Tafsir Al-Nahl 112: Pemimpin Muslim Itu Nikmat Allah, Janganlah Dikufuri

Tafsir Al-Nahl 112: Pemimpin Muslim Itu Nikmat Allah, Janganlah Dikufuri ilustrasi

Oleh: Dr. KHA Musta'in Syafi'ie MAg. . .   

Wadharaba allaahu matsalan qaryatan kaanat aaminatan muthma-innatan ya/tiihaa rizquhaa raghadan min kulli makaanin fakafarat bi-an’umi allaahi fa-adzaaqahaa allaahu libaasa aljuu’i waalkhawfi bimaa kaanuu yashna’uuna (112).

Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Panduan dari Nabi Daud dan Nabi Sulaiman untuk Memutus Kasus Perdata

Al-Qurtuby, belum berkomentar apa-apa pada ayat ini sudah menyatakan, bahwa ayat ini punya kaitan erat dengan kejahatan orang-orang kafir Qurais yang tidak henti-hentinya menjahati Nabi dan para sahabat. Tercatat beberapa suku yang teramat jahat, di antaranya adalah suku Mudlar. Suku Mudlar inlah yang dikutuk Nabi, dido'akan agar dilanda kelaparan.

"Allahum usydud wath'atak 'ala mudlar wa ij'alha 'alaihim sinin kasiniy Yusuf". Ya Tuhan, timpakan kedigdayaan-Mu atas suku Mudlar. Azab mereka dengan kelaparan berkepanjangan seperti yang terjadi era Yusuf dulu". Era nabi Yusuf dulu pernah terjadi paceklik selama tujuh tahun, setelah panen raya tujuh tahun.

Setelah kutukan Nabi itu, keadaan berangsur berubah melanda suku Mudlar. Mulai gagal panen, dagang merugi, ternak mati, kekeringan dan seterusnya hingga mereka kelaparan dan benar-benar kelaparan. Diriwayatkan, ada sebagian penduduk hingga pernah makan tulang.

Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Cara Hakim Ambil Keputusan Bijak, Berkaca Saja pada Nabi Daud dan Sulaiman

Keadaan begitu menghimpit dan menyengsarakan. Nabi dikabari soal penderitaan suku Mudlar akibat kutukan beliau. Nabi mulia itu mengumpulkan banyak makanan dan datang menemui mereka, kemudian dibagi-bagikan hingga cukup mengganjal perut beberapa waktu. Lalu keadaan berangsur-angsur kembali normal setelah Rasulullah SAW belas kasihan kepada mereka.

Rupanya tidak hanya suku Mudlar saja yang pernah dikutuk Nabi, suku Dzakwan juga. Tidak hanya sukunya, bahkan beberapa personal juga pernah dikutuk, juga divinif hukuman mati. Itu artinya, sebagai seorang muslim memang wajib mengedepankan sikap rahmat, sikap inklusif and nyemanak kepada sesama, tanpa pandang agamanya apa dan dari suku mana. Itu semua dengan cacatan jika mereka juga ramah dan berbaik-baik dengan kita.

Tapi jika mereka menjahati dan hampir bisa dipastikan menjahati jika mereka berkuasa dan leluasa, maka kita tidak boleh terus menerus bersikap toleran, memaklumi dan memaaf. Kita mengerti, betapa Nabi adalah pribadi pemaaf, toleran, inklusif, tapi semua dilakukan secara tepat dan proporsional.

Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Memetik Hikmah dari Kepemimpinan Nabi Daud dan Nabi Sulaiman

Doa beliau saat dijahati, lazimnya adalah doa memaaf dan memohonkan hidayah. "allahum ihdi qamy fainnahum la ya'lamun". "Ya Tuhan, beri hidayah kaumku, sesungguhnya mereka itu tidak mengerti. Tidak mengerti kalau aku ini benar-benar utuusan-Mu yang membimbing ke jalan keselamatan".

Sekarang ini, ada sebagian umat islam yang langgamnya rahmatan lil alamin, toleran, inklusif, tapi kebablasan sehingga tidak punya aksi nyata saat umat islam ditindas, dipinggirkan perlahan-lahan. Tidak pula punya tindakan nyata saat ada maksiat meliuk-liuk di hadapan matanya. Jika ada teman sesama muslim sedikit saja bersikap tegas kepada nonmuslim, maka dia justru yang cepat-cepat menuding, menyerang, mengutuk sebagai radikal, eksklusif, anarkis, menyalahi dakwah Rasul mereka.

Sementara nonmuslim menjahati dan menista senyum-senyum karena merasa dibela. Bahkan tertawa ngakak karena menyaksikan muslim bertengkar sesama muslim gara-gara ulah mereka. Si nonmuslim terus menjalankan aksinya, sementara yang sok toleran terus memusuhi yang tegas, yang loyo iman terus memaki-maki saudara seimannya yang berprinsip dan tangguh iman. Mereka lebih tertarik menghentikan tangan sesama muslim yang hendak membela agama dan martabat muslimnya daripada mencegah nonmuslim yang secara licik menjahati dan menista.

Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Keputusan Bijak untuk Sengketa Peternak Kambing Vs Petani

Mereka lebih hobi memusuhi sesama muslim yang menghentikan kemaksiatan ketimbang menghentikan kemaksiatan itu sendiri. Itulah yang nampak di wajah muslim negeri ini sekarang. Siapapun pasti menggandrungi suasana damai dan menyejukkan. Semua umat islam pasti paham kedamaian, kesejukan dan toleransi. Persoalannya, bagaimana jika nonmuslim itu memanfaatkan situasi ini, memanfaatkan toleransinya umat islam yang kebablasan hingga soal prinsip dalam agama dikorbankan, inklusifitasnya kaum muslimin, rahmatan lil 'alaminnya orang beriman dimanfaatkan untuk membangun kekuatan guna menjahati balik kepada umat islam? Dan itu pasti.

Jawaban yang paling bagus adalah kita tetap punya prinsip imbang, antara inklusifitas dan eksklusifitas. Tetap toleran, tapi tetap punya prinsip. Tetap mencegah kemaksiatan dan kejahatan secara terukur dan bijak. Muslim wajib berperilaku yang manfaat bagi islam dan kaum muslimin. Bukan merugikan umat islam dan menguntungkan nonislam.

Jika anda ditanya soal pendukung Ahok menurut pandangan agama, tidak perlu anda mencari dalil dari al-qur'an maupun al-Hadis. Karena Anda akan dihujat oleh ilmuwan muslim yang pro kafir dengan berbagai kata: ayat itu dalam kontek apa? Itu multi tafsir, relevansi bagaimana? jangan memahami ayat secara literer, tekstual dan lain-lain.

Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Dua Nabi, Bapak dan Anak

Cukup rujuk saja kepada asas manfaat menurut agama. Apasih manfaatnya mendukung pemimpin kafir dalam islam, dalam keimanan, dalam ketaqwaan? Biarkan hati anda berbicara dan biarkan pikiran anda menjawab, jangan ganggu dan jangan mengintervensi akal dan nurani anda bekerja. Suara hati itulah suara Tuhan dan itulah fitrah asal belum dikotori dengan kepentingan duniawi.

Pesan ayat studi ini cukup bagus sebagai bahan muhasabah. Bahwa sebuah negeri yang asalnya sangat makmur, tiada kurang suatu apa diadzab dengan kekeringan menyakitkan, dengan keadaan menyengsarakan, dengan kehinaan dan lain-lain bukan karena kekafiran terhadap adanya Tuhan Allah SWT, melainkan dengan kekufuran terhadap nikmat yang telah Tuhan berikan. "fakafarat bi-an’umi allaahi". Nikmat Tuhan ada yang bersifat fisik, seperti materi keduniawian dan ada yang bersifat immateri seperti keimanan, ketaqwaan.

Kaitannya dengan pemimpin, ada pemimpin muslim dan ada pemimpin nonmuslim. Cobalah dipertimbangkan secara adil dan polos serta tulus, mana yang berpotensi manfaat, maslahah bagi keimanan dan ketakwaan. Secara lahiriah, apalagi punya iman, pasti menjawab yang muslim, yang seiman dan itulah nikmat yang diberikan Allah kepeda kita. Pemimpin muslim yang baik, adil dan jujur adalah nikmat Tuhan, maka janganlah dikufuri. Memilih pemimpin nonmuslim, sementara ada pemimpin yang muslim dan mumpuni berarti mengkufuri nikmat Allah SWT.

Baca Juga: Usia Nabi Nuh 1.000 Tahun, Tapi "Gagal" Dakwahi Umatnya, Ini Perbedaan-Persamaan dengan Nabi Luth

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Berita Terkait

BANGSAONLINE VIDEO