusus di atas manusia kebanyakan. Silakan yang bisa ndukun dan pertabiban. Pasien kronis yang berhasil sembuh via sentuhan tangan anda akan punya kepatuhan lebih terhadap diri anda.

Seorang anak bimbang memilih agama, Islam atau Katolik. Gara-garanya, si ibu yag beragama Islam sakit berkepanjangan dan terus berdoa kepada Allah SWT, tapi tidak kunjung sembuh. Si ayah yang beragama Katolik membisiki: "coba saja Mam, kita ke gereja dan berdoa di sana, siapa tahu Tuhan memberi kesembuhan". Si ibu menurut, dan ternyata cepat sembuh. Karena alam pikirnya pendek, lalu ibu tersebut masuk Katolik.

Si anak yang sudah berpendidikan berpikir: "Apa iya Tuhannya orang islam itu tidak sakti, atau memang Allah itu bukan Tuhan beneran. Atau apakah Tuhannya orang Katolik itu lebih pemurah?

Di sisi lain dia juga menyaksikan: Tapi kok ada juga orang Katolik di sono sakitnya lebih lama dan lebih kronis dari ibu, dia lebih sering ke gereja, bahkan sangat akrab dengan para pendeta, tapi kok tidak sembuh juga sampai sekarang?

Di sudut sana, ada orang Islam yang sakit kronis dan lama. Ternyata sembuhnya bukan oleh dokter, melainkan karena doa dan sedekahnya banyak sekali. Si tetangga itu sakit dan perutnya membesar busung. Di rumah sakit lama tak sembuh. Setelah diistighatsahi, khataman al-qur'an, dan dibacakan surah-surah tertentu, ternyata sembuh.

Dan anak itu berpikir, sesungguhnya Tuhan itu siapa? Lalu di mana sesungguhnya peran Tuhan dan seterusnya? Andai ada kiai sakti yang sentuhan tangannya menjadi sebab sembuhnya si ibu tersebut, maka si anak akan lebih mantap memilih agama Islam.

Kelima, menuntut agar nabi punya rumah super mewah, berlapis emas murni. Itu artinya, ada lapisan masyarakat yang menghendaki agar pemuka agama atau pemimpin itu tidak hanya kaya kebijakan, kaya ilmu, kaya kejujuran, melainkan juga kaya harta, dan kebendaan.

Meski tuntutan ini materi, tetapi tidak bisa begitu saja kita nafikan. Hati manusia lebih mantap jika punya pemimpin bersih dan berkecukupan. Logikanya, kekayaan negara lebih aman di tangan pemimpin macam itu. Memang sulit dibuktikan, tetapi bisa dirasakan, bahwa kadang ada konglomerat yang memandang sebelah mata terhadap kiai, ustadz, penceramah, atau guru agama yang miskin.

Keenam, tuntutan pembuktian kitab suci yang cara ngunduhnya tersaksikan. Mereka menuntut sang Nabi terbang ke langit dan turun membawa kitab suci bertuliskan firman Tuhan. Lalu mereka bisa membacanya sendiri.

Itu artinya, mereka tidak mempercayai sosok Muhammad SAW sebagai utusan atau penerima wahyu atau kitab suci. Walhasil, wahyunya diimani, tapi Muhammad-nya diingkari. Maunya, dengan langsung menyaksikan sendiri dan membaca sendiri kitab suci itu, maka peran Muhammad tidak ada apa-apanya bagi mereka. Mereka gengsi berat jika Muhammad menjadi Rasul pemandu keyakinan mereka.

Nyatanya, basic sosial atau latar belakang pemuka agama lebih mantap jika dari strata luhur, dibanding dengan dari rakyat jelata. Sama-sama shalih, sama-sama berilmu, bijak, kaya dan sebagainya, yang satu anak kiai besar dan yang satu anak petani biasa, biasanya umat lebih cenderung memilih yang anak kiai sebagai pemuka. Allah a'lam.  

*Dr. KH. A Musta'in Syafi'ie M.Ag adalah Mufassir, Pengasuh Rubrik Tafsir Alquran Aktual HARIAN BANGSA, dan Pengasuh Pondok Pesantren Madrasatul Qur’an (MQ), Tebuireng, Jombang.

 

Berita Terkait

Bangsaonline Video