Tafsir Al-Isra' 31: Kemiskinan Berpotensi Membunuh Anak

Tafsir Al-Isra Ilustrasi.

Oleh: Dr. KH A Musta'in Syafi'ie M.Ag

31. Walaa taqtuluu awlaadakum khasyyata imlaaqin nahnu narzuquhum wa-iyyaakum inna qatlahum kaana khith-an kabiiraan.

Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Panduan dari Nabi Daud dan Nabi Sulaiman untuk Memutus Kasus Perdata

Dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut miskin. Kamilah yang memberi rezeki kepada mereka dan kepadamu. Membunuh mereka itu sungguh suatu dosa yang besar.

TAFSIR AKTUAL:

Ayat senada sudah pernah kita kaji sebelumnya, yaitu pada al-An’am: 151. Sama-sama membahas larangan membunuh anak (Walaa taqtuluu awlaadakum), hanya saja redaksinya mirip tapi tak sama. Dari beda redaksi itu pasti ada efek makna yang signifikan.

Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Cara Hakim Ambil Keputusan Bijak, Berkaca Saja pada Nabi Daud dan Sulaiman

Pada ayat kaji ini digunakan kata “khasyyata imlaaq” yang disambung dengan kalimat “nahnu narzuquhum wa-iyyaakum”, sedangkan pada al-An’am digunakan kata “min imlaq” yang disambung dengan kata “nahnu narzuqukum wa-iyyahum”.

Dalam studi tafsir, ayat-ayat yang redaksinya bermiripan, serupa tapi tidak sama ini disebut al-mukhtalifat. Terhadap penggantian kata “min” (al-An’am) menjadi “khasyyah” (al-Isra’) disebut al-mukhtalifat fi al-tabdil. Sedangkan posisi dlamir hum (ghaib) dan kum (khitab) yang dibolak-balik disebut al-mukhtalifat fi al-taqdim wa al-ta’khir. Kenapa demikian?.

Hal itu terkait dengan kondisi yang melatar belakangi pesan ayat, di samping sya’n al-nuzul memotret psikologi mukhatab yang tidak sama. Jelasnya, ikuti paparan berikut:

Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Memetik Hikmah dari Kepemimpinan Nabi Daud dan Nabi Sulaiman

Bahwa tradisi jahiliah dulu menyukai anak laki-laki dan tidak segan-segan mengubur hidup-hidup anak perempuan. Alasan tertinggi karena anak perempuan, selain menambah beban ekonomi, juga tidak menguntungkan keluarga dalam berbagai hal. Untuk itu, dibunuh sejak kecil.

Pertama, ada keluarga yang ekonominya memang sudah kurang mampu, lalu akan lahir anak. Menurut itung-itungan mereka, sudah pasti makin menambah sengsara. Al-Qur’an melarang dengan redaksi MIN imlaq. Di mana kemiskinan sudah ada sejak sebelum bayi baru dilahirkan. Lalu menjamin kucuran rezeki tambahan bagi anak yang akan lahir nanti (HUM).

KUM, keluarga yang ada (narzuquKUM) didahulukan karena ini yang dikhawatirkan, baru menyebut HUM, anak yang akan lahir (wa iyyaHUM). Artinya, rejeki kalian tetap seperti biasa dan tidak akan berkurang dan rezeki anak yang akan lahir ada tersendiri.

Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Keputusan Bijak untuk Sengketa Peternak Kambing Vs Petani

Kedua, potret keluarga yang berkecukupan. Jika lahir anak baru, maka dikhawatirkan rezeki berkurang dan bisa-bisa jatuh miskin (khasy-yah). Maka dibunuh saja sebelum lahir atau saat masih bayi. Al-Qur’an melarang dan menjamin rezeki anak tersebut ada tersendiri, makanya didahulukan (narzuquHUM). Sementara rezeki keluarga yang sudah ada tetap dan tidak akan berkurang, (wa iyyaKUM). Itulah gaya bahasa ayat kaji ini, al-Isra’: 31.

Program Keluarga Berencana (KB) di negeri ini cukup beralasan demi mengatur pertumbuhan penduduk lebih ideal dan disesuaikan dengan kondisi terkait, utamanya sektor ekonomi. Mengatur jarak kelahiran tidak sama dengan pembunuhan anak seperti yang diungkap ayat studi ini. Mengatur kelahiran anak atas dasar maslahah, tapi kalau pembunuhan adalah tindak kriminal. Persoalan kini menyorot soal menggugurkan kandungan, bolehkah?

Dalam keadaan normal, tidak ada hal buruk yang diyakini akan menimpa anak atau ibu jika si bayi dibiarkan, maka ada dua pendapat. Pertama, tidak boleh secara mutlak. Pokoknya sudah positif hamil, sudah pasti sebagai bakal anak manusia, maka tidak boleh digugurkan. Bakal manusia dihukumi sebagai manusia. Begitu pandangan al-Imam al-Ghazaly yang direkomended juga oleh Badan Kesehatan Dunia (WHO).

Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Dua Nabi, Bapak dan Anak

Sementara sebagian ulama’ fiqih seperti al-Rafi’iy, tokoh ashab al-Syafi’iy memilah: Jika usia kehamilan kurang dari empat bulan, maka boleh digugurkan. Hal itu karena bentuk fisis janin belum sempurna dan belum pula ditiupkan ruh kepadanya, sehingga belum bisa disebut makhluk hidup. Seperti telor yang sudah punya bagan-bagan menuju anak ayam. Tapi belum bisa disebut ayam.

Tapi jika usia kehamilan sudah empat bulan ke atas, maka tidak boleh digugurkan. Hal itu karena janin sudah diberi ruh sehingga cukup memenuhi syarat disebut sebagai makhluk hidup, sebagai anak manusia. Ibarat telor yang sudah berubah menjadi instrumen anak ayam, tinggal menunggu waktu penyempurnaan.

Lain lagi jika ada keterangan dari dokter ahli, bahwa janin di dalam rahim berisiko tinggi jika dibiarkan hidup. Bisa lahir dengan kondisi sangat buruk, baik fisis maupun psikis, atau mengancam nyawa ibunya, maka tindakan dokter ahli menggugurkan janin dibenarkan, demi maslahah. Allah a’lam.

Baca Juga: Usia Nabi Nuh 1.000 Tahun, Tapi "Gagal" Dakwahi Umatnya, Ini Perbedaan-Persamaan dengan Nabi Luth

“inna qatlahum kaana khith-an kabiiraa”. Lepas dari sinyalemen di atas, menggugurkan kandungan adalah termasuk tindakan yang dilarang berdasar isyarat ayat ini. Untuk itu, membuat alasan pembenaran harus kuat dan dengan perhitungan yang sangat matang, dilakukan oleh ahli. Tidak cukup itu, pelaku pengguguran dan seluruh pihak terkait harap beristighfar sebagai persembahan etika di hadapan Tuhan yang maha mencipta.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Berita Terkait

BANGSAONLINE VIDEO