Tafsir Al-Isra' 34: Harta Anak Yatim, Harta Paling Haram

Tafsir Al-Isra ILUSTRASI: Anak Yatim.

Oleh: Dr. KH A Musta'in Syafi'ie M.Ag

34. Walaa taqrabuu maala alyatiimi illaa biallatii hiya ahsanu hattaa yablugha asyuddahu wa-awfuu bial’ahdi inna al’ahda kaana mas-uulaan

Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Panduan dari Nabi Daud dan Nabi Sulaiman untuk Memutus Kasus Perdata

Dan janganlah kamu mendekati harta anak yatim, kecuali dengan cara yang lebih baik (bermanfaat) sampai dia dewasa, dan penuhilah janji, karena janji itu pasti diminta pertanggungjawabannya.

TAFSIR AKTUAL:

Berdekatan antara ayat larangan berzina dengan larangan memakan harta anak yatim, cuma diselingi satu ayat. Keduanya sama-sama diantar dengan kalimat “walaa taqrabu ...”. Jangan dekat-dekat. Artinya, dua hal tersebut masuk kategori perbuatan sangat berbahaya. Uraian kemarin diibaratkan api, mendekat panas, masuk terbakar dan hangus.

Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Cara Hakim Ambil Keputusan Bijak, Berkaca Saja pada Nabi Daud dan Sulaiman

Begitu serius Tuhan menjaga harta anak yatim, dilindungi, dan orang lain diancam-ancam. Kalau sampai ada yang menjahati, pastilah neraka balasannya. Jika api neraka itu diturunkan sekarang dalam arti esensinya saja, maka harta anak yatim itu bagai api yang siap membakar siapa saja yang menjahati.

Artinya, sama-sama berdosa antara korupsi dan merampas harta anak yatim, tapi terhadap harta anak yatim lebih berat, tidak hanya di akhirat nanti, bahkan di dunia biasanya kontan kualat. Tuhan mengutuk dengan azab yang tak tertebak sebelumnya. Pokoknya ada saja, entah kecelakaan, sakit berkepanjangan, susah mendapat rezeki, perlahan jatuh miskin di akhir hayat, makin jauh dari ibadah dan ini yang paling parah.

Megapa sebegitu serius Tuhan melindungi harta anak yatim?

Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Memetik Hikmah dari Kepemimpinan Nabi Daud dan Nabi Sulaiman

Ya, karena Tuhan sendiri yang membuat si anak tersebut menjadi yatim. Tuhan langsung menghandel anak yatim dengan cara-Nya sendiri. Seolah mengatakan, “awas, anak yatim itu anak asuh-KU, dalam tanggung-jawabKU, jangan diganggu. Siapa berani mengganggu, maka akan berhadapan dengan-KU.”

Harta anak yatim itu kayak benda keramat. Jika dijahati, maka akan menyebabkan kualat dan celaka. Tapi kalau dirawat baik-baik, apalagi si yatim disantuni dan dimuliakan hidupnya, maka di surga nanti akan berdampingan dengan nabi Muhammad SAW. Sedangkan di dunia makin tambah kebaikan, termasuk berkah hartanya.

Ibu Halimah al-Sa’diyah yang miskin, lalu menawarkan jasa susuan kepada orang-orang kaya kota Makkah dengan kompensasi upah lumayan seperti tradisi bangsa arab, dengan ikhas menerima menyusui bayi yatim, Muhammad ibn Abdillah tanpa imbalan wajar. Jadinya, berkah tak terhingga. Rezekinya banyak tak disangka. Kambing peliharaannya yang kurus-kurus menjadi rakus makan dan sehat. Air susunya melimpah dan melahirkan anak lebih banyak dari kebiasaan.

Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Keputusan Bijak untuk Sengketa Peternak Kambing Vs Petani

“Inna al’ahda kaana mas-uulaa”, janji itu dipertanggungjawabkan. Arah pesan penutup ayat ini adalah:

Pertama, sesuai konteks ayat, maka khusus urusan anak yatim. Jadi, pengurus yayasan atau rumah yatim piatu sungguh mulia, jika ikhlas dan nawaitunya ibadah lillahi ta’ala. Tapi kalau ada bau memanfaatkan anak-anak yatim lebih untuk kepentingan pribadi, maka beda lagi.

Menurut laporan, banyak yayasan anak yatim yang nakal, sehingga pemerintah perlu menertibkan. Makin berat lagi, ketika nanti harus mempertanggung-jawabkan di pengadilan Tuhan.

Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Dua Nabi, Bapak dan Anak

Kedua, secara umum, maka bisa segala kesepakatan kita, klausul yang sudah kita setujui sebagai taggungjawab kita. Seperti jabatan, kesempatan kerja, janji saat kampanye, amanah mengajar, antara suami dan istri dan apa saja yang sudah kita ikrarkan dan mengikat diri kita sendiri, seperti nadzar. Nadzar wajib ditunaikan.

Begitu halnya keimanan kepada Allah SWT. Beriman dan beribadah hanya kepada-Nya adalah perjanjian kita dengan Tuhan paling asasi, yaitu saat kita masih berada di alam ruh dulu. Masing-masing kita berikrar mengakui eksistensi Allah SWT sebagai Tuhan satu-satunya (al-A’raf: ). Kita pasti diminta pertanggungjawaban tentang ini. Mereka yang menyembah selain Allah SWT pasti menyesal berat dan itu tidak berguna.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Berita Terkait

BANGSAONLINE VIDEO