Tafsir Al-Isra 7: Pelecehan Seksual Terhadap Pasien, Siapa Terpuji?

Tafsir Al-Isra 7: Pelecehan Seksual Terhadap Pasien, Siapa Terpuji? Ilustrasi

Oleh: Dr. KH A Musta'in Syafi'ie M.Ag. . .   

In ahsantum ahsantum li-anfusikum wa-in asa'tum falahaa fa-idzaa jaa-a wa’du al-aakhirati liyasuu-uu wujuuhakum waliyadkhuluu almasjida kamaa dakhaluuhu awwala marratin waliyutabbiruu maa ‘alaw tatbiiraan (7).

Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Panduan dari Nabi Daud dan Nabi Sulaiman untuk Memutus Kasus Perdata

"In ahsantum ahsantum li-anfusikum". You berbuat baik, you menikmati kebaikan itu. Kasus seorang perawat, asisten dokter yang melecehkan seorang pasien wanita di sebuah rumah sakit Surabaya, lalu viral dan ditangani yang berwajib itu bagus sebagai tindakan memberantas perbuatan usil dan ketidaksenonohan. 

Di televisi, nampak si perawat benar-benar menyesali bahkan "menyembah-nyembah" meminta maaf kepada korban dan keluarga korban, menangis dan mengulurkan tangan kepada pasien wanita yang dilecehkan. Tidak hanya menyesali, dia juga memberi pernyataan atas kesalahannya yang tidak pantas ditiru. Namun, rupanya si pasien tetap tinggi hati, menuding-nuding dengan ungkapan merendahkan dan menuntut hukuman. Tafsir Aktual berkomentar, antara lain:

Pertama, kekecewaan pasien sungguh manusiawi dan wajar. Begitu pula kemarahan dan tuntutannya agar sang peleceh dihukum sesuai aturan. Itu juga benar, meski belum tentu terpuji. Tapi jika dia memaaf atas dasar kemanusiaan, apalagi atas dasar keimanan, maka sungguh terpuji, pribadi mulia, sekaligus ibadah berpahala.

Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Cara Hakim Ambil Keputusan Bijak, Berkaca Saja pada Nabi Daud dan Sulaiman

Memaaf memang mudah dan tidak butuh modal apa-apa, tapi pahalanya luar biasa. Memaaf adalah sifat Tuhan Allah SWT yang sangat mulia, tetapi tidak semua manusia dianugerahi sifat memaaf tersebut. Memaaf sungguh terkait dengan ketulusan hati dan keimanan. Makanya, Iblis dan kroninya selalu mendukung dengan kekuatan penuh agar manusia terus marah dan dendam.

Iblis mengerti, dengan kemarahan memuncak, manusia akan kehilangan kontrol dan akal sehatnya, sehingga mudah dipermainkan dan dijerumuskan. Menuruti nafsu dan melampiaskan kemarahan sungguh-sungguh enak sesaat, bangga dan lega, tapi tidak mendapat kebaikan apa-apa. Itulah yang dimaui oleh iblis dan kroni. Karena itu, nabi Muhammad SAW menasehati, "jangan marah..".

Tidak sama ketika seorang mampu mengendalikan emosinya, lalu mampu memilah-milah mana perbuatan yang harus marah dan mana yang mesti memaaf tanpa kehilangan martabat. Rasanya, memaaf lebih "harus" dilakukan oleh pihak pasien, hal itu atas pertimbangan:

Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Memetik Hikmah dari Kepemimpinan Nabi Daud dan Nabi Sulaiman

Pertama, pelecehan tersebut murni masalah kemaksiatan pribadi yang terhenti kepada dialog kedua belah pihak. Tidak ada yang dirugikan secara makro dan bersifat materiel. Kedua, si asisten dokter telah meminta maaf dan menyesali diri. Andai si pasien memaaf, maka dia akan mendapat kebaikan dari berbagai arah, antara lain:

Pertama, dari Allah SWT. Dia akan diampuni dosanya, seperti dia mengampuni kesalahan orang lain. Dia akan dirahmati, karena dia merahmati sesama. Dia akan dilonggarkan oleh Allah, dihilangkan rasa cemasnya karena dia telah melonggarkan orang lain. Justru, siapa yang lebih dahulu menjulurkan tangan -sebagai upaya meminta maaf- maka dialah yang lebih duluan masuk surga. "..fa al-asbaq asbaquhuma ila al-jannah".

Kedua, dari pihak pasien (korban) dan keluarga. Mereka menghormati kemuliaan hati sang pemaaf. Tidak hanya itu, sangat mungkin terjadi jalinan kekeluargaan yang agung antara kedua keluarga dan tali persaudaraan yang menguat. Tidak mustahil, di kemudian hari pihak peleceh atau keluarga yang dimaafkan tersebut sangat dibutuhkan atau menjadi penolong bagi keluarga pasien yang memaafkan tadi. Kita tidak mengerti apa yang akan terjadi, yang menimpa kita di kemudian hari.

Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Keputusan Bijak untuk Sengketa Peternak Kambing Vs Petani

Beda ketika si pasien terus tinggi hati dan merasa di atas angin, lalu enggan turun menuju area pemaafan. Hal itu adalah kekecewaan tersendiri bagi si perawat atau si asisten dokter, sekaligus catatan. Di sini, pihak pasien kehilangan peluang rahmat yang mungkin terkucur lewat pintu itu, padahal -mungkin- sangat dibutuhkan.

Ketiga, mendapat kebaikan dari publik karena telah menunjukkan akhlaq mulia yang patut dicontoh. Memaaf tidak berarti lemah, tidak pula berarti membiarkan kejahatan berjalan tanpa teguran. Sebab sudah ada aturan dan etika tersendiri yang mesti dijalankan. Soal siapa yang terpuji?

Orang yang baik bukanlah orang yang sudah berperilaku baik, tetapi orang yang selalu berusaha memperbaiki perilakunya. Orang baik selalu merasa kurang baik, sedangkan orang kurang baik selalu merasa sudah baik. Memperbaiki orang yang merasa tidak baik lebih mudah ketimbang memperbaiki orang yang sudah merasa baik. (*)

Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Dua Nabi, Bapak dan Anak

Sumber: Dr. KH A Musta'in Syafi'ie M.Ag

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Berita Terkait

BANGSAONLINE VIDEO