Politik Dramatis Fahri Hamzah, Gus Dur dan Kiai Hasyim Muzadi

Politik Dramatis Fahri Hamzah, Gus Dur dan Kiai Hasyim Muzadi

DRAMATIS. Itulah pemecatan Fahri Hamzah, wakil ketua DPR RI, oleh Partai Keadilan Sejahtera (). Ia ternyata bukan hanya dipecat dari keanggotaan . Lebih dari itu melarang kadernya berinteraksi dengan Fahri Hamzah. Bahkan Fahri Hamzah dikeluarkan dari group WA kader sehingga ia merasa didzalimi. Padahal, kata Fahri Hamzah, dulu ia berjuang untuk sampai berhadapan dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)

Ia mengaku melawan KPK karena dapat "mandat" (perintah) partai tatkala Presiden LHI ditangkap KPK karena kasus korupsi sapi. Kini LHI dipenjara.

Baca Juga: Khofifah Pernah Jadi Bintang Senayan, Prof Kiai Asep: Cagub Paling Lengkap dan Berprestasi

Peristiwa Fahri Hamzah ini jadi pelajaran penting bagi kita. Pertama, ternyata karakter kekuasaan di mana-mana sama. Tak pandang partai bahkan ormas keagamaan sekalipun. Partai dakwah, partai Islam, partai sekular, ormas keagamaan, ormas sekuler: karakternya sama. Saling bantai akibat kepentingan subyektif. Bahkan tak jarang kader-kader yang berjuang dan berjasa terhadap partai atau ormas malah jadi tumbal kekuasaan. ”Revolusi selalu memakan anak kandung sendiri,” demikian ungkapan populer menggambarkan betapa kejam “teman seperjuangan” ketika berkuasa.

Saya bukan simpatisan Fahri Hamzah. Bahkan dari sekian anggota DPR RI, bagi saya Fahri Hamzah, termasuk figur yang – maaf – paling tak saya sukai.

Kenapa? Subyektivitas politiknya sangat tinggi. Ia selalu penuh alibi dan sering tak masuk akal ketika membela kepentingannya, baik kepentingan pribadi maupun partainya.

Baca Juga: ​Pemkab Resmi Ganti Beberapa Acara di Gelaran Jombang Fest 2024, Ini Alasannya

Selain itu – ini yang penting – secara ideologi Fahri Hamzah berbeda secara diametral dengan saya.

Tapi dalam kasus pemecatan Fahri Hamzah yang sangat dramatis ini ternyata menginspirasi saya.

Sebagai mahasiswa komunikasi (S-1) dan ilmu politik (S-2) ditambah naluri sebagai wartawan, pikiran saya menerawang ke mana-mana. Terutama ingat saat KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) bersama para kiai NU mendirikan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB).

Baca Juga: 3 Anggota Dewan Ditetapkan Sebagai Pimpinan DPRD Trenggalek

Saat itu Gus Dur mengangkat Matori Abdul Djalil sebagai ketua umum dan A sebagai Sekretaris Jenderal (Sekjen) DPP PKB. Kebijakan ini sebenarnya tak disepakati bulat para kiai. Kiai-kiai NU Jawa Tengah, misalnya, menolak Matori. Bahkan para kiai itu kemudian mengedarkan surat berstempel NU yang intinya menolak Matori sebagai ketua umum PKB karena tak sesuai aspirasi mereka.

Begitu juga Cak Imin. Banyak kiai dan pengurus NU tak sreg. Maklum, Cak Imin saat itu masih bau kencur. Ia baru selesai menjabat ketua umum PB PMII tapi sudah diberi jabatan sangat strategis: Sekjen.

Di kalangan NU muncul ledekan-ledekan terhadap Cak Imin. ”Kalau PAN punya sekjen Faisal Basri yang ekonom popular, PKB hanya punya Muhaimin,” kata para kader NU saat itu. Hampir semua partai yang berdiri pada 1998 - sebagai buah reformasi - memang dipimpin tokoh nasional dengan sekjen orang hebat dan popular.

Baca Juga: Ikhtiar Menangkan Khofifah-Emil, DPW PKS Jatim Konsolidasikan Kader

Tapi Gus Dur pasang badan. Mantan ketua umum PBNU tiga periode itu membela habis Matori dan tetap “nyangking” Cak Imin. Saya sebut “nyangking” karena saat itu memang belum pas jadi sekjen. Jadi Cak Imin itu besar murni karena di-”cangking” Gus Dur, diakui atau tidak. Bahkan, Cak Imin sendiri mengakui ia hijrah ke Jakarta awalnya karena dipanggil Gus Dur. Jadi jasa Gus Dur terhadap Cak Imin luar biasa besar.

Namun – seperti kita ketahui bersama - perjalanan politik PKB akhirnya sangat dramatis. Lagi-lagi revolusi memakan anak kandungnya sendiri. Matori membelot dari Gus Dur.

Begitu juga Cak Imin. Ia bahkan menjatuhkan Gus Dur dari posisinya sebagai ketua umum Dewan Syuro PKB.

Baca Juga: Barisan Loyalis Gus Dur Lumajang Deklarasi Dukung Khofifah-Emil di Pilgub Jatim 2024

Gus Dur yang dengan susah payah mendidik dan membesarkan Cak Imin akhirnya harus menerima kenyataan pahit. Cucu pendiri NU Hadratussyaikh Muhammad Hasyim Asy’ari itu disingkirkan dari partai yang didirikannya sendiri. Ironisnya, yang menyingkirkan justru anak didik atau anak asuhnya sendiri.

Lebih ironis lagi, penyingkiran Gus Dur dari PKB itu justru lewat pengadilan!. Artinya, penyingkiran itu merupakan ikhtiar politik yang disengaja, bukan keterpaksaan politik.

Saya sendiri, alhamdulillah, termasuk orang yang diselamatkan Allah dalam kasus ini. Saat itu saya menolak tandatangan untuk menggugat Gus Dur ke pengadilan. Alasan saya sangat mendasar karena saya tak mungkin menggugat kiai saya sendiri. Apalagi Gus Dur cucu pendiri NU Hadratussyaikh Muhammad Hasyim Asy’ari (tentang ini saya tulis lengkap dalam opini di Jawa Pos (3/1/2014) berjudul Benarkah PKB Memusuhi Gus Dur).

Baca Juga: Menangkan Dhito-Dewi, DPD PKS Kabupaten Kediri Gelar Konsolidasi Internal

Ternyata yang menolak tandatangan untuk menggugat Gus Dur ke pengadilan bukan hanya saya. Banyak sekali teman pengurus PKB juga menolak karena merasa tak etis.

Saya tak tahu siapa akhirnya yang tandatangan menggugat ke pengadilan sehinga terjadi penyingkiran Gus Dur dari partai yang didirikannya sendiri.

Yang pasti, belum lama ini seorang teman pengurus harian PBNU memberi informasi bahwa penyingkiran Gus Dur dari PKB itu merupakan grand design yang sudah dirancang matang oleh kekuasaan bersama Cak Imin saat itu. Bahkan ia menyebut bagian dari operasi intelijen.

Baca Juga: Bersama Khofifah-Emil, DPW PKS Jatim Jaga Komitmen Politik Santun

Yang mengenaskan, ternyata kasus “revolusi memakan anak kandung sendiri” bukan hanya terjadi di ranah partai politik tapi juga menimpa organisasi keagamaan seperti NU.

KHA Hasyim Muzadi, mantan ketua PWNU Jatim dua periode mengaku tak bisa datang ke kantor yang pernah dibangunnya sendiri karena ada pengurus NU yang menyindir-nyindir.

Perisitiwa sama menimpa KH Makmur Mazhar, ketua PWNU Banten. Ia yang sukses membangun kantor PWNU Banten senilai Rp 7,5 miliar kini disingkirkan dari PWNU Banten karena menolak KH Said Aqil Siroj sebagai ketua umum PBNU lantaran cacat dan melanggar AD/ART.

Baca Juga: Peringati Hari Jadi Kabupaten Pasuruan, Barikade Gus Dur Gelar Karnaval Akbar

Bahkan Abdul Wahid Asa kabarnya juga disingkirkan dari majalah Aula, majalah resmi PWNU Jawa Timur, yang ia dirikan sendiri bersama KH Anas Thohir (sebelumnya buletin NU dikelola Sholeh Hayat).

Revolusi memang selalu memakan anak kandungnya sendiri. Tapi tak perlu kecewa. Karena – kata Kiai Hasyim Muzadi - berbuat baik tak akan pernah sia-sia. Yang penting – tegas mantan ketua umum PBNU itu – kita ikhlas. Wallahua’lam bisshawab.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Lihat juga video 'Sejumlah Pemuda di Pasuruan Dukung Muhaimin Maju Calon Presiden 2024':


Berita Terkait

BANGSAONLINE VIDEO