Tafsir Al-Nahl 90: Enggan Silaturrahim kepada Keluarga yang Miskin
Kamis, 28 Juli 2016 02:10 WIB
Oleh: Dr. KHA Musta'in Syafi'ie MAg. . .
BANGSAONLINE.com - "Inna allaaha ya'muru bial’adli waal-ihsaani wa-iitaa-i dzii alqurbaa wayanhaa ‘ani alfahsyaa-i waalmunkari waalbaghyi ya’izhukum la’allakum tadzakkaruuna".
BACA JUGA:
Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Panduan dari Nabi Daud dan Nabi Sulaiman untuk Memutus Kasus Perdata
Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Cara Hakim Ambil Keputusan Bijak, Berkaca Saja pada Nabi Daud dan Sulaiman
Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Memetik Hikmah dari Kepemimpinan Nabi Daud dan Nabi Sulaiman
Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Keputusan Bijak untuk Sengketa Peternak Kambing Vs Petani
"Wa 'ita dzi al-qurba". Sudah dijelaskan, bahwa ada tiga perintah pada ayat studi ini (90), yaitu : berbuat adil, ihsan dan menyantuni keluarga dekat. Kata ihsan yang konotasinya sebagai amal sosial sangat mendukung orientasi makna "ita dzil qurba", sehingga berfokus pada pemberian bantuan secara materiel, tidak sekedar berbaik-baik laku dan tindak tanduk saja.
Orang yang menjadi budak itu terpental dari struktur keluarga, sehingga dalam beberapa hal lebih dekat kepada sayid atau majikannya daripada kepada keluarga sendiri. Seperti layanan, dia lebih wajib melayani majikan ketimbang orang tuanya. Hal itu karena dirinya tidak memiliki dirinya. Dirinya bagai barang yang dimiliki orang. Barang tidak punya hak atas diri sendiri. Tapi budak juga orang, maka majikan tertinggi adalah Tuhan. Memang harus melayani majikan, asal tidak menyalahi Tuhan.
Itulah sebabnya, maka bagi al-Syafi'iy, "mukatabah" itu hukumnya wajib atas si sayid. Mukatabah adalah permohonan budak mengajukan upaya memerdekakan diri dengan cara membayar angsuran atau kredit hingga lunas. Umat islam wajib membantu proses ini seperti distribusi zakat diberikan kepadanya. Bagi al-Syafi'iy, dengan mukatabah dan berhasil merdeka, maka hubungan dengan keluarga nasabnya pulih kembali. Dengan demikian, mukatabah termasuk bagian dari perintah "ita dzil qurba".