​Mengenang 100 Hari Wafat Gus Sholah, Tak Punya Mesin Ketik, Naskah untuk Media Ditulis Tangan

​Mengenang 100 Hari Wafat Gus Sholah, Tak Punya Mesin Ketik, Naskah untuk Media Ditulis Tangan Dr (HC) Ir KH Salahuddin Wahid (Gus Sholah) bersama sang istri, Nyai Hj Farida Salahuddin Wahid. foto: dokumentasi pribadi

Oleh: M Mas’ud Adnan

telah 100 hari meninggalkan kita. Senin, 11 Mei 2020, hari ini adalah peringatan 100 hari wafatnya tokoh nasional bernama lengkap Dr (HC) Ir KH Salahuddin Wahid itu. Putra KH A Wahid Hasyim dan cucu Hadratussyaikh KHM Asy’ari itu wafat pada 2 Februari 2020.

Tak ada peringatan massal. Akibat wabah virus corona. Tapi para alumni dan santri Pesantren Tebuireng tetap menggelar khataman al-Quran. Begitu juga masyarakat luas. Terutama warga NU. Tetap menggelar tahlil. Dari rumah masing-masing.

Saya punya banyak kenangan saat bersama beliau. Saya ingin memantik memori saya. Tentang karakter beliau. Setidaknya ada sekitar 21 karakter beliau.

sering kontak saya. Mengajak bertemu dan berdiskusi. Tentang NU, pesantren, umat, politik dan yang lain. Kadang saya diminta datang ke Tebuireng. Namun tak jarang saya diminta menemui beliau di hotel, tempat beliau menginap. Atau janjian bertemu di rumah makan.

Sering juga kami berdiskusi lewat HP, baik WA maupun telepon langsung. Dari kedekatan batin itulah saya sedikit bisa membaca tentang karakter .

Apa itu karakter? Banyak definisi, terutama dari ahli psikologi. Tapi definisi yang diupdate wikipidea cukup representatif. Karakter atau watak adalah sifat batin yang memengaruhi segenap pikiran, perilaku, budi pekerti, dan tabiat yang dimiliki manusia atau makhluk hidup lainnya.

Bagaimana karakter ? Apa saja? Kok sampai 21 karakter?

1. Tak Banggakan Keturunan

Suatu ketika Gus Sholah minta saya agar dalam menulis berita tidak menghubungkan beliau dengan kakek dan ayahnya. Cukup ditulis Salahuddin Wahid atau saja. Tak perlu disebut cucu Hadratussyaikh KHM Hasyim Asy’ari atau putra KH A Wahid Hasyim atau yang lain.

Saat itu saya hanya tersenyum. Sebagai wartawan saya sering menulis tokoh. Mereka umumnya justru bangga menceritakan silsilah keturunannya. Apalagi jika keturunan – maaf – kiai.

justru sebaliknya. Ini tentu karakter luar biasa. Saya lalu ingat Sayyidina Ali. Karramallahu wajhah. “Inilah aku, bukan inilah ayahku,” kata sepupu dan menantu Rasulullah SAW yang kemudian menjadi khalifah keempat itu.

2. Sederhana sejak Mahasiswa

memang figur sederhana dan apa adanya. Padahal putra tokoh besar. The founding father RI. Bapak pendiri Republik Indonesia. KH A Wahid Hasyim.

Kesederhaan itu tampaknya sudah mewarnai kehidupan sejak mahasiswa. Buktinya, meski putra tokoh besar, tak pernah menunjukkan dirinya sebagai putra orang besar.

Dan ini klop dengan sang istri, Nya Hj Farida Salahuddin Wahid yang juga putri tokoh besar Prof KH Saifuddin Zuhri. Tapi tak pernah menonjolkan orang tuanya. Padahal Kiai Saifuddin Zuhri adalah Menteri Agama RI Kabinet Kerja III, Kabinet Kerja IV, Kabinet Dwikora I, Kabinet Dwikora II, dan Kabinet Ampera I.

“Perkenalanku dengan GS () yang sama-sama aktivis kampus,” tutur Nyai Farida kepada penulis. Saat itu mahasiswa Institut Teknologi Bandung (ITB ). Sedang Nyai Farida mahasiswa Universitas Indonesia (UI) Jakarta.

“Kita sama-sama tidak tahu ortu masing-masing,” kata Nya Farida lagi. “Baru tahu, setelah hubungan kami serius. Ternyata orang tua kita bersahabat. Itulah yang dinamakan jodoh,” tambah Nyai Farida.

3. Rajin Menulis

sangat rajin menulis di surat kabar. Tulisannya tersebar di media massa, baik nasional maupun lokal. Sering juga mengirim tulisan ke koran saya, HARIAN BANGSA.

Beliau sangat senang, jika tulisannya dimuat di banner bagian atas HARIAN BANGSA, halaman satu. Menurut beliau, tempat itu sangat strategis.

Suatu ketika beliau mengirim tulisan. Karena banner atas itu ada berita penting, tulisan Gus Sholah saya pindah ke samping. Agak ke bawah. Ketika Koran HARIAN BANGSA pagi-pagi sampai di Tebuireng, beliau WA saya. Intinya beliau tak berkenan. Saya merasa bersalah. “Nggih Gus, ngapunten,” balas saya di WA. Minta maaf. Sejak itu setiap mengirim tulisan, selalu saya muat di banner atas.

4. Pantang Menyerah, Meski Tulisan Ditolak

Bagi tokoh publik, menulis adalah keniscayaan. Sebab dari tulisan itulah kualitas pemikiran seorang tokoh bisa dinilai publik. Namun menulis di media massa tak mudah. Perlu belajar terus menerus. Perlu kegigihan. Termasuk .

pernah cerita kepada saya. Tentang proses kreatifnya sebagai penulis. Menurut beliau, semula media tak langsung memuat tulisan-tulisannya. Tapi beliau tak putus asa. Beliau terus menulis. Terus mengirimkan tulisan-tulisannya. Bahkan, beliau mengaku sampai 28 kali (jika saya tak salah ingat) mengirim tulisan ke media massa. Baru setelah itu tulisan beliau dimuat.

Peristiwa seperti ini sangat lumrah. Dalam dunia tulis menulis. Bahkan semua penulis mengalami peristiwa penolakan yang sama. Termasuk saya (penulis artikel ini). Seorang pengarang terkenal bahkan mengaku tulisannya baru dimuat di surat kabar setelah 78 kali mengirimkan tulisan ke media massa.

5. Tak Punya Mesih Ketik, Naskah Ditulis Tangan

Nyai Hj Farida Salahuddin Wahid, istri , bercerita kepada saya bagaimana sang suami sangat gigih menulis. “Sewaktu baru-baru belajar nulis, gak punya mesin ketik (blom ada hp). GS (maksudnya ) menulis dengan tulisan tangan dan bagianku untuk membawa ke tukang ketik (yang suka mengetik untuk skripsi). Setelah itu, akulah yang mengantar ke kantor surat kabar,” tutur Nya Farida kepada saya.

Ini tentu luar biasa. Bayangkan, seorang putra menteri ternyata mesin ketik saja tak punya. Sekedar informasi, adalah putra KH A Wahid Hasyim, Menteri Agama RI pertama. Kiai Wahid Hasyim pernah menjabat ketua umum PBNU dan pengasuh Pesantren Tebuireng. Kiai Wahid Hasyim juga anggota Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) yang juga merumuskan Pancasila dan UUD 45.

Dari sini bisa dilihat bagaimana karakter positif .

6. Jadi Pengasuh, tapi Belajar tentang Pesantren

Pada 2006 Gus Sholah mendapat mandat sebagai pengasuh Pesantren Tebuireng. Menggantikan KHM Yusuf Hasyim. Ternyata tak keminter. Beliau justru belajar. Tentang sejarah dan manajerial pesantren. Beliau mencari buku-buku tentang pesantren. Salah satunya berjudul Tradisi Pesantren. Studi tentang Pandangan Hidup Kyai. Karya Zamakhsari Dhofir.

Buku ini adalah disertasi Dr Zamakhsari Dhofir. Saat S3 di Australian National University (ANU) Australia. Obyek penelitiannya tentang Pesantren Tebuireng dan Pesantren Tegalsari. Semarang. Jawa Tengah. Penelitian itu dilakukan pada 1977-1978. Namun buku ini terbit pertama pada 1985.

Buku ini saya sebut “babon pesantren”. Karena buku inilah yang kali pertama menulis pesantren secara obyektif dan inspiratif. Sebelumnya, pesantren sering ditulis negatif, terutama oleh penulis Islam modernis yang alergi terhadap pesantren dan NU. Ironisnya, penulis-penulis Barat justru banyak merujuk pada buku karya penulis anti pesantren itu. Maklum, saat itu pesantren dan NU masih miskin penulis.

Selain itu, buku ini sangat gamblang menggambarkan pesantren sebagai kekuatan sosial, kultural dan keagamaan, disamping membentangkan data tentang jaringan kekerabatan kiai dan geneologi keilmuan kiai pesantren yang bertumpu pada Hadratussyaikh.

Saya kebetulan punya buku ini sejak nyantri di Tebuireng. Nah, tampaknya menyimak serius buku Tradisi Pesantren ini.

Apalagi karakternya? Sabar. Masih banyak. Ikuti terus. (bersambung)

Berita Terkait

BANGSAONLINE VIDEO