“Saat ini sudah begitu banyak posisi kementerian dan lembaga negara, termasuk Ketua KPK diisi oleh polisi yang tidak melepaskan status kepegawaiannya sebagai polisi. Situasi ini menyebabkan polisi memainkan dua peran sekaligus seperti dwi-fungsi TNI (ABRI) pada masa Orde Baru,” katanya.
Menurut dia, banyaknya pasal pemidanaan dalam RKUHP termasuk dalam ranah privat tanpa disertai kontrol yang kuat dalam KUHAP memberikan peluang bagai polisi untuk melakukan kriminalisasi terhadap masyarakat yang mereka target.
Pembicara pamungkas dalam diskusi ini adalah Sandra Mondiaga, Wakil Ketua Bidang Eksternal Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM). Sandra juga mengamati bahwa salah satu alasan yang menjadi dalih dari konsolidasi elit juga berlangsung karena adanya kebutuhan untuk mengatasi radikalisme yang semakin meluas di dalam masyarakat. Komnas HAM melakukan pemantauan terhadap demonstrasi yang melibatkan kekerasan dan menyebabkan kematian, termasuk demonstrasi penolakan keputusan KPU pada bulan Mei dan demonstrasi mahasiswa yang dilakukan pada bulan September.
Saat ini investigasi sedang berlangsung dan belum banyak
yang bisa disimpulkan, namun sangat perlu untuk melihat persoalan ini secara
komprehensif, dan bukan hitam putih, sebab dalam peristiwa-peristiwa tersebut
menunjukkan ada banyak aktor dan kepentingan yang bermain.
Menurut ida, diskusi reflektif seperti ini sangat diperlukan di tengah perubahan
situasi politik dan sosial di Indonesia pasca pemilu. Ada banyak dimensi
persoalan yang bisa didalami lebih lanjut. Salah satu yang paling mengemuka
adalah mengenai besarnya biaya pemilu yang menjadi penyulut bagi elit politik
untuk melakukan korupsi dengan mengambil sumber daya yang disediakan oleh
negara.
Siklus korupsi, politik uang, besarnya biaya pemilu, ekstraksi sumber daya alam, dan kekerasan aparat terhadap protes-protes warga menjadi lingkaran setan yang harus diputus. Berbagai solusi potensial untuk memutus rantai tersebut membutuhkan pendalaman bersama untuk menghadirkan solusi bagi penataan hubungan negara dan masyarakat di Indonesia.
Ketua NU Belanda M Latif Fauzi menyebut bahwa dialog ini penting untuk menganalisa bagaimana perkembangan demokrasi dan hak kewargaan dijamin dalam pemerintahan Joko Widodo dan KH Ma’ruf Amin 5 tahun mendatang. Saat membuka dialog, Yance Arizona sebagai moderator mewakili Lakpesdam NU menyebut bahwa pertanyaan mendasar yang coba dibahas dalam dialog ini adalah bagaimana masa depan politik kewargaan atau biasa disebut citizenship saat para elit politik makin terkonsolidasi dan imun terhadap kritik publik. Utamanya saat pembuatan regulasi yang cenderung abai pada aspirasi publik.
Protes mahasiswa #reformasidikorupsi akhir September 2019 menunjukkan bahwa saluran aspirasi publik melalui parlemen tidak berjalan sehingga menyebabkan kebuntuan dialog antara warga dan negara. (tim)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News