Tafsir Al-Isra 1: Isra' dan Mi'raj Bukan Peristiwa Ilmiah

Tafsir Al-Isra 1: Isra Ilustrasi. foto: bersamadakwah.net

Oleh: Dr. KHA Musta'in Syafi'ie M.Ag. . .

Subhaana alladzii asraa bi’abdihi laylan mina almasjidi alharaami ilaa almasjidi al-aqshaa alladzii baaraknaa hawlahu linuriyahu min aayaatinaa innahu huwa alssamii’u albashiiru (1).

Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Panduan dari Nabi Daud dan Nabi Sulaiman untuk Memutus Kasus Perdata

Dari 114 surah dalam al-Qur'an, hanya surah ini saja yang dibuka dengan kata "Subhan". Sebuah bentuk isim masdar edisi khusus (mawdli' al-masdar) yang tidak ikut aturan masdar pada umumnya. Meski masdar, tapi "subhan" bukan berumpun pada fi'il madli "Sabbaha". Sisi isytiqaq, breakdown, pemecahan kata, masdar kata "sabbaha" adalah "tasbih" dan bukan "subhan". Begitu kata al-imam Sibawayh.

Thalhah ibn Abdillah bertanya kepada Rasulullah SAW soal makna kata "subhan" ini. Rasul menjawab: "Tanzih Allah min kull su'". Maha suci Allah dari segala kenegatifan. Karena begitu asasi Tuhan harus bersih dari segala bentuk keburukan, kelemahan, kekurangan, padanan dll. Maka kata ini, dengan segala variannya dipakai sebagai pembuka surat.

Semisal "subhan", dipakai pada surah al-Isra' ini, sedangkan fi'il madlinya (Sabbaha) dipakai pembukan surah al-Hadid, al-Hasyr dan al-Shaff. Fi'il mudlari'nya (Yusabbih) dipakai pembuka surah al-Jumu'ah dan al-Taghabun dan fi'il amarnya (Sabbih) dipakai pembuka surah al-A'la. Gebyah-uyah, bahwa Allah SWT itu benar-benar Tuhan yang Maha suci dan manusia wajib mengimani itu serta tidak melakukan apa saja yang sifatnya bisa menodai kemahasucian Tuhan.

Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Cara Hakim Ambil Keputusan Bijak, Berkaca Saja pada Nabi Daud dan Sulaiman

Terhadap hasil panen yang melimpah ruah, petani itu berkomentar seperti ini: "Ya, kami benar-benar mengikuti petunjuk dari penyuluh dengan baik dan sangat teliti, dari pemilihan bibit yang sehat, kondisi tanah yang kami garap begini dan begitu, pengairannya sangat bagus, pemberantasan hama sudah kami antisipasi sejak dini, teknik perawatan dan lain-lain. Nah inilah hasil kerja keras kami...".

Komentar petani itu benar menurut ilmu, tapi salah menurut keimanan. Hal itu karena dia menafikan dan mengkufuri peran Tuhan yang menjadikan panen itu bagus. Seharusnya ada ungkapan teologis setelah paparan teknik, misalnya "..al-hamdulillah, Allah memberikan hasil sebaik ini..". Kalimat inilah yang sering hilang dari lisan manusia yang sedang dirindung pongah setelah mencapai kesuksesan.

Semua ayat yang diawali dengan kata "tasbih" (kemahasucian) ini berisikan hal-hal yang supra rasional, besar dan mengamumkan. Kata subhan sebagai pembuka ayat yang berada di tengah-tengah surah juga mengandung pesan demikian. Seperti ketika Tuhan membicarakan makhluq ciptaan-Nya yang serba berpasangan, "khalaq al-azawaj kullaha", yang dijabarkan pada tiga sektor : tumbuh-tumbuhan (min ma tunbit al-Ardl), makhluq hidup (min anfusihim), dan dari makhluq yang tidak diketahui (min ma la ya'lamun).

Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Memetik Hikmah dari Kepemimpinan Nabi Daud dan Nabi Sulaiman

Untuk itu, kata "subhan" (subhanallah) dipakai sebagai ungkapan reflek seorang muslim saat berdecak kagum melihat sesuatu yang menakjubkan. Refleksi ini adalah yang terdepan karena terkait jiwa keimanan kita. Dan muslim harus demikian, sebelum selanjutnya menggunakan nalar analisis dan kerja pemikiran.

Artinya adalah isyarat, bahwa pesan ayat tersebut sangat mungkin ada hal-hal yang tidak bisa dicerna oleh akal, maka akal harus tunduk. Silakan mencari dan mengkaji sedalam-dalamnya dan sejauh-jauhnya, tapi tetap harus disadari, bahwa akal manusia sangat terbatas. Jadinya, bukan akal lagi yang harus dijadikan imam, melainkan keimanan dan kemahasucian Tuhan.

Peristiwa al-Isra' di sini bukanlah peristiwa ilmiah, fisika yang rasional, tetapi peristiwa supra rasional yang sarat dengan pelajaran rasional. Bukan peristiwa ilmiah, tapi mengandung ajaran ilmiah. Meskipun kita mengimani mukjizat, tapi kita tidak boleh menyerah begitu saja kepada mukjizat, melainkan harus bisa memetik pelajaran dari peristiwa mukjizat, tanpa merendahkan keluhuran mukjizat itu sendiri.

Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Keputusan Bijak untuk Sengketa Peternak Kambing Vs Petani

Ilmuwan besar, fisikawan besar pada umumnya diam dan tidak mencoba memaksakan diri merasionalkan peristiwa mukjizat yang supra itu. Mereka pribadi yang jujur dan tahu batasannya, sehingga tidak pongah, lalu tunduk kepada keajaiban yang memang nyata-nyata ada. Itulah ilmuwan yang obyektif dan mengerti keberadaan diri di tengah kebesaran jagad raya ini.

Tidak sama dengan ilmuwan kacangan yang sok memaksakan kaedah fisika sebagai segala-galanya, sehingga seajaib apapun peristiwa alam mesti bisa dirasionalkan,dipelajari, dicipta meski ujungnya hanya kira-kira dan tidak tuntas. Lalu berlindung diri pada kecanggihan temuan masa depan.

Semisal analisis ilmiah terkait perjalanan al-isra' dan al-mi'raj. Perjalan malam dalam waktu super singkat ber-start dari al-Masjid al-Haram Makkah dan finis di al-Masjid al-Aqsha Palestina yang berjarak lebih kurang 1.500 kilometer. Jika ditempuh dengan kecepatan cahaya hanya dibutuhkan waktu 0.05 detik. Sedangkan al-Mi'raj, dari bumi Palestina ke Sidrah al-Muntaha sungguh hanya Allah SWT saja yang mengetahui jaraknya.

Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Dua Nabi, Bapak dan Anak

Menurut ahli fisika kenamaan, Albert Einsten: “benda padat tidak akan bisa terbang pakai kecepatan cahaya, pasti hancur berantakan”. Ya hal itu karena menyalahi sifat alamiah yang dimiliki dan melawan kodratnya.

Dari gambaran yang begitu tak terhingga, ilmuwan beriman pasti tunduk dan tidak akan membuka peluang, bahwa ke depan akan bisa dipelajarai dan bisa ada perjalanan menempuh ruang sidrah itu. Ya, karena mereka menuhankan ilmu fisika sebagai segala-galanya. Sementara ini, andalan paparannya hanya bertumpu pada "DIMENSI".

Gambarannya begini: itu perubahan dari materi, yakni bodi Nabi ketika masih di al-Masjid al-Haram, menjadi immateri saat menempuh perjalanan, lalu menjadi materi lagi saat kembali ke tempat asal. Mereka bersikukuh dimensi itu adalah fisis yang mesti bisa dicapai, dipelajari.

Baca Juga: Usia Nabi Nuh 1.000 Tahun, Tapi "Gagal" Dakwahi Umatnya, Ini Perbedaan-Persamaan dengan Nabi Luth

Tapi jika ditanyakan hakekat "dimensi" itu apa? bisakah kita mengubah dimensi materi menjadi immateri? Caranya bagaimana? Pakai teknik apa?

Mereka pasti menjawab "itu soal waktu dan ke depan pasti bisa". Satu sisi, kita mesti menghargai kesungguhan menggapai teknologi tercanggih. Memang tidak ada yang mustahil bagi Tuhan, tapi bagi manusia, mustahil itu benar-benar ada dan sudah diisyaratkan, termasuk indikator dan batasannya.

Sisi lain dari isyarat kata "subhan" adalah, bahwa Tuhan jauh-jauh sudah memberi peringatan, bahwa dalam menyikapai peristiwa al-isra' ini harusnya manusia memakai dasar keimanan lebih utama, bukan dasar akal sebagai pembacaan. Dasar keimanan akan menumbuhkan tambah kuatnya keimanan, sedangkan pembacaan berdasar akal bisa berakibat mereduksi keimanan, sementara temuan akaliah belum tentu didapat.

Baca Juga: Fikih Kentut: Ulah Syetan Meniup Dubur agar Kita Ragu Wudlu Batal apa Tidak

Dasar akaliah selain merangsang berteknologi canggih meski dalam tanda kutip tidak akan didapat secara totalitas, juga bisa merangsang timbulnya ketakabburan diri dan perendahan terhadap kemuliaan mukjizat. Peristiwa al-isra' tidak lagi diimani sebagai mukjizat yang luar biasa, karena dianggap sebagai peristiwa teknologi biasa, padahal nyata-nyata bukan teknologi biasa, melainkan luar biasa. Allah a'lam.     

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Berita Terkait

BANGSAONLINE VIDEO