Pesantren dan Lembaga Pendidikan Formal, Mencari Solusi Punishment | BANGSAONLINE.com - Berita Terkini - Cepat, Lugas dan Akurat

Pesantren dan Lembaga Pendidikan Formal, Mencari Solusi Punishment

Editor: Redaksi
Minggu, 08 Desember 2019 01:32 WIB

ILUSTRASI: Para santri sebuah pondok pesantren sedang beraktivitas.

Oleh: Fitri Hidayatun*

Pondok pesantren merupakan lembaga pendidikan nonformal tertua di Indonesia. Dilihat dari sejarah Indonesia, pondok pesantren memiliki pengalaman dan kontribusi nyata dalam membangun pendidikan karakter di masyarakat. Keunggulan pondok pesantren, selain memberikan pendidikan formal seperti lembaga pada umumnya, juga menanamkan nilai-nilai agama, serta mendidik santri agar lebih mandiri. Hal ini menjadi nilai plus bagi pesantren sebagai lembaga yang memberikan penguatan karakter terhadap peserta didik.

Pendidikan karakter merupakan suatu upaya yang dirancang dan dilaksanakan secara sistematis yang bertujuan untuk membantu peserta didik dalam memahami nilai-nilai perilaku manusia dalam praktik kehidupan di masyarakat. Dalam tataran konsep tersebut, pondok pesantren memiliki beragam kitab akhlak dan tasawuf dan berbagai kegiatan positif lainnya, seperti wajib sholat jama’ah, mengaji Alqur’an dan hadist, khitobiah, diba’, dan lain sebagainya.

Dalam ‘pengajaran’ moral feeling dan moral behaviour, pesantren memiliki sosok figur otoritas. Ia ialah kiai yang memiliki karakter mulia di sisi Tuhan dan manusia. Segala apa yang dierjakan akan ditiru seluruh murid (santri). Hampir seluruh santri di ponpes menyakini kiainya ialah sosok yang selalu berbuat baik sehingga patut ditiru. Dalam praktiknya, kiai di ponpes memiliki karakter yang mulia (mediaindonesia.com, 16/10/17).

Seperti pada pendidikan formal, pondok pesantren juga memiliki sistem penghargaan (reward) dan hukuman (punishment). Penghargaan diberikan kepada santri yang menaati peraturan, sedangkan hukuman diberikan kepada santri yang melanggar aturan. Pemberian hukuman merupakan salah satu bentuk tindakan pendisiplinan pengelola pondok kepada santri yang bertujuan untuk membuat efek jera kepada para santri yang melanggar aturan agar ia tidak melanggar aturan lagi.

Namun, pemberian punishment di sebagian pesantren dinilai kurang tepat. Misalnya, hukuman cambuk seperti yang diterapkan di Pondok Urwatul Qutso, Jombang. Kasus ini sempat heboh, karena sudah ada belasan santri yang pernah menjalani hukuman cambuk. Hukuman cambuk diberikan kepada santri yang melakukan pelanggaran berat, seperti minum minuman keras (miras) dan berzina. Hukuman cambuk diberlakukan berdasarkan syariat Islam. Apabila melakukan pelanggaran seperti contoh di atas, santri diberikan pilihan, dikeluarkan dari pondok atau bertobat. Jika yang dipilih bertobat, sesuai syariat Islam, hukuman bagi pezina atau peminum miras adalah dicambuk (sindonews.com 8/12/14).

Selain itu, juga terdapat beberapa kasus perpeloncoan yang dilakukan santri senior terhadap santri junior di sejumlah pesantren, seperti yang terjadi di salah satu pondok pesantren Mojokerto. Dalam kasus ini, seorang santri senior melakukan penganiayaan terhadap juniornya, karena kerap keluar pesantren tanpa izin. Penganiayaan seperti ini tentu tidak dibenarkan, meskipun tujuannya adalah melakukan pendisiplinan. Sesama santri seharusnya tidak mempunyai wewenang untuk memberikan sanksi atau hukuman bagi yang melanggar tata tertib pesantren (detik.com 25/07/19).

Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) No.82 Tahun 2015 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Tindak Kekerasan di Lingkungan Satuan Pendidikan, membahas tindak kekerasan yang dilakukan di sekolah, antar sekolah, dapat membantu setiap kriminal dan menimbulkan trauma bagi peserta didik.

Memang, hukuman merupakan cara yang efektif untuk mendisiplinkan para santri, namun tidak harus dilakukan dengan cara kekerasan. Pemberian hukuman terhadap santri yang melanggar harus dilakukan sesuai dengan prosedur yang telah ditetapkan dan sesuai dengan pelanggaran yang dilakukan oleh santri dengan syarat tidak melampaui batas. Hal ini dilakukan untuk menghindari terjadinya kekerasan terhadap santri dengan dalih mendidik disiplin para santri. Jika hukuman yang diberikan sudah melampaui batas seperti meninggalkan bekas pada tubuh santri, maka itulah yang dinamakan kekerasan terhadap santri.

Pada dasarnya Islam sendiri tidak membenarkan kekerasan fisik dalam pendidikan. Meskipun hukuman tersebut diberikan kepada santri yang melanggar peraturan dan santri menyetujuinya, namun dalam pelaksanaannya perlu ditinjau kembali. Dalam pelakasanaan hukuman ada beberapa hal yang perlu diperhatikan, seperti alasan mengapa santri melakukan pelanggaran, pemberian pengertian kepada santri mengenai hukuman, pelaksanaan hukuman tidak dalam keadaan emosi/marah, dan lain sebagainya1.

Kiai sebagai sosok figur otoritas di pondok yang mempunyai kewenangan penuh terhadap pesantren tidak serta merta melegalkan hukuman fisik terhadap kesalahan santri, akan tetapi hal yang perlu dilakukan adalah pendekatan untuk eksplorasi mengenai pikiran, perasaan, dan sikap santri. Dalam proses ini, santri dapat mengungkapkan semua alasannya mengapa ia melakukan pelanggaran tersebut dan kiai/ustadz sebagai pendengar. Setelah itu kiai/ustadz dapat mengevaluasi untuk menentukan tindakan yang tepat. Jika memang santri harus diberikan hukuman, maka hukuman yang diberikan adalah hukuman yang bersifat mendidik, namun tetap membuat santri menjadi jera. Pemberian hukuman sebaiknya harus obyektif, bukan subyektif (kompasiana.com 17/6/15)1.

Pemberian hukuman bagi santri yang melanggar tata tertib bias dilakukan dengan cara positif, seperti yang dilakukan salah satu pesantren di Yogyakarta. Pondok ini tidak memberikan hukuman fisik kepada santri yang melanggar, melainkan hukuman yang mendidik. Misalnya, menulis seperempat juz Alquran atau seperempat hadis kitab sesuai dengan kelasnya, jika santri telat mengikuti sholat jamaah. Kemudian membersihkan pondok, jika santri tidak mengikuti sholat jamaah, menulis kitab hadist jika santri berhubungan dengan lawan jenis melalui media maya, dan pemanggilan orang tua jika santri terbukti nyata berhubungan dengan lawan jenis dalam tindakan nyata, dan lain sebagainya.

Di pondok ini, sudah ada perjanjian antara orang tua dengan pihak pesantren, sebelum anak masuk pesantren. Yakni, orang tua menyanggupi segala peraturan yang ada di pondok pesantren dengan kerelaan dan tanggung jawab atas apa yang dilakukan.

Hal inilah yang membedakan pondok pesantren dengan lembaga pendidikan formal pada umumnya. Di pesantren, pada umumnya, orang tua merelakan atau menitipkan anaknya secara penuh untuk dididik oleh perangkat-perangkat pesantren. Meski, tanpa perjanjian hitam di atas putih. Biasanya, orang tua yang memondokkan putra-putrinya, rela buah hatinya dihukum apabila memang melakukan kesalahan. Hampir tidak ditemukan kasus yang mana orang tua melaporkan guru atau ustadnya di pesantren, karena anaknya dihukum akibat melakukan kesalahan.

Hal ini berbanding terbalik dengan yang terjadi di lembaga pendidikan formal. Sering kali kita jumpai berita di berbagai media, orang tua melaporkan guru sekolah ke polisi karena menghukum si anak yang melakukan kesalahan atau pelanggaran tata tertib sekolah. Meski, hukuman yang diberikan si guru tergolong sepele, contohnya hanya sekadar menjewer telinga si anak (siswa). Bahkan, belakangan marak siswa melakukan kekerasan atau penganiayaan terhadap gurunya sendiri. Bahkan, dalam sejumlah kasus, si guru sampai meninggal dunia akibat dianiaya muridnya sendiri. Hal ini juga hampir tidak ditemui atau tidak pernah terjadi di pondok pesantren.

Penghargaan dan hukuman memang diperlukan dalam dunia pendidikan. Hal tersebut sebagai evaluasi terhadap proses pembelajaran. Peserta didik yang menaati peraturan berhak mendapatkan penghargaan. Dan peserta didik yang melanggar peraturan berhak mendapatkan hukuman, di mana hukuman tersebut bersifat mendidik, membuat efek jera, dan tetap dalam batasnya.

*Penulis adalah mahasiswa Universitas Negeri Semarang (Unnes)

 

Berita Terkait

Bangsaonline Video