​ForJatim: Dorongan Meminta Mundur Mensos Harus Terukur

​ForJatim: Dorongan Meminta Mundur Mensos Harus Terukur Hadi Mulyo Utomo, SH, MH, Ketua Forum Reformasi Jawa Timur (ForJatim).

SURABAYA, BANGSAONLINE.com - Munculnya desakan agar Indar Parawansa mundur sebagai Menteri Sosial karena pencalonannya dalam kontestasi Pemilihan Gubernur Jawa Timur tahun 2018, harus disikapi secara bijak dan terukur. Karena sejatinya, adalah pembantu Presiden Joko Widodo di Kabinet Kerja.

Karena itu, hanya Presiden yang berhak menentukan sikap terkait tugas yang ia delegasikan. Sementara , sebagai pembantu Presiden hanya bisa pasif menerima apapun keputusan Presiden. Pernyataan itu disampaikan Ketua Forum Reformasi Jawa Timur (ForJatim) Hadi Mulyo Utomo.

itu pihak yang menerima delegasi tugas dari Presiden, jadi keliru kalau beliau yang didesak atau didorong mundur dari kabinet. Sebab, semua keputusan ada di tangan Presiden selaku pemberi tugas. Ini mutlak, karena hak prerogratif Presiden,” ujar Hadi, Sabtu (2/12).

Lulusan terbaik sarjana dan pasca sarjana Fakultas Hukum Universitas Airlangga (Unair) ini mengungkapkan, setidaknya ada tiga poin yang menjadi pertimbangan dalam memutuskan status atau menteri lain yang maju dalam kontestasi pilkada. Tiga poin itu adalah, pertama, pertimbangan hukum, kedua, pertimbangan etika, dan ketiga, pertimbangan kemaslahatan rakyat.

Hadi menjelaskan, secara hukum, syarat normatif dapat dilihat pada ketentuan Undang-Undang No. 10 Tahun 2016 tentang perubahan kedua atas UU Nomor 1 Tahun 2015 tentang penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2014 tentang pemilihan Gubernur, Bupati dan Wali Kota menjadi Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016.

“Secara hukum, tidak ditemukan satu pun ketentuan normatif yang yang mewajibkan seorang Menteri untuk mengundurkan diri apabila berpartisipasi dalam kontestasi Pemilihan Kepala Daerah. Artinya Undang-Undang sekalipun tidak memandang adanya sebuah urgensitas Menteri disyaratkan harus mundur dari jabatan apabila turut serta dalam pilkada,” urai pria yang pernah mengajar di Fakultas Hukum Universitas Surabaya (Ubaya) ini.

Hadi melanjutkan, dari sudut pandang etika, ketidakmunduran seorang yang mengemban jabatan menteri yang berpartisipasi dalam pemilihan kepala daerah tentunya tidak dapat ditarik dalam relasi pelanggaran etika. Alasannya, antara Menteri dengan kepala daerah adalah sama-sama jabatan yang didasari keterpanggilan hati untuk mengabdikan dirinya demi kepentingan masyarakat. Karena itu, upaya pencalonan menjadi kepala daerah bukanlah upaya mencari jabatan untuk keuntungan komersial. Karena itu, tidak ada konflik kepentingan di sana.

Menurutnya, yang harus diatur dengan baik dan proporsional adalah pembagian waktu antara kewajiban menjalankan tugas sebagai menteri agar tidak terganggu dengan serangkaian aktivitas dalam pencalonan kepala daerah. Bila itu bisa dilakukan, potensi penggunaan fasilitas negara untuk kepentingan pencalonan bisa dihindari.

“Jadi prinsipnya adalah hanya soal teknis pembagian waktu, bukan soal etika. Tapi solusi cuti juga menjadi pilihan ideal untuk menghindari penggunaan fasilitas negara dan penyalahgunaan kekuasaan,” imbuh Hadi.

Sedangkan, dari pandangan kemaslahatan dan kemanfaatan kepada rakyat, dalam jabatannya sebagai Menteri Sosial telah menunjukkan totalitas dan kredibilitas yang luar biasa dala melaksanakan program pemerintah, seperti pengentasan kemiskinan kepada masyarakat.

Sebab itu, advokat muda ini menilai apabila terdapat dorongan atau desakan yang meminta mengundurkan diri dari jabatannya sebagai menteri, untuk digantikan sosok lain yang belum tahu persis rekam jejak dan integritas serta akuntabilitasnya, maka patut diduga ada motivasi dari pihak tertentu untuk memperoleh pembagian kekuasaan.

“Kalau ada yang semangat mendesak mundur tanpa melihat aturan yang berlaku. Maka patut diduga pihak tersebut memiliki motif mengincar jabatan menteri sosial yang saat ini diemban oleh ,” pungkas Hadi. (mdr)

Berita Terkait

BANGSAONLINE VIDEO