​Pilwali Surabaya, Kandidat Poros Tengah Bisa Kalahkan Hegemoni PDIP-Birokrat

​Pilwali Surabaya, Kandidat Poros Tengah Bisa Kalahkan Hegemoni PDIP-Birokrat Sila Basuki, S.H., M.B.A.

Oleh: Sila Basuki, S.H., M.B.A.

Tren kemenangan seorang calon independen dalam pilkada Kota Surabaya akan sangat mungkin terjadi, mengingat di beberapa kota lain juga bisa terjadi.

Berkat Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008, tentang perubahan kedua terhadap Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Perubahan berdasarkan keputusan Mahkamah Konstitusi pada 23 Juli 2007, yang menerima gugatan Lalu Langgalawe, anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat. Sejak itu calon independen diakomodasi dalam ajang pemilihan bupati, wali kota, sampai gubernur.

Kemenangan ini setidaknya dapat memberikan harapan bahwa calon independen yang mempunyai kualitas pemimpin, integritas tinggi dan didukung oleh publik, adalah suatu fenomena baru yang bisa keluar sebagai pemenang pilkada, sekaligus dapat mengubah peta dan struktur politik.

Jelasnya tanpa dukungan partai politik pun seseorang bisa menjadi kepala daerah. Selanjutnya kemenangan seorang calon independen di pilkada, sekurangnya dapat menjawab nyaris putus asanya masyarakat, karena dipaksa untuk menerima kenyataan, bahwa selama ini hanya calon dari jalur politik yang bisa memenangi pilkada.

Kalau ini terjadi, kita bisa membuat sejarah baru dan peta politik baru, sehingga putra-putri terbaik di kota atau kabupaten bisa menjadi kepala daerah tanpa harus tergantung pada partai politik; dan bisa melakukan pendanaan kampanye dalam jumlah yang masuk akal serta dengan cara-cara yang bersih; sehingga akan sangggup memimpin dengan kepala tegak, penuh percaya diri, dan terhormat.

Sebagai bukti fenomena tersebut, Komisi Pemilihan Umum (KPU) Pusat, saat merilis jumlah pasangan calon kepala daerah di Pilkada 2018. Menurut data KPU saat itu, ada 514 pasangan calon yang ditetapkan sebagai peserta Pilkada, 69 di antaranya calon independen.

Berdasarkan rembesan informasi, publishing dan "curi" dengar sana-sini, kemudian diolah dalam analisis, sudah hampir bisa dipastikan, bahwa polarisasi SUARA / KEKUATAN BURGAINING para "balon" kontestan PILWALI SURABAYA mengerucut membentuk TIGA SUDUT kekuatan. Boleh saya katakan, bahwa siapa pun kandidat WALIKOTA (walkot) Surabaya, tidak bisa tidak musti mengkalkulasi KEKUATAN BURGAINING nya dengan apa yang saya sebut *KEKUATAN SEGITIGA* atau *TRIANGLE of POWER*.

Apa itu *TRIANGLE of POWER* (?). Kita semua tahu, bahwa latar belakang pemikiran setiap balon pilwali tentu berbeda-beda. Ada yang berangkat dengan haqul yaqin karena didukung *partai kuat* (besar), ada yang maju pilwali karena niscaya menerima amanah *birokrasi* meneruskan "estafet" wali kota sebelumnya, ada yang nekat ikut pilwali dengan semangat *multi colour* (beragam) latar belakang, antara lain: *independen*, didukung *partai kecil*, *akademisi atau profesi*, *tokoh masyarakat, agamawan, artis, atau pengusaha*, dan lain-lain.

Bila kita kembali ke konteks judul di atas, maka selain kandidat jalur independen, sesungguhnya kandidat dari tokoh masyarakat yang betul-betul menonjol dan merebut simpati warga, juga punya peluang menjadi pemenang dalam kontestasi pilkada.

Di Surabaya, meski dua sudut utama, yakni partai PDIP dan Birokrat adalah hegemoni yang begitu kuat, namun tetap saja masih dimungkinkan - bahkan bisa niscaya - kandidat NON-PDIP dan NON-BIROKRAT dapat memenangkan kursi pasangan wali - wawali Surabaya ; asal pasangan ini mampu membranding dirinya dan tim suksesnya menjadi POROS TENGAH yang MENGHADANG sekaligus mem PORAK PORANDA kan pasangan hegemonis PDIP dan BIROKRAT. Anda bisa ?! ...

Mari kita tengok kekuatan partai. Berdasar hasil perolehan kursi partai - di DPRD SURABAYA - saat Pemilu 2019 :

1. PDIP (15)

2. Gerindra (5)

3. PKB (5)

4. Golkar (5)

5. PKS (5)

6. PSI (4)

7. Demokrat (4)

8. Nasdem (3)

9. PAN (3)

5. PPP (1)

Menurut UU Pilkada, syarat mengusung calon sendiri, adalah jika suatu parpol memperoleh 20 persen kursi di DPRD, sementara kursi di DPRD Surabaya jumlahnya 50. Artinya, PDIP bisa melenggang sendiri untuk mengusung balon (bakal calon, kandidat) wali-wawalinya. Kalau harus koalisi, maka pasti PDIP lebih cenderung berpasangan dengan kandidat dari BIROKRAT pilihan Wali Kota, Tri Rismaharini. Mengapa? Sudah jadi rahasia umum, hampir pasti, bahwa balon pilihan Risma adalah hasil burgaining power nya dengan DPP PDIP di Jakarta. Lalu bagaimana dengan partai lain NON-PDiP ? ..

Ya. Memang partai lain NON-PDIP, tidak bisa mengusung calonnya sendiri, karena perolehan kursinya di DPRD Surabaya, paling tinggi hanya 5 kursi (Gerindra, PKB, Golkar, PKS). Tak ada jalan lain. Mereka harus berkoalisi dengan partai lain, sehingga memenuhi 20% dari jumlah kursi DPRD (50 kursi), untuk bisa mengusung calon wali-wawali gabungan.

Nah, baik balon (kandidat) jalur independen maupun kader partai atau tokoh masyarakat yang diusung oleh partai NON-PDIP, saya tegaskan masih sangat mungkin bisa MENDOBRAK DUET PDIP-BIROKRAT dan menang dalam kontestasi pilkada Surabaya ; asal personil pasangan tersebut memenuhi syarat dan kriteria yang "pilih tanding" (tak tertandingi). Pasangan yang manakah itu ?

Mereka harus pasangan yang betul-betul punya Daya PESONA dan DAYA TAWAR yang tinggi, SINERGIS dan HARMONIS dalam dikotomi positif, antara lain gabungan pasangan: millenial-gaek (junior-senior), muslim-nonmuslim, WNI asli-keturunan, laki-perempuan, akademisi-praktisi, mantan TNI/POLRI-sipil, pengusaha-agamawan, jawa-nonjawa. Tentu sangat ideal jika gabungan dari semua dikotomi itu.

Lebih daripada semua itu, seorang kandidat wali kota Surabaya sudah sepatutnya mempunyai syarat : punya kompetensi *science* dan *leadership* memadai, minimal S2 ; punya *knowledge* yang cukup, terutama pengetahuan tentang SUROBOYO, dan paling fundamental lagi adalah memiliki *attitude*, yakni sikap mental, perilaku, etika dan budaya PANCASILA : berke TUHAN an yang maha Esa, berperi ke MANUSIA an yang adil dan beradab, berdedikasi PERSATUAN demi Kedaulatan Indonesia, berkerakyatan (simpati dan empati kepada aspirasi rakyat) serta pandai ber MUSYAWARAH untuk MUFAKAT, terakhir bersikap perilaku ADiL bagi seluruh rakyat Indonesia.

Bila syarat dan kriteria ini tak punya? Saran saya, lebih baik mundur atau batal saja. Jujur, kami tak mau punya wali kota kaleng-kaleng.

Surabaya, 10/12/'19

Berita Terkait

BANGSAONLINE VIDEO