Tafsir Al-Nahl 125: Terkadang Diam, Cara Dakwah Terbaik

Tafsir Al-Nahl 125: Terkadang Diam, Cara Dakwah Terbaik Ilustrasi

Oleh: Dr. KHA Musta'in Syafi'ie MAg. . .   

Ud’u ilaa sabiili rabbika bialhikmati waalmaw’izhati alhasanati wajaadilhum biallatii hiya ahsanu inna rabbaka huwa a’lamu biman dhalla ‘an sabiilihi wahuwa a’lamu bialmuhtadiina (125).

Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Panduan dari Nabi Daud dan Nabi Sulaiman untuk Memutus Kasus Perdata

Era Makkah, dakwah dilakukan dengan sangat memperhatikan keamanan dan keselamatan jiwa. Hal itu karena dedengkot kafir Makkah galak-galak dan tidak segan menghabisi. Maklum, waktu itu masih zaman perbudakan sehingga hukum ada di tangan penguasa, tetua adat dan para majikan. Maka, cara bi al-hikmah sangat tepat dipakai.

Nabi Muhammad SAW menyaksikan sendiri ketika keluarga Ammar ibn Yasir disiksa, bahkan si istrinya, Sumayyah ditusuk vaginanya hingga tewas. Nabi tidak bisa berbuat apa, cuma memberi salam, menasehati agar sabar dan menjanjikan surga. "shabra ala Yasir, fa inn ma'idakum al-jannah".

Memang, apa yang dilakukan Nabi itu sama sekali tidak mengurangi apalagi menghentikan kejahatan mereka, sehingga siksaan demi siksaan terus dihujamkan. Namun bagi keluarga Yasir, salam dan janji Nabi itu bagaikan air segar yang merasuk sanubari, tersenyum ceria dan jiwa melayang menikmati taman surga. Salam Rasulullah SAW itulah yang mengubah derita menjadi senyuman.

Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Cara Hakim Ambil Keputusan Bijak, Berkaca Saja pada Nabi Daud dan Sulaiman

Pada era ini, dakwah dilakukan dengan cara berbisik, antar pribadi dan sembunyi-sembunyi. Dari kerabat dekat dan teman dekat yang diyakini bisa menerima islam. Cara demikian juga tidak aman dan pasti tercium oleh mata-mata kafir. Saat itu, dakwah pakai uang sangat diperlukan untuk menebus budak islam yang menjadi milik majikan kafir. Kekayaan Khadijah, bisa dikata habis-habis dipakai untuk ini, begitu pula aset Abu Bakar a-Shiddiq. Maka, banyak budak muslim yang dibeli dan dimerdekakan.

Nabi juga pernah mengadakan semacam kenduri, dengan mengumpulkan semua keluarga. Tujuan acara kondangan itu untuk memperkenalkan kepada keluarga agama islam yang dibawanya (al-Syu'ara' :214). Begitu Nabi mau memulai acara, sang paman, Abu Lahab rupanya sudah membaca maksud kenduri itu, lalu dia mendahului berdiri dan menyampaikan kata-kata pedas mengutuk sang keponakan.

Nabi dituduh sebagai pembelot agama nenek moyang yang akan menyesatkan semua anggota keluarga besar, bani Abd Manaf. Tidak hanya itu, Abu Lahab juga memprovokasi semua keluarga agar jangan sampai ada yang tertipu oleh Nabi, sehingga meningalkan agama nenek moyang. Nabi juga disebut sebagai pembawa bencana yang merusak kebesaran dan keutuhan keluarga. dst, dst.

Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Memetik Hikmah dari Kepemimpinan Nabi Daud dan Nabi Sulaiman

Para hadirin yang notabenenya adalah keluarga Rasul sendiri, utamanya yang tua-tua, para paman dan bibi tidak memberikan respon apa-apa terhadap apa yang dikatakan si Abu Lahab. Ya, karena dia termasuk jajaran tetua dan kayaraya. Namun, di sisi lain, mereka tahu persis, bahwa Muhammad ibn Abdillah adalah pribadi yang sangat jujur dan tidak pernah bohong.

Cacian Abu Lahab berakhir dan suasana yang semula ceria, saling akrab bertabur senda gurau berubah menjadi hening dan membingungkan. Akhirnya, mereka hanya bisa menunggu saja apa jawaban nabi Muhammad SAW nanti, sambil was-was mengantisipasi keadaan berikutnya. Apa yang dilakuakan Nabi?

Di tengah-tengah semua wajah menatap, semua mata tertuju memperhatikan beliau, semua telinga siap mendengar jawaban, ternyata sebagai tuan rumah, Nabi mulia itu membalas dengan menebar senyum kepada semua hadirin sembari mempersilakan agar mencicipi hidangan yang telah disediakan.

Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Keputusan Bijak untuk Sengketa Peternak Kambing Vs Petani

Ekspresi Nabi sungguh hebat, alami dan natural sehingga mampu menetralisir keadaan yang semula bertegang-tegang menjadi datar kembali seolah tanpa terjadi apa-apa. Hadirin mulai terbawa oleh tampilan dan canda ringan yang dilempar Nabi sehingga hidangan mulai dinikmati sedikit demi sedikit. Dengan ramah Nabi mengucapkan terima kasih atas kedatangan para keluarga dan menyalami satu per satu dan kenduri berakhir.

Hanya Abu Lahab yang tertunduk malu dan bersungut-sungut, karena apa yang dia katakan sama sekali tidak ada artinya apa-apa, berlalu dan seolah tak pernah ada. Malah membuka watak jahatnya sendiri di hadapan keluarga. Gayung yang dia ayunkan ternyata tidak disambut dan umpan yang dia lempar ternyata tidak termakan. Begitulah, kadang diam justru cara dakwah terbaik. Di sini, kematangan emosional Nabi ditunjukkan, betapa dewasa dan benar-benar tenang menguasai keadaan, tanpa terpancing sedikit pun.

Pujian demi pujian disampaikan oleh para paman dan bibi yang pro Nabi. Tapi Nabi segera memberi tahu akan mengundang kenduri lagi. Silang pendapat terjadi, soal apakah Abu Lahab diundang atau tidak. Keputusan Nabi bulat, justru itu sasarannya, maka Abu Lahab harus diundang dan harus datang.

Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Dua Nabi, Bapak dan Anak

Kenduri kedua diadakan dan begitu hadirin pada ngumpul, mumpung belum diserobot Abu Lahab lagi, Nabi segera berdiri memberikan sambutan sebagai tuan rumah. Abu Lahab tertunduk dan asyik mendengarkan. Kata demi kata mengalir hingga memasuki tujuan utama kenduri itu, yakni penyampaikan pesan agama, agama islam denga sebagai kelebihannya.

Memang dialog kecil terjadi dan Nabi mampu mengatasi. Pesan teologis yang disampaikan Nabi itu masuk di benak masing-masing yang datang sehingga menjadi bahan angan-angan yang dibawa pulang dan mesti dipikir-pikir. Acara segera ditutup, tanpa memberi kesempatan Abu Lahab untuk berkata-kata lagi. Nabi mendapat simpati dari hadirin, sekaligus mengunci gerak Abu Lahab. Dua kosong untuk Nabi. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Berita Terkait

BANGSAONLINE VIDEO