​Cucu Hadratussyaikh Ini Minta Pemerintah Waspadai Radikal Kiri dalam Kasus Kamus Sejarah Indonesia

​Cucu Hadratussyaikh Ini Minta Pemerintah Waspadai Radikal Kiri dalam Kasus Kamus Sejarah Indonesia Gus Irfan Yusuf. foto: ist

JOMBANG, BANGSAONLINE.com – Penghilangan ulama besar yang sekaligus tokoh pelaku sejarah kemerdekaan Republik Indonesia, Hadratussyaikh KHM Hasyim Asy’ari, dalam Kamus Sejarah Indonesia, terus mendapat sorotan berbagai pihak.

Kali ini KHM Irfan Yusuf - akrab dipanggil Gus Irfan - cucu Hadratussyaikh KHM Hasyim Asy'ari angkat bicara. Gus Irfan mengaku akan melakukan tabayyun pada pihak Kemendikbud terkait kisruh Kamus Sejarah Indonesia tersebut. Hanya saja Gus Irfan minta pemerintah mewaspadai masuknya ASN atau pejabat publik dalam pemerintahan.

Baca Juga: Ba'alawi dan Habib Luthfi Jangan Dijadikan Pengurus NU, Ini Alasan Prof Kiai Imam Ghazali

"Kami akan dahulukan tabayun dengan pihak Kemendikbud. Namun, pemerintah harus waspada atas masuknya ASN atau pejabat publik yang berpaham di tubuh pemerintahan," kata Gus Irfan kepada BANGSAONLINE.com, Kamis (22/4/2021).

Gus Irfan mengatakan kasus Kamus Sejarah Indonesia yang meniadakan sejumlah tokoh penting pergerakan kemerdekaan Indonesia harus dilihat secara serius karena bukan lagi perkara teknis.

"Mencuatnya buku Kamus Sejarah Indonesia dengan berbagai kontroversi di dalamnya bebarengan dengan terbitnya PP No 57 Tahun 2021 tentang Standard Nasional Pendidikan (SNP) yang meniadakan pendidikan Pancasila dalam pendidikan nasional. Ini masalah substansial, bukan lagi urusan teknis," ujar Gus Irfan.

Baca Juga: Mahfud MD Respons Podcast BANGSAONLINE, Kakek Habib Luthfi Bukan Pendiri NU

Putra KH Yusuf Hasyim ini menuturkan dua masalah yang belakangan mencuat itu harus dilihat secara komprehensif atas potensi masuknya ASN atau pejabat publik yang berpaham dalam tubuh pemerintahan. 

"Selama ini pemerintah fokus pada ASN atau pejabat publik yang berpaham radikal kanan. Melihat dua kasus tersebut, kami mendorong pemerintah juga fokus kepada ASN atau pejabat publik yang berpaham yang masuk di pemerintahan," tegas Gus Irfan.

Menurut dia, paham radikal kanan dan paham sama-sama membahayakan keutuhan NKRI. Sejarah perjalanan bangsa Indonesia, sambung Gus Irfan, telah membuktikan tentang bahayanya dua paham ekstrem tersebut. "NKRI dibangun dengan landasan sikap moderat (tawasuth), tidak ke kanan juga tidak ke kiri. Radikal kanan dan kiri sama-sama kontra NKRI," tegas Gus Irfan.

Baca Juga: Ziarah ke Makam Pendiri NU, Khofifah: Gus Dur dan Gus Sholah itu Guru Saya, Beliau Sosok Istimewa

Karena itu Gus Irfan mendorong Kementerian PAN RB melakukan pengawasan terhadap ASN atau pejabat publik yang diindikasikan berpaham radikal kiri dengan berpegang pada SKB 11 Menteri/Kepala Lembaga tentang Penanganan Radikalisme dalam Rangka Penguatan Wawasan Kebangsaan Pada Aparatur Sipil Negara (ASN) yang diteken pada November Tahun 2019.

"Instrumen hukumnya sudah ada yakni SKB 11 Menteri/Kepala Lembaga, Kementerian PAN RB harus telusuri juga ASN/Pejabat publik yang berpaham . Kasus Buku Kamus Bahasa Indonesia dan PP No 57 Tahun 2021 menjadi indikator awal untuk menelurusi lebih lanjut. Inspektorat Jenderal Kemdikbud dapat segera melakukan audit di internal siapa yang melakukan kesalahan ini," kata Gus Irfan.

Menurut dia, pemerintah harus melakukan tindakan nyata atas masalah yang muncul belakangan ini. Penghilangan mata kuliah Pancasila sebagaimana dalam Pasal 40 ayat (3) PP No 57 Tahun 2021 dalam kurikulum wajib di perguruan tinggi harus diihat lebih mendalam tidak sekadar kesalahan teknis. Begitu juga penghilangan nama KH Hasyim Asy'ari dalam buku Kamus Sejarah Indonesia. 

Baca Juga: Profil Mochammad Afifuddin yang Ditunjuk Jadi Plt Ketua KPU Gantikan Hasyim Asyari

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Berita Terkait

BANGSAONLINE VIDEO