AJI Kediri Gelar Workshop BPJS

AJI Kediri Gelar Workshop BPJS

KEDIRI, BANGSAONLINE.com - Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Kediri menyelenggarakan workshop Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) bekerjasama dengan Friedrich Ebert Stiftung (FES) yang berlangsung di Hotel Grandsurya Kediri (13-14 Mei 2016). Acara ini sebagai upaya memberikan pemahaman lebih dalam terkait dengan isu jaminan sosial.

"Pelatihan ini untuk meningkatkan kapasitas jurnalis terkait isu jaminan sosial, program BPJS itu seperti apa, sehingga bisa memonitor program itu untuk disampaikan ke masyarakat secara komprehensif," kata Ketua AJI Kediri Afnan Subagio di Kediri, Senin (16/5).

Afnan juga mengatakan, isu jaminan sosial sangat penting. Selama ini, masih banyak yang belum memahami terkait dengan program tersebut, padahal sudah dijalankan selama dua tahun. Masih banyak warga yang belum terdaftar, bahkan masih banyak warga yang belum prosedur untuk mendaftar.

Terlebih lagi, untuk jurnalis, mengingat belum semua perusahaan mendaftarkan jurnalis, terutama kontributor sebagai peserta jaminan sosial. Pihaknya mendesak agar perusahaan media memerhatikan para pegawainya dengan mendaftarkan kepesertaan jaminan sosial, BPJS Kesehatan serta BPJS Ketenagakerjaan. Pendaftaran itu bukan hanya untuk pegawai, melainkan juga untuk kontributor yang juga menyumbangkan tenaga dan pikiran bagi perusahaan itu.

"Kami desak agar perusahaan media juga memerhatikan tentang jurnalisnya, terutama kontributor. Mereka juga sudah memberikan tenaga dan pikirannya untuk demi perusahaan lewat hasil karya yang dikirimkan," ujar dia.

Ia mengatakan, selama ini belum semua perusahaan memerhatikan nasib para kontributor. Padahal, mereka juga mempunyai resiko yang sama ketika melakukan tugas peliputan, seperti dengan karyawan.

Acara itu dihadiri sejumlah narasumber utama, misalnya perwakilan dari Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN), BPJS Ketenagakerjaan Jatim, BPJS Kesehatan, Dinas Kesehatan Kota Kediri, sampai Serikat Pekerja Lintas Media Jatim .

Ketua DJSN Rachmat Sentika mengatakan pemahaman terkait dengan jaminan sosial harus dimaksimalkan, sebab percuma jika pemerintah membuat UU, tapi jika persepsinya tidak dipahami. Ia menambahkan, saat ini yang masih menjadi kendala adalah sumber daya manusia (SDM). Di Indonesia ada 165 juta orang yang sudah jadi peserta, dokter yang ada 100 ribu orang, rumah sakit yang ada 2.200, puskesmas yang ada 9.700, sehingga belum mencukupi.

Selain persoalan SDM yang kurang mencukupi, banyaknya badan usaha yang belum terdaftar juga menjadi masalah. Di Jatim, ada 36 ribu perusahaan yang tercatat, dan hanya ditemukan 27 ribu, sementara 9 ribu belum, tanpa ada kejelasan.

DJSN terus melakukan sosialisasi terkait dengan program jaminan sosial baik kesehatan maupun ketenagakerjaan , mengingat hal itu penting. Untuk jaminan sosial kesehatan, alokasinya 5 persen, dimana 4 persen dibayar oleh pemberi kerja sementara 1 persen oleh pekerja.

"Jaminan sosial nasional, artinya tidak boleh ada seorangpun di negeri ini yang sakit tidak tahu pergi kemana, tidak bisa akses kesehatan. 100 persen di tahun 2020 rakyat paham kalau sakit pergi ke rumah sakit atau puskesmas, tidak usah membayar, karena dikantongnya ada kartu ini," paparnya.

Kepala Divisi Regional VII Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan Jawa Timur Mulyo Wibowo mengakui masih banyak perusahaan yang belum mendaftarkan karyawannya ke BPJS Kesehatan, dengan beragam alasan. Namun, ia terus mendesak dan mencari perusaahaan tersebut, agar mereka mendaftarkan karyawannya, sebab jaminan sosial adalah hak.

"Kami terus usut perusahaan itu. Ada beberapa yang kami datangi, alamat tidak kami temukan, mungkin sudah pindah atau bangkrut," ujarnya.

Pihaknya koordinasi dengan pemerintah jika perusahaan itu membandel, dengan memberikan sanksi administrasi pelayanan publik, salah satunya pemerintah tidak memberikan izin pada perusahaan bersangkutan sebelum mengikutsertakan karyawannya ke jaminan sosial.

Sementara itu, terkait dengan masalah iuran, Mulyo mengatakan proses iuran oleh badan usaha relatif lancar dengan pembayaran iuran di atas 90 persen. Namun, Mulyo menambahkan terdapat tunggakan yang mayoritas dari peserta perorangan, dimana pada 2015 hanya 68 persen yang membayar iuran, padahal seharusnya bisa sampai 100 persen. BPJS berharap, seluruh badan usaha juga mempunyai kesadaran untuk mendaftarkan pegawianya ke BPJS Kesehatan. (rif/ns)

Berita Terkait

BANGSAONLINE VIDEO