Kenapa Tokoh Politik yang Didukung Buzzer Alami Degradasi Legitimasi?

Kenapa Tokoh Politik yang Didukung Buzzer Alami Degradasi Legitimasi? M Mas'ud Adnan. Foto: bangsaonline.com

Oleh: M Mas’ud Adnan --- Pertanyaan ini saya buat judul karena belakangan ini banyak sekali fakta sosial politik yang terjadi. Ini memang fenomena menarik. Setelah sekitar dua tahun saya mencermati hiruk-pikuk media sosial, akhirnya saya berkesimpulan bahwa para bagi tokoh politik tidak bisa lagi menciptakan citra positif, sebaliknya justru mendatangkan aib dan citra negatif.

Kini bahkan muncul sikap alergi dan antipati terhadap . Para tokoh politik merasa malu jika dianggap memelihara . Bahkan aktor politik yang memelihara pun tak ada yang mau mengaku memelihara .

Baca Juga: Dimeriahkan Puluhan Doorprize, Jalan Sehat HUT ke-10 BO dan Bazaar UMKM Diserbu Ribuan Warga

Alasan mereka sederhana. Selain takut dianggap tak punya dukungan riil alias tipu-tipu juga citra sendiri sudah sedemikian buruknya. Sampai ada yang mengatakan bahwa para adalah sampah masyarakat dan cari makan dengan cara menyakiti orang lain.

Harus diakui, dulu pernah jaya. Saat Pilkada DKI 2012. Seorang teman wartawan media terkemuka di Jakarta bahkan dengan bangga mengaku kepada saya bahwa ia menggerakkan untuk memenangkan kandidatnya. Maklum, saat itu banyak orang yang belum tahu sehingga para bisa mengelabuhi publik.

Kini sebaliknya. Publik sudah paham bahwa para adalah corong politik yang hanya bisa membual. Sebagai corong politik mereka bisa bekerja kepada kepada penguasa atau penentang penguasa. Tergantung siapa yang membayar.

Baca Juga: Ribuan Peserta Hadiri Jalan Sehat HUT ke-10 BANGSAONLINE

Lalu kenapa dikatakan membual? Pertama, mereka bekerja asal serang untuk menciptakan kegaduhan, tanpa didasari data valid, apalagi moralitas kebenaran. Jadi mereka tak pernah berdasarkan benar atau salah. Apalagi baik dan tidak baik. Yang penting, mereka menyerang atau menentang lawan sesuai pesanan atau sponsor yang membayar. Modus mereka: sikat terus! Akibatnya mereka melawan moral publik.

Kedua, mereka seolah-olah banyak pengikut atau follower atau viewer. Padahal, jamak kita ketahui, bahwa pengikut dalam dunia maya adalah abstrak dan bahkan bisa direkayasa. Contoh follower atau viewer. Semua itu bisa direkayasa. Bisa dimark up. Mau minta berapa ratus ribu bahkan juta. Tinggal menghubungi agen-agen mereka.

Karena itu para itu aktif beternak akun sebanyak-banyaknya. Dengan berbagai nama atau atas nama. Tapi – sekali lagi – abstrak. Bahkan banyak yang pakai akun robot!

Baca Juga: Gondol Ikan Lele Seberat 2,1 Kg, Warga Jetis Juara Lomba Mancing HUT ke-10 BO dan HUT Kemerdekaan RI

Ketiga, mereka membuat portal atau media online. Nah, media-media provokatif dan partisan yang diciptakan sendiri itulah yang rajin mengutip status atau unggahan para . Jeruk makan jeruk. Mereka ingin mengesankan bahwa unggahan dan caci maki mereka jadi opini publik. Padahal media-media provokatif itu adalah ciptaan mereka atau milik mereka sendiri. Karena itu mereka membuat media online sebanyak-banyaknya.

Kini – seiring terbongkarnya kepalsuan dan bualan mereka – publik akhirnya sadar bahwa para itu bukan saja tak bisa dipercaya tapi juga tak efektif. Karena itu mudah dipahami jika publik kini mulai enggan membaca postingan mereka.

Memang publik tak perlu membaca postingan mereka, jika tak ingin terperangkap pada tipu-tipu. Sebab mereka justru senang dan merasa efektif jika postingan mereka dibaca, apalagi ditanggapi. Maklum, tugas mereka, salah satunya, memang menciptakan sensasi dan kegaduhan agar mendapat perhatian publik.

Baca Juga: Jalan Sehat Satu Dekade BANGSAONLINE: Progress Pra-Acara, Lomba Mancing dan Respon Eri Cahyadi

Karena itu jangan heran, jika yang mereka caci bukan hanya aktor politik yang berseberangan tapi juga para tokoh agama yang selama ini dihormati oleh pengikutnya masing-masing.

Buzzer – dengan demikian – pada akhirnya bukan saja tidak efektif, tapi juga merusak kehormonisan sosial. Bahkan juga meruntuhkan sendi-sendi kehidupan yang paling hakiki, terutama kemanusiaan dan moralitas kehidupan yang selama ini menjadi barometer umat manusia semua bangsa dan negara.

Kini mengalami distrust luar biasa. Dan ketidakpercayaan itu terus berlangsung, bahkan semakin kuat. Sehingga para itu akan segera kehilangan pekerjaan.

Baca Juga: Pergunu Sebut 42.0 % Korban Pinjol Berprofesi Guru, Kiai Asep: Jangan Boros, Jangan Pelit

Maklum, para sponsornya sendiri sudah tak percaya dan merasa tak diuntungkan. Bahkan sebaliknya para sponsor yang menyewa jasa mereka merasa dirugikan lantaran para itu membabi-buta, tanpa logika atau argumentasi logis, dalam menyerang lawan para sponsornya. Otomatis mereka blunder dan merugikan para pemakai jasa mereka.

Ya, itulah fakta sosial politik yang terjadi belakangan ini. Para aktor politik yang dibela para bukan semakin kuat dan mendapat kepercayaan publik. Tapi sebaliknya malah mengalami degradasi legitimasi. Mereka semakin banyak musuh dan otomatis dibenci publik.

Banyak sekali yang bisa kita analisis dalam kasus ini. Tapi satu hal yang pasti, sikap membabi buta tanpa empati yang selama ini dilakukan para telah membuat publik tidak simpati. Bahkan antipati dan muak. Terutama karena para over acting dan mentang-mentang.

Baca Juga: Habib Pasuruan yang Rendahkan Putra Pendiri NU Dianggap Merasa Tersaingi Kiai NU dan Tak Berakhlak

Konyolnya lagi, banyak sekali serangan mereka justru menjadi senjata makan tuan. Baik bagi para maupun bagi tuan atau sponsor mereka sendiri. Maklum, kapasitas intelektual para umumnya pas-pasan. Akibatnya, mereka sering menyerang tanpa data dan akal sehat. Yang penting serang. Yang penting heboh. Tak dipikir konsekuensinya. Termasuk terhadap sponsor atau aktor politik penyewa jasa mereka.

Lebih konyol lagi, banyak para pendukung tokoh politik tertentu tiba-tiba antipati gara-gara ulah . Mereka yang semula mendukung tokoh tertentu kemudian berbalik 180 derajat antipati gara-gara ulah para yang over acting.

Era tampaknya memang mulai menunjukkan tanda-tanda akan tamat. Hanya aktor politik yang buta informasi dan ilmu komunikasi yang masih memakai jasa . Wallahu a’lam bisshawab.

Baca Juga: Habib Pasuruan yang Rendahkan Putra Pendiri NU Dianggap Merasa Tersaingi Kiai NU dan Tak Berakhlak

M Mas’ud Adnan adalah alumnus Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi-Almamater Wartawan Surabaya (Stikosa-AWS) dan Pascasarjana Universitas Airlangga (Unair) Surabaya

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Lihat juga video 'Setahun Tak Ada Kabar, Korban Longsor di Desa Ngetos Nganjuk Tagih Janji Relokasi':


Berita Terkait

BANGSAONLINE VIDEO