Tafsir Al-Isra' 66-67: Laut dan Keimanan

Tafsir Al-Isra Ilustrasi

Oleh: Dr. KH. A Musta'in Syafi'ie M.Ag*

66. Rabbukumu alladzii yuzjii lakumu alfulka fii albahri litabtaghuu min fadhlihi innahu kaana bikum rahiimaan.

Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Panduan dari Nabi Daud dan Nabi Sulaiman untuk Memutus Kasus Perdata

Tuhanmulah yang melayarkan kapal-kapal di lautan untukmu, agar kamu mencari karunia-Nya. Sungguh, Dia Maha Penyayang terhadapmu.

67. wa-idzaa massakumu aldhdhurru fii albahri dhalla man tad’uuna illaa iyyaahu falammaa najjaakum ilaa albarri a’radhtum wakaana al-insaanu kafuuraan

Dan apabila kamu ditimpa bahaya di lautan, niscaya hilang semua yang (bi-asa) kamu seru, kecuali Dia. Tetapi ketika Dia menyelamatkan kamu ke daratan, kamu berpaling (dari-Nya). Dan manusia memang selalu ingkar (tidak bersyukur).

Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Cara Hakim Ambil Keputusan Bijak, Berkaca Saja pada Nabi Daud dan Sulaiman


TAFSIR AKTUAL:

Di mana saja kita berada, syetan pasti serius menggoda. Ayat sebelumnya tentang perlindungan Tuhan kepada anak manusia, sehingga tidak mudah terjerat oleh bujuk-rayu syetan, kecuali mereka yang sengaja membrengsekkan diri. Lalu keasyikan dalam pelukan syetan.

Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Memetik Hikmah dari Kepemimpinan Nabi Daud dan Nabi Sulaiman

Kini, Tuhan mengangkat keadaan laut, di mana kapal-kapal dan perahu melaju berlayar atas izin-Nya, asyik dan nyaman. Di sinilah tanda kebesaran dan rahmat Allah terlihat. Dalam keadaan krisis, di mana angin kencang menerpa, gelombang tinggi mengganas, maka mereka ketakutan dan meminta perolongan Tuhan.

Anehnya, setelah mereka selamat dan menginjakkan kaki di daratan, maka mereka meyakini bahwa yang menyelamatkan itu adalah berhala mereka, bukan Allah SWT. Begitulah perbuatan para nelayan kafir waktu itu. Ayat ini adalah nasehat yang dideskripsikan lewat kasus atau gambaran nyata, bahwa begitulah manusia, susah sekali mensyukuri nikmat Tuhan, tapi mudah sekali berbuat kufur dan ingkar.

Diungkap soal transportasi laut karena masyarakat arab waktu itu sudah mengenal laut dan sudah memanfaatkan kapal layar sebagai alat transportasi untuk perdagangan, menangkap ikan, mencari mutiara, plesiran, perang, dan lain-lain. Walau Nabi Muhammad SAW sendiri belum pernah melihat laut, tapi pengetahuan soal laut sangat mengagumkan. Ya, karena Tuhan yang membisiki.

Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Keputusan Bijak untuk Sengketa Peternak Kambing Vs Petani

Dalam keadaan nyaman dan serba aman, berlayar secara normal, cuaca dan hembus angin sesuai harapan, maka mereka memandangnya biasa. Alamnya yang dipuji sebagai baik dan bersahabat, sementara Tuhannya yang dikesampingkan. Begini ini perbuatan "kufur" atas nikmat Tuhan, meski tetap mengimani Tuhan.

Tapi jika keadaan crowded dan gawat, barulah Tuhan disapa dan dirayu-rayu. Ini namanya keimanan "tambal butuh". Seperti orang yang sehat dan enggan beribadah. Saat sakit, Tuhan didekati. Untuk koreksi keimanan, coba rasakan, bagaimana jika Anda sendiri yang dijadikan tambal butuh...?

Sewajarnya jika Tuhan tersinggung, lalu menenggelamkan mereka. Tapi sifat rahmat-Nya maha agung melampaui amarah-Nya, sehingga sedikit sekali dari populasi kapal berlayar yang ditenggelamkan. Umumnya selamat dengan berbagai cara. Mestinya, keimanan para pemanfaat laut sangat tinggi, jika mereka mau mengambil pelajaran dari serba-serbi laut.

Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Dua Nabi, Bapak dan Anak

*Dr. KH. A Musta'in Syafi'ie M.Ag adalah Mufassir dan Pengasuh Pondok Pesantren Madrasatul Qur’an (MQ), Tebuireng, Jombang.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Berita Terkait

BANGSAONLINE VIDEO