Tafsir An-Nahl 107-109: Kiai Pro Ahok, Pasti Bukan karena Keimanan

Tafsir An-Nahl 107-109: Kiai Pro Ahok, Pasti Bukan karena Keimanan Foto ilustrasi, Ahok saat menjalani sidang dugaan penistaan agama. foto: liputan6.com

Oleh: Dr. KHA Musta'in Syafi'ie MAg. . .   

Dzaalika bi-annahumu istahabbuu alhayaata alddunyaa ‘alaa al-aakhirati wa-anna allaaha laa yahdii alqawma alkaafiriina (107). Ulaa-ika alladziina thaba’a allaahu ‘alaa quluubihim wasam’ihim wa-abshaarihim waulaa-ika humu alghaafiluuna (108). Laa jarama annahum fii al-aakhirati humu alkhaasiruuna (109).

Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Panduan dari Nabi Daud dan Nabi Sulaiman untuk Memutus Kasus Perdata

Ayat ini diawali dengan isyarah, di mana al-musyar ilaih-nya adalah ayat sebelumnya. Semua pesan pada ayat sebelumnya, utamanya 106 yang berbicara tentang ikrah. Alkisah, orang-orang kafir Makkah begitu bengis terhadap pemeluk islam sehingga tega menyiksa dan melakukan apa saja yang mereka mau. Para kafir itu hanya memburu kepuasan duniawi, sehingga berbuat sesuka hati tanpa memperhitungkan balasan di akhirat nanti.

Hal yang paling kejam adalah, mereka memaksa sebagian sahabat beriman agar melakukan tindak kekufuran. Jika tidak, mereka akan dibunuh. Ada sahabat yang menolak dan tetap besikukuh pada prinsip keimanannya dan benar-benar dibunuh. Dan ada yang terpaksa menurut dan melakukan apa yang mereka mau demi keselamatan jiwa, sementara keimanan tetap mantap di hati.

Keduanya diapresiasi oleh Tuhan sebagai langkah yang benar. Yang salah adalah yang menurut melakukan tindak kekufuran lahir batin. Perbuatannya, ucapannya, mencerminkan kekufuran dan hatinya menyetujui apa yang dilakukan. Itulah tindakan murtad, yakni kufur setelah beriman. Terhadap paksaan tersebut, agama tidak menghitungnya sebagai alasan karena hatinya tulus menerima apa yang dipaksakan. Paksaan hanyalah awal tekanan, tapi seterusnya adalah pilihan sendiri. Beda dengan hati yang memberontak dan ingkar.

Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Cara Hakim Ambil Keputusan Bijak, Berkaca Saja pada Nabi Daud dan Sulaiman

Ayat studi ini memperlihatkan betapa kehidupan beragama itu banyak godaan, ujian, bahkan tekanan. Orang beriman akan mengalami hal demikian sebagai tes atas keimanannya. Salah satu ujian keimanan terberat adalah duniawi, harta, pangkat, pamor, nafsu dan lain-lain. Semakin mencintai duniawi, semakin mudah keimanan melemah. "Dzaalika bi-annahumu istahabbuu alhayaata alddunyaa ‘alaa al-aakhirati".

Orang islam yang cenderung menuruti nafsu duniawi, bukan bertindak atas dasar keimanan dengan orientasi akhirat nanti, Tuhan menyamakan mereka dengan gaya hidup orang-orang kafir dan Tuhan tidak berkenan. Selanjutnya, disindir sebagai orang kafir, "al-kafirin" (107). Karena bergaya hidup dan membaur dengan orang-orang kafir, akibatnya, qulub (nurani keimanan), sam' (pendengaran, kesadaran), abshar (pandangan, pemikiran) mereka tertutup, karena hanya duniawi saja yang menjadi target. Selanjutnya dikutuk sebagai orang-orang yang lalai, al-ghafilun (108). Kemudian, di akhirat nanti divonis sebagai orang-orang yang merugi "al-khasirun" (109).

Seperti tertera pada sabab nuzul, bahwa orang beriman mesti tangguh dan sedikit pun tidak pernah melakukan perbuatan yang sifatnya dekat dengan kekafiran. Lihatlah si Bilal ibn Abi Rabah, disiksa sedemikian pedih, tetap saja tidak mau bergabung dengan kekafiran, meski iming-iming indah ditawarkan.

Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Memetik Hikmah dari Kepemimpinan Nabi Daud dan Nabi Sulaiman

Lihatlah, betapa Sumayyah, wanita muslimah yang kokoh iman, meski dirinya harus mati seperti daging sate, di mana vaginanya ditusuk tumbak hingga tembus tenggorokan, tetap saja tidak mau bergabung dengan orang-orang kafir. Padahal mereka itu miskin dari kalangan budak.

Lihatlah, betapa Ammar ibn Yasir, dirinya tidak tega dan tidak sanggup keluarganya dibunuh satu per satu di hadapan matanya, lalu mau menuruti kehendak mereka sehingga mengucapkan kata-kata kekafiran, menyatakan keluar dari islam, mencaci maki nabi Muhammad dll. Tapi hatinya tetap iman dan ingkar terhadap apa yang dia lakukan, karena hanya itu yang dia bisa. Setelah lepas dari siksaan, Ammar segera menemui nabi dan mengadukan persoalannya. Lalu Tuhan mengapresiasi.

Kesimpulannya, bahwa pada dasarnya, keimanan itu tidak bisa menyatu dengan kekufuruan. Bahwa ketaqwaan itu sama sekali tidak bisa bertemu dengan aroma kemaksiatan. Bahwa kebenaran itu tidak bisa berkawan dengan kebatilan.

Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Keputusan Bijak untuk Sengketa Peternak Kambing Vs Petani

Dari siratan ayat studi ini, bisalah diambil pelajaran, bahwa orang islam yang berteman kental, mendukung, apalagi memilih wong kafir sebagai imam, sebagai pemimpin umat, sebagai kepala daerah bisa dipastikan bukan karena keimanannya, bukan pula karena ketaqwaannya, melainkan lebih karena kepentingan duniawinya.

Orang beriman mesti bertindak atas pertimbangan agamanya, atas dasar firman Tuhannya, atas dasar sabda nabinya, bukan atas dasar hawa nafsunya atau pola pikirnya belaka. Sekali jiwa sudah dijejali dengan nafsu duniawi, otak dan cara berpikir sudah pasti berubah dan memaksa-maksakan diri menuruti nafsunya. Lalu hilanglah pertimbangan agama, lalu lenyaplah pertimbangan akhirat.

Orang islam yang memilih pemimpin nonmuslim bisa jadi karena nalar akdemiknya, sekali lagi pasti tidak karena nurani ketaqwaannya. Bagaimana mungkin Tuhan tegas-tegas malarang, tapi mereka mengakal-akal dan mencari-cari dalil untuk membelot dan melawan. Bagaimana mungkin Nabi yang diimani melarang, tapi dia membangkang dan berseberangan.

Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Dua Nabi, Bapak dan Anak

Andai mereka berdalil, maka pastilah dalil yang dipaksa-paksakan, bukan dalil alamiah yang nyata dan tegas. Karena al-Qur'an itu hidangan terbuka yang sangat universal, terserah siapa penggunanya. Semuanya menanggung resiko atas pilihan masing-masing. Jangankan penjahat, penista agama, pemilih pemimpin nonmuslim, bahkan Iblis-pun punya alasan pembenar yang diajukan di hadapan Tuhan. Meski kebenaran alasan itu baru bisa terbukti di akhirat nanti, apakah diterima atau tidak, tapi al-Qur'an sudah menyatakan, bahwa Iblis bersama kroninya ada di nereka. Semuanya itu, menurut ayat studi ini karena mereka sangat mencintai duniawi dan mengabaikan akhirat. "Dzaalika bi-annahumu istahabbuu alhayaata alddunyaa ‘alaa al-aakhirati".

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Berita Terkait

BANGSAONLINE VIDEO