Tafsir Al-Isra' 23: Orang Tua, Lirkadoyo Pangeran Katon

Tafsir Al-Isra Ilustrasi.

Oleh: Dr. KH A Musta'in Syafi'ie M.Ag

Al-Isra': 23

Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Panduan dari Nabi Daud dan Nabi Sulaiman untuk Memutus Kasus Perdata

23. Waqadaa rabbuka allaa ta’buduu illaa iyyaahu wabialwaalidayni ihsaanan immaa yablughanna ‘indaka alkibara ahaduhumaa aw kilaahumaa falaa taqul lahumaa uffin walaa tanharhumaa waqul lahumaa qawlan kariimaan

Dan Tuhanmu telah memerintahkan agar kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah berbuat baik kepada ibu bapak. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berusia lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah engkau mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan janganlah engkau membentak keduanya, dan ucapkanlah kepada keduanya perkataan yang baik.

TAFSIR:

Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Cara Hakim Ambil Keputusan Bijak, Berkaca Saja pada Nabi Daud dan Sulaiman

Setelah membicarakan orang-orang yang memburu dunia dan bakalan celaka dan orang-orang yang memburu akhirat dan bakalan bahagia, lalu menyambungnya dengan pemberian Tuhan kepada setiap titah, kini Allah SWT membicarakan derajat kedua orang tua yang mesti diagungkan setelah menyembah dan mengagungkan Tuhan.

Digunakan kata "qadla" yang artinya memutuskan, mewajibkan, memerintahkan sebagai pengantar pesan setelahnya. Hal itu menunjukkan bahwa pesan ayat ini sungguh sangat serius dan mutlak harus dikerjakan. Pesan pertama adalah jangan sampai menyembah kecuali selain Allah (allaa ta’buduu illaa iyyaahu). 

Jika seseorang menyembah selain Allah, maka orang itu tidak ada hubungan dengan Allah dan silakan berhubungan dengan yang disembah itu. Karena sifat Tuhan adalah memberi, maka dia tetap diberi, kemauannya bisa saja dikabulkan. Tapi itu semua hanya sebatas pemberian kecil, pemberian terbatas, pemberian sesaat, pemberian duniawi belaka, bukan pemberian abadi yang agung and unlimited seperti surga dan segala kenikmatannya. 

Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Memetik Hikmah dari Kepemimpinan Nabi Daud dan Nabi Sulaiman

Bisa saja si kafir itu kaya raya, tapi tetap tidak bisa menikmati dunia sepenuhnya. Hanya yang dipakai, yang digunakan dan yang dimakan saja. Bisa saja dia sehat, senang, tapi ada batasnya, pasti jatuh sakit dan mati. Tidak ada orang yang bisa melawan ketuaannya sendiri, kerapuhannya sendiri, apapun usahanya. Sudahlah, menyerah saja, suka atau tidak anda akan dijemput kematian.

Kata "qadla" yang artinya keputusan, kepastian, itu menyiratkan makna alamiah yang pasti ada dan terjadi. Jika Tuhan mengatakan agar tidak menyembah selain Dia, maka itu artinya setiap orang pada dasarnya mengakui Allah SWT sebagai satu-satunya Tuhan. Sementara yang lain, yang disembah-sembah akan gugur dan diingkari sendiri secara otomatis. 

Itu pasti terjadi pada waktunya nanti, paling akhir saat dia sedang menghadapi kematian. Pasti muncul kesadaran bahwa hanya Allah SWT saja yang Tuhan. Tapi sudah terlambat dan tidak ada guna. Kurang apa kekufuran raja Fir'aun, tidak saja mengingkari, melainkan mengaku dirinya sebagai Tuhan kelas tertinggi, sementara Allah SWT ada di level bawahnya. 

Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Keputusan Bijak untuk Sengketa Peternak Kambing Vs Petani

Ya, silakan bercongkak-congkak. Begitu sadar tidak ada harapan untuk hidup lagi dan pasti akan mati tenggelam di lautan, baru dia mengakui bahwa Allah SWT sebagai Tuhan. Padahal sebelumnya direndahkan. Keimanan Fir'aun tidak diterima dan itu juga bukan pertobatan, melainkan keterpaksaan. 

"allaa ta’buduu illaa iyyaahu", dalam perspektif sufistik mengisyaratkan, bahwa semua ibadah dan kiprah orang beriman harus berorientasi Allah SWT saja. Sedikit saja ada orientasi selain Allah, maka tidak dianggap amal ibadah kepada-Nya, kosong tanpa pahala. Anda makan karena kebiasaan orang hidup harus makan, maka yang anda lakukan bukanlah ibadah, melainkan kebiasaan. Makan dan minum menjadi amal ibadah dan berpahala jika diniati ibadah, salah satunya adalah dengan baca basmalah lebih dahulu.

Bagaimana mungkin orang menjadi kepala daerah, ketua organisasi keagamaan, pengasuh pesantren, kepala sekolah, tapi mendapat pahala ibadah dari kepemimpinannya, jika dia menjabat murni karena kebiasaan, karena warisan atau karena memburu kepangkatan. Sebuah kepemimpinan baru dihitung amal ibadah jika benar-benar mengabdi hanya untuk Allah SWT semata.

Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Dua Nabi, Bapak dan Anak

Dan, menuju Allah SWT itu tidak semudah membalik telapak tangan, melainkan butuh keseriusan dan keistiqamahan. Orang yang beramal secara terbuka, dipublis di hadapan khalayak, disiarkan di media sangat berpotensi terkena virus riya', show only atau pamer. Silakan tujuannya untuk memberi contoh, tapi sisi lain beraroma pamer. Jika unsur pamernya lebih dominan, maka hampa pahala di akhirat nanti. 

"allaa ta’buduu illaa iyyaahu". Ada riwayat terkait seorang yang beramal banyak dan berderma banyak, tapi sukanya dipublis di hadapan umum. Ternyata di akhirat dia tidak mendapatkan pahala dari apa yang dia dermakan. Kemudian menggugat Tuhan: "Ya tuhan, Engkau tidak menepati janjiMu. Katanya bakal memberi pahala berlipat ganda dari amal bersedekah. Mana buktinya? Jangankan berlipat, kini malah kosong sama sekali". 

Allah SWT menjawab: "Lho, kamu beramal kan bukan untuk Aku, melainkan untuk selain Aku, untuk egomu sendiri, untuk pamormu sendiri dan untuk-untuk yang lain. Aneh, dulu kamu beramal bukan untuk Aku, kok sekarang nagih pahala kepadaKU. Silakan minta pahala kepada yang kamu tuju dulu".

Baca Juga: Usia Nabi Nuh 1.000 Tahun, Tapi "Gagal" Dakwahi Umatnya, Ini Perbedaan-Persamaan dengan Nabi Luth

"wabialwaalidayni ihsaanan". Umumnya ayat yang terkait dengan berbakti kepada orang tua, lazimnya pakai bentuk mutsanna (dua), al-walidain atau walidayya, ibu dan bapak. Ya, karena semua orang pasti punya ibu sekaligus punya ayah, apapun sifatnya, ayah biologis atau ayah formal. Kecuali terhadap nabi Isa ibn Maryam A.S., maka tesis yang dipakai hanya ibu saja. "wa barra bi walidaty" (Maryam: 32). Walidah adalah ibu, karena Isa hanya punya ibu dan tidak punya bapak. 

Umumnya, pesan berbakti kepada kedua orang tua ini digandeng dengan kata ihsana, meskipun ada yang pakai kata "husna", atau kata "ma'rufa". Ihsan adalah kebajikan sosial, memberi kecukupan materi kepada kedua orang tua. Orang tua yang sudah udzur menjadi tanggungjawab anaknya. Karena itu, zakat tidak boleh diberikan kepada orang tua kandung, meskipun dengan alasan fakir atau miskin.

Dalam perintah berihsan ini tidak ada persyaratan agama atau seiman. Meskipun orang tua kita kafir, tetap wajib kita hormati. Penghormatan kepada orang tua menjadi mutlak asal tidak memerintahkan kita berbuat maksiat atau kekufuran. 

Baca Juga: Fikih Kentut: Ulah Syetan Meniup Dubur agar Kita Ragu Wudlu Batal apa Tidak

Ketika orang tua memasuki usia ketuaan (al-kibar), ada perintah khusus terkait menyikapi mereka. Pertama, jangan berkata-kata yang sifatnya mengecewakan, sekecil apapun (falaa taqul lahumaa uffin). Kedua, jangan membentak mereka (walaa tanharhumaa) dan ketiga, bertutur katalah kepada mereka dengan bahasa yang santun nan memuliakan (waqul lahumaa qawlan kariimaan).

Sebab, orang tua itu makin tua makin perasa. Ada bisik-bisik sedikit sudah tersinggung. Seorang ibu nyambangi anaknya yang sudah sukses di kota besar. Ketika diajak jalan-jalan menikmati suasana perkoataan, si anak membukakan pintu mobil dan ibu dipersilakan naik. Anak itu lalu menutupnya dengan agak menekan agar bisa mengunci.

Sang ibu langsung berubah wajah dan selama jalan-jalan hanya diam dan membisu. Begitu pulang ke rumah, ibu itu sewot dan memaksa minta segera balik ke kampung. Menuduh anaknya sombong, merasa direndahkan dan lain-lain. Usut punya usut, karena si anak menutup pintu mobil agak keras dan menekan. Hal itu menyinggung perasaannya. Padahal bagi anak, ya begitu itu cara menutup mobil, agak ditekan agar ngunci. Ibu itu tersinggung karena persepsinya menyamakan antara menutup pintu rumah dengan pintu mobil. Allah Maha benar dengan firman-Nya ini. 

Baca Juga: Tafsir Al Quran Aktual: Kebanggaan Kentut dan Seks Brutal Kaum Nabi Luth

Termasuk menghormat orang tua adalah menghormati orang tua orang lain. Rasulullah SAW pernah mengatakan: "kalian jangan sampai misuhi (mengumpat-ngumpat) kepada orang tua kalian sendiri". Sahabat bertanya: "bagaimana mungkin itu terjadi ya Rasulallah?". Rasul: "Begini, kamu mengumpati orang tua kawanmu, lalu kawanmu balas mengumpati orang tua kamu".

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Berita Terkait

BANGSAONLINE VIDEO