Keterjebakan di tengah pragmatisme kekuasaan segelintir pengurus PBNU, maka muncul kritikan kritikan dari pengurus NU itu sendiri. PBNU harus menegaskan kembali dirinya yang berpolitik kebangsaan. PBNU harus mengeluarkan “petisi’ agar semua pengurusnya tidak terseret dalam tragedi politik panjat pinang secara langsung ataupun tidak.
Kalau terlibat, silakan mengundurkan diri dari NU, sebagaimana pernah dilakukan Gus Solah (KH. Salahuddin Wahid) dalam Pilpres 2004. Hal ini sulit dilakukan oleh PBNU, karena segelintir pengurus PBNU turut terlibat dalam pragmatisme politik partisan.
Di setiap acara Muktamar, warga nahdliyin dihimbau agar tidak terjebak pada perilaku politik praktis-pragmatis, meski organisasi itu tak melarang secara tegas individu-individu yang terjun dan terlibat dalam dunia politik sesuai haknya sebagai warga negara.
Namun, hendaknya mereka tetap harus terus memperhatikan khittah sebagai landasan berpikir, bersikap, dan bertindak. Sebab, tanpa memperhatikan khittah tersebut jelas akan membuat kerenggangan di antara warga NU. Himbauan ini tidak akan bermakna dan cenderung tidak digubris oleh warga NU, jika pengurus PBNU tidak mampu menahan diri dari syahwat politik pragmatis.
Argumen ketum PBNU, Gus Yahya, sapaan akrab KH. Yahya Cholil Staquf tentang netralitas NU secara organisatoris tidak akan bermakna jika pengurus PBNU masih ada yang membawa-bawa PBNU pada pragmatisme politik, sekalipun hal tersebut bersifat pribadi. Pengurus Harian PBNU, seharusnya bisa mengutamakan dirinya sebagai Pengurus daripada kepentingan pribadinya. Secara logika, sulit dibedakan jika sebagai pengurus PBNU, sekaligus sebagai pribadi dalam segala tindakannya pada saat yang sama.
Kecenderungan pengurus PBNU, baik sengaja maupun tidak sengaja, seperti sekarang yang menjadi isu hangat dalam keterlibatannya pada politik pragmatis dengan menganjurkan memilih paslon tertentu merupakan authority abuse terhadap NU. Oleh karena itu, para elit PBNU yang dengan sengaja melibatkan diri dalam pragmatisme politik partisan, merupakan sikap kurang peduli terhadap garis-garis instruksi organisasi dalam pedoman berpolitik yang diputuskan baik muktamar ke-27 di Situbondo maupun Muktamar ke-28 Yogyakarta. Pragmatisme politik partisan yang terjadi pada segelintir pengurus PBNU sangatlah tidak etis dengan memanfaatkan NU secara kelembagaan dan organisasi.
Perbuatan ini disinyalir tidak memperhatikan khittah NU secara keseluruhan. Perbuatan segelintir pengurus PBNU ini cenderung contra produktif. Bahkan menempatkan Khittah sekedar sebagai “lipstik”. Karena itu PBNU dinilai ambigú. (bersambung)
Dosen Pascasarjana dan Fakultas Ushuluddin serta Filsafat UIN Sunan Ampel Surabaya
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News