​Mengenang KHM Yusuf Hasyim: Pemangkas Feodalisme, Perintis SMP-SMA Masuk Pesantren

​Mengenang KHM Yusuf Hasyim: Pemangkas Feodalisme, Perintis SMP-SMA Masuk Pesantren M Mas'ud Adnan. Foto: BANGSAONLINE.com

Oleh: M Mas’ud Adnan

KHM Yusuf Hasyim wafat pada 14 Januari 2007. Putra Hadratussyaikh KHM Hasyim Asy'ari itu selain dikenal sebagai tokoh NU dan komandan Laskar Hizbullah juga pengasuh Pesantren Tebuireng selama 41 tahun (1965-2006). Untuk mengenang 13 tahun beliau wafat, BANGSAONLINE.com menurunkan tulisan M Mas'ud Adnan di bawah ini. Selamat membaca. Salam hormat dari REDAKSI. 

 “Silakan bicara (kritik) apa saja di sini (Pesantren Tebuireng), asal jangan bakar pondok,” kata KHM Yusuf Hasyim kepada ribuan santri Pesantren Tebuireng di serambi masjid. Pidato itu disampaikan Kiai Yusuf Hasyim pada tahun 1980-an ketika Orde Baru di bawah Presiden Soeharto masih gagah perkasa. Saat itu, jangankan mengeritik pemerintah, beda pendapat saja dituding subversive.

Uniknya, Kiai Yusuf Hasyim malah ngajari santri untuk berani bicara, termasuk mengeritik Kiai Yusuf Hasyim sendiri selaku pengasuh pesantren. Konsekuensinya, pidato-pidato santri sangat kritis baik kepada pemerintah maupun Kiai Yusuf Hasyim. Bahkan demonstrasi sangat lumrah di Tebuireng.

Tapi Kiai Yusuf Hasyim tenang-tenang saja. Bahkan kadang Kiai Yusuf Hasyim mengintip santri yang pidato vokal dari balik jendela ndalem kasepuhan Tebuireng. Besoknya si santri dipanggil, diberi buku (biasanya buku politik dan Islam) atau informasi aktual, terutama terkait isu nasional.

Kiai Yusuf Hasyim memang punya tradisi menyosialisasikan informasi nasional kepada para santrinya. Setiap ada informasi politik penting, Kiai Yusuf Hasyim selalu mengumpulkan para santri Tebuireng di serambi masjid. Biasanya santri dikumpulkan lewat pemukulan bedug. Jika bedug ditabuh para santri langsung berhamburan ke masjid. Kiai Yusuf Hasyim lalu berpidato tentang perkembangan nasional terkini. Dengan demikian para santri Tebuireng paham tentang situasi nasional terbaru. Saya sendiri sebagai santri Tebuireng merasa bahwa sosialisasi dan pendidikan politik itu berasal dari Kiai Yusuf Hasyim.

Para santri pun akhirnya gemar baca Koran. Apalagi di Pesantren Tebuireng memang disediakan koran dinding, disamping di perpustakaan induk A Wahid Hasyim. Koran dari berbagai penerbitan itu diletakkan di dinding kaca persis di depan masjid. Otomatis para santri sepulang sekolah maupun sepulang ngaji menyempatkan diri baca koran sambil berdiri. Bahkan santri yang membawa handuk mau mandi pun mampir dan menyempatkan diri menyerap informasi di koran yang dipajang itu. Rangsangan intelektual para santri – dengan demikian – muncul secara progresif. Apalagi Kiai Yusuf Hasyim juga secara intensif merangsang para santri dengan informasi-informasi nasional terbaru.

Dalam perspektif budaya pesantren, pidato Kiai Yusuf Hasyim yang merangsang kritik itu memang kontroversial. Jamak diketahui bahwa hubungan santri-kiai cenderung bersifat patron-client. Tapi Kiai Yusuf Hasyim justru bersikap sebaliknya. Ia berusaha mengajari santri berpikir kritis, demokratis dan – ini yang penting – tidak disandera budaya feodal. Bahkan Kiai Yusuf Hasyim sendiri familiar dipanggil Pak Ud, bukan Gus Ud.

Hasilnya memang luar biasa. Selain memiliki keterampilan organisasi dan memimpin, rata-rata alumni Pesantren Tebuireng berwawasan luas dan rasional, tanpa harus kehilangan jati diri selaku santri dengan basis budaya tradisional. Bahkan beberapa santri yang kemudian belajar di perguruan tinggi di Amerika Serikat, Mesir, Saudi Arabia, dan negara-negara lain, atau di perguruan tinggi dalam negeri, tetap punya komitmen kuat terhadap basis budaya tradisional pesantren. Artinya, di tengah era globalisasi mereka mampu merespons tantangan perubahan sesuai dengan kapasitas, bidang dan profesi masing-masing, namun tetap berdiri kukuh dalam bingkai budaya pesantren.

Sikap Kiai Yusuf Hasyim ini tampaknya sesuai dengan pandangan KH Abdul Wahid Hasyim, ayah Gus Dur, yang menjadi pengasuh kedua Pesantren Tebuireng, pasca Hadratussyaikh KHM Hasyim Asy’ari selaku pendiri. Menurut Kiai Wahid Hasyim, santri yang mondok di Tebuireng tak semuanya berorientasi jadi kiai. Memang mereka semua ingin belajar agama, tapi cita-cita mereka belum tentu ingin jadi kiai. Artinya, cita-cita mereka beragam. Ada yang ingin jadi pengusaha, ulama, jaksa, hakim, wartawan, politisi, menteri bahkan presiden dan sebagainya. Karena itu mereka tak cukup dididik agama tapi perlu bekal ilmu pengetahuan yang kuat dan luas. Nah, untuk membuka cakrawala pemikiran santri itu perlu dirangsang dengan iklim dialogis, rasional, kritis, dan demokratis, tidak menabukan kritik dan beda pendapat, termasuk dengan kiainya. Para santri juga harus diajari ilmu umum, disamping bekal utama ilmu agama.

Karena itu ketika kiai-kiai di lingkungan pesantren masih pro-kotra soal kehadiran pelajaran umum, pada tahun 1975 Kiai Yusuf Hasyim sudah berani mendirikan SMP dan SMA di Tebuireng dengan siswa putra-putri tanpa sekat. Kritik pun meledak dengan dahsyat dari kiai-kiai pesantren, termasuk dari kiai-kiai di lingkungan Tebuireng. Bertahun-tahun Kiai Yusuf Hasyim mendapat kriti keras. Namun Kiai Yusuf Hasyim yang dikenal teguh pendirian pantang menyerah.

Kini SMP-SMA A Wahid Hasyim itu menjadi salah satu sekolah terbaik di Jombang. Bahkan di pesantren-pesantren lain yang semula para kiainya mengeritik keras langkah Kiai Yusuf Hasyim, kini malah mendirikan SMP dan SMA di pesantren yang diasuhnya. Kini hampir semua pesantren memiliki sekolah SMP, SMA dan sekolah kejuruan dan sebagainya, disamping Madrasah Tsanawiyah, Aliyah, dan perguruan tinggi Islam.

Jadi kalau dulu mereka mengeritik Kiai Yusuf Hasyim tampaknya karena faktor “alam pikiran” mereka belum sampai ke tingkat “alam pikiran pendidikan strategis dan modern”. Sebaliknya, “alam pikiran” Kiai Yusuf Hasyim justru melampaui “alam pikiran” pada kiai saat itu.

Bahkan pada 1967 Kiai Yusuf Hasyim telah mendirikan Universitas Hasyim Asy’ari yang terbuka bagi mahasiswa putra-putri. Padahal saat itu belajar satu ruangan bagi mahasiswa-mahasiswi di lingkungan pesantren sangat tabu. Lagi-lagi Kiai Yusuf Hasyim mendapat kritik keras dari para kiai pesantren. Tapi Kiai Yusuf Hasyim punya alasan kuat.

Menurut Kiai Yusuf Hasyim, kalau kita konsisten dengan pemisahan laki-perempuan, jangan hanya di ruangan belajar. Di bus-bus dan sarana transportasi lain penumpang laki-perempuan juga harus dipisah. Lalu berapa kita harus menyediakan bus untuk kepentingan ini. Belum lagi jika ditinjau dari segi efektivitas dan ekonomi. Yang penting, bagaimana menata hati dan moralitas mahasiswa-mahasiswi agar tak punya niat melanggar syariat agama. Sebab begitu keluar dari pesantren mereka juga dihadapkan kepada realitas masyarakat yang tanpa sekat pemisah antara laki dan perempuan.

Bahkan Kiai Yusuf Hasyim jugalah, kiai pesantren yang kali pertama bersedia jadi bintang film. Padahal saat itu banyak kiai pesantren yang mengharamkan nonton bioskop. Kiai Yusuf Hasyim ikut membitangi film Walisongo yang menceritakan tentang peran dakwah para wali. Menurut dia, film itu ibarat gelas. Bisa diisi madu yang menyehatkan atau racun yang mematikan. Tergantung kita dan naskahnya.

KELUAR DARI NDALEM KASEPUHAN

Kiai Yusuf Hasyim memang unik. Sejatinya, karakter kekiaian Kiai Yusuf Hasyim sangat kuat dan bahkan melebihi kiai-kiai pada umumnya. Maklum, Kiai Yusuf Hasyim adalah putra ulama besar, yaitu Hadratussyaikh KHM Hasyim Asy’ari, pendiri NU yang juga dikenal sebagai pahlawan nasional. Namun karakter kekiaian Kiai Yusuf Hasyim tak pernah ditunjukkan dalam simbol-simbol artifisial. Sebaliknya dimanifestasikan dalam integritas moral dan prilaku sehari-hari.

Memang, Kiai Yusuf Hasyim selain dikenal sebagai kiai bersih secara moral juga sangat bersahaya. Buktinya, meski Kiai Yusuf Hasyim dikenal sebagai tokoh nasional dan pernah menjadi anggota DPR RI tapi ndalem kasepuhan yang ditempati di Tebuireng jauh dari kesan mewah. Bahkan cat dan kondisi rumahnya sudah kusam.

Yang mengenaskan, tempat tidur Kiai Yusuf Hasyim jauh dari layak. Berpuluh-puluh tahun Kiai Yusuf Hasyim tidur di kamar pengap dengan tempat tidur seadanya. Sedemikian tak layak sampai beberapa santri dan alumni terheran-heran. “Kamar Kiai Yusuf Hasyim masih lebih baik kamar santri,” tutur seorang alumnus Pesantren Tebuireng. Memang di kamar tidur Kiai Yusuf Hasyim hanya ada dipan dan kasur kumal.

Kiai Yusuf Hasyim juga gemar silaturahim. Kiai Yusuf Hasyim rajin mendatangi para kiai, tokoh dan kerabat, terutama yang teraniaya dari penguasa. Ketika seniman besar WS Rendra dipenjara, Kiai Yusuf Hasyim menjenguk tokoh yang dijuluki si burung merak itu. Padahal saat itu belum ada tokoh yang berani menjenguk mengingat pengusa Orde Baru sangat represif. Kiai Yusuf Hasyim tanpa beban datang sehingga Rendra terkesima, terharu dan merasa mendapat support moral.

Gus Irfan Yusuf, salah seorang putra Kiai Yusuf Hasyim, bercerita, ketika sering ke Jakarta - baik sebagai anggota DPR RI – maupun sebagai tokoh nasional, Kiai Yusuf Hasyim justru sering naik mobil, bukan pesawat. Kenapa? Karena dengan naik mobil Kiai Yusuf Hasyim di perjalanan bisa mampir silaturahim ke mana-mana, baik kepada kiai, tokoh maupun kerabatnya. Dengan demikian silaturahim tetap jalan. Padahal sebenarnya Kiai Yusuf Hasyim bisa naik pesawat. Apalagi sebagai anggota DPR RI.

KH Syuhada Syarif, salah seorang santri Tebuireng yang kemudian jadi kiai bercerita bahwa Kiai Yusuf Hasyim bukan hanya hidup sederhana, tapi juga pemberani dan gigih dalam berjuang. Suatu ketika Kiai Yusuf Hasyim berangkat naik mobil pribadi untuk menjadi pembicara dalam suatu kampanye partai politik. Saat itu rejim Orde baru melakukan razia dan penghadangan terhadap semua tokoh nasioal yang menjadi pembicara selain Golkar. Para polisi dan tentara menggeledah semua mobil yang lewat, terutama mobil pribadi. Kiai Yusuf Hasyim tak kehabisan akal. Kiai Yusuf Hasyim turun dari mobil pribadinya lalu menyetop mobil angkutan umum. Kiai Yusuf Hasyim naik mobil angkutan umum berbaur dan berdesak-desakan dengan rakyat jelata. Dengan taktik itu Kiai Yusuf Hasyim akhirnya lolos dari razia polisi dan tentara sehingga bisa tampil sebagai juru kampanye (jurkam) dalam acara kampanye partai.

Pada 2006 Kiai Yusuf Hasyim yang beberapa kali jadi pengurus PBNU itu menyerahkan kepemimpinan Pesantren Tebuireng kepada KH Salahuddin Wahid (Gus Sholah), putra KH Abdul Wahid Hasyim yang juga adik kandung Gus Dur. Berarti Gus Sholah keponakan Kiai Yusuf Hasyim. Yang menarik, Kiai Yusuf Hasyim langsung keluar dari ndalem kasepuhan Pesantren Tebuireng yang selama ini ditempati. “Saya sudah tak berhak tinggal di sini,” kata Kiai Yusuf Hasyim. Karuan saja para alumni Tebuireng yang diundang untuk memberi masukan tentang suksesi kepemimpinan Tebuireng – termasuk saya (penulis artikel ini) – tertegun. Saya coba menyela, “Kiai, ini kan bukan suksesi pejabat pemerintah sehingga kiai harus keluar dari ndalem.”

Apa jawaban beliau? “Saya sudah tak berhak tinggal di sini,” katanya. Padahal ndalem kasepuhan itu adalah kediaman dan berasal dari abahnya, Hadratussyaikh KHM Hasyim Asy’ari. Tapi sikap Kiai Yusuf Hasyim bulat, tak mau menempati rumah yang dianggap bukan haknya. Bagi Kiai Yusuf Hasyim, ndalem kasepuhan adalah hak pengasuh Pesantren Tebuireng yang baru. Sejak itu Kiai Yusuf Hasyim tinggal di kediaman pribadinya.

Kiai Yusuf Hasyim merupakan pengasuh Pesantren Tebuireng cukup lama, yaitu 41 tahun (1965-2006). Sedang Hadratussyaikh KHM Hasyim Asy’ari sebagai pendiri mengasuh Tebuireng selama 48 tahun (1899-1947).

Kiai Yusuf Hasyim yang lahir pada 3 Agustus 1929 itu wafat pada usia 77 tahun, tepatnya 14 Januari 2007, 13 tahun silam. Putra bungsu Hadratussyaikh KHM Hasyim Asy’ari itu selain dikenal sebagai salah satu ketua PBNU dan anggota DPR RI, juga Komandan Banser pertama (1964) dan Komandan Lasykar Hizbullah Jombang.

Kiai Yusuf Hasyim telah menghadap Sang Khaliq. Semoga Allah SWT membalas semua amal perjuangannya yang tanpa kenal lelah membela hak-hak rakyat, orang lemah dan agama. Kita berharap semoga para santri, alumni Pesantren Tebuireng, bahkan masyarakat luas bisa meneladani dan meneruskan perjuangannya. Amin. Wallahua’lam bisshawab.

(Tulisan ini dimuat Jawa Pos, 22 Januari 2007). 

Penulis adalah Komisaris Utama HARIAN BANGSA, BANGSAONLINE.COM, alumnus Pesantren Tebuireng dan Pascasarjana Unair. 

Berita Terkait

BANGSAONLINE VIDEO